Pada awal terciptanya alat komunikasi mobile yang biasa kita sebut handphone, alat itu ditujukan untuk memudahkan manusia terhubung dengan yang lainnya dalam waktu yang relatif singkat. Fungsi utama dari handphone sendiri untuk berkirim pesan singkat atau SMS (Short Messages Services) dan bicara melalui telepon.

Seiring berkembangnya zaman, benda kecil tersebut menjelma sebagai kebutuhan primer setiap manusia. Segala sesuatunya bisa dilakukan dengan mudah, ditambah dengan koneksi internet yang semakin menunjang kebutuhan seseorang dan lahir nama baru dari peradaban handphone,yaitu smartphone. Namun alih-alih kita menggunakan handphone yang berbasis smart dengan benar dan sesuai kebutuhan, kita malah tanpa sadar terjerumus dengan interaksi fana yang mematikan moral dan kemanusiaan. Banyak kejahatan terjadi hanya dengan menggunakan smartphone. Mulai dari bullying, hingga scamming.

Melihat semakin 'berlebihan'-nya manusia menggunakan smartphone, saya memutuskan untuk mencoba hidup tanpa smartphone dan berganti menggunakan handphone biasa dan saya menyebutnya handphone 'cenenet'. Tidak ada kamera di sana, apalagi internet. Hanya ada fitur SMS dan telepon. Lalu apa hasilnya?

Eksperimen hidup tanpa smartphone, hasilnya memuaskan & patut dicoba

1. Memaksa saya untuk bangun lebih pagi dan pergi bekerja lebih cepat.

Saya tinggal di Bogor, dan bekerja di Jakarta. Rasanya seperti mustahil apabila saya tidak membutuhkan smartphone untuk memesan ojek onlineatau semacamnya. Tetapi kenyataannya, saya menemukan jalan yang lebih sehat dan menyenangkan. Saya 'dipaksa' untuk bangun lebih pagi dan pergi bekerja lebih cepat agar bisa naik angkutan umum biasa sampai kantor atau bahkan berjalan kaki. Rasanya? Menyenangkan. Ternyata selama ini saya melupakan hal-hal kecil di jalanan yang sebelumnya tidak pernah saya sadari.

2. Membuat saya memiliki kesempatan lebih banyak dalam mengenal karakter seseorang.

Sejak tiga bulan yang lalu smartphone saya pensiun dini, saya merasa bahwa kini emosi dan perasaan saya lebih bermain. Sudah jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi miss komunikasi antara saya dan kerabat. Karena mau tidak mau, jika saya butuh mereka dan mereka butuh saya, kita harus bicara melalui telepon atau bertatap muka.

Berbeda jauh rasanya ketika saya hanya mengandalkan aplikasi chat di smartphone saya. Maksud saya A, ditangkapnya B. Maksud mereka B, saya tangkapnya C. Ketika saya bercengkrama dengan rekan kerja, keluarga, dan pasangan, rasanya lebih hangat dari sebelumnya. Saya bisa bercerita tentang apapun, dan saya merasa mengenal mereka lebih jauh melalui bahasa tubuh yang diperlihatkan. Kita tertawa karena hal yang nyata terjadi, bukan karena lelucon di sosial media.

3. Menghilangkan rasa minder terhadap orang lain, bahkan yang tidak saya kenal.

Bangun tidur, saya check instagram, twitter, dan whatsapp. Setiap hari ada saja kebahagiaan orang lain yang saya lihat. Terkadang saya sampai mengutuk diri sendiri karena saya tidak terlahir sebahagia mereka. Ups, tiga bulan belakangan ini, ternyata saya memang melupakan apa itu kebahagiaan. Saya lupa, bahwa seharusnya saya bahagia karena saya bekerja. Saya lupa, bahwa seharusnya saya bahagia karena saya tidak memiliki kekurangan. Saya melupakan kebahagiaan saya karena saya sibuk menyesali kebahagiaan orang lain.

Setelah saya meliburkan diri untuk kepo kehidupan orang lain yang life style-nya sudah high level, saya merasa bahwa saya sudah cukup sempurna untuk menikmati hidup. Ya, saya adalah saya. Dan apa yang saya miliki sekarang, belum tentu dimiliki orang lain. Ya, saya bahagia!

Tiga manfaat di atas masih belum seberapa. Karena ternyata banyak manfaat yang didapatkan apabila kita mampu mengistirahatkan diri dari jeratan smartphone. Lebih peka terhadap sekitar, lebih sigap, lebih mampu membaca situasi, dan lain-lain. Secara sekilas, memang rasanya merepotkan. Bagaimana bila bos perlu? Bagaimana bila ada kabar penting dari teman? Bagaimana kalau ada apa-apa? Kesalahan kita selama ini adalah lebih percaya dengan kekuatan smartphone daripada perlindungan Tuhan Yang Maha Pelindung.

Terbukti, saya tetap bisa mengetahui ketika teman saya kecelakaan tiga hari yang lalu. Saya tetap bisa bertemu dengan pasangan seperti biasa. Saya bisa tetap pergi dan pulang bekerja seperti biasa. Saya tetap bisa mengetahui kabar terbaru. Rasanya memuaskan. Saya berhasil menjadi diri saya yang sebenarnya. Entah sampai kapan saya akan mengajak si cenenet ini kemana-mana. Namun terlepas dari itu semua, kamu harus memikirkan matang-matang sebesar apa kebutuhanmu terhadap smartphone? Apabila memang masih dirasa sangat penting, gunakanlah sesuai kepentingan. Jangan sampai smartphone menjadikan kita lupa bagaimana cara menjadi manusia. Kontrol jempolmu, kontrol pikiranmu, dan kontrol postinganmu.

Tetapi, untuk yang mau coba, nggak ada salahnya kok! Ada yang tertarik? Cheers!