Di Indonesia pernikahan di usia muda atau biasa dikatakan pernikahan dini telah menjadi masalah yang sangat serius. Karena menurut data yang dilakukan oleh BKKBN, setiap tahunnya kasus pernikahan dini yang terjadi semakin meningkat. Yang menjadi issue adalah dikarenakan menurut Undang-Undang Hukum perkawinan di Indonesia adalah mengacu kepada UUD No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana poinnya adalah dalam UUD tersebut mensyaratkan bahwa batas usia pernikahan untuk wanita minimal berusia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki. Kemudian UUD perkawinan tersebut sangat bertabrakan dengan kampanye yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dan Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementrian Agama yang justru membuat kampanye tentang usia siap menikah adalah pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.Di sini jelas terlihat adanya ketidakkonsistenan UU di atas, otomatis tentu saja akan banyak terjadi pelanggaran karena pembenaran dari sumber hukum yang lain yang membenarkan. Seyogyanya pemerintah mempunyai kemampuan untuk memberikan pemahaman mengenai kejelasan dari UU sehingga akan timbul kesadaran dari masyarakat akan pentingnya dasar hidup dan diterapkan untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga masyarakat percaya dan mampu untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menegakkan hukum yang sudah ada.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun 2014, 46 persen atau setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi di setiap tahun di Indonesia mempelai perempuannya berusia antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5% di antaranya melibatkan mempelai perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Setahun sebelumnya BKKBN melakukan penelitian mengenai penyebaran kasus pernikahan dini. Fakta yang diperoleh menyatakan bahwa kasus pernikahan dini dengan mempelai wanita berusia antara 15 sampai 19 tahun paling tinggi berada di wilayah Kalimantan Tengah dengan persentase 52,1 persen dari total pernikahan per tahunnya. Kemudian di urutan selanjutnya antara lain Jawa Barat dengan 50,2 persen, Kalimantan Selatan 48,4 persen, Bangka Belitung 47,9 persen, dan Sulawesi Tengah 46,3 persen. Sedangkan provinsi dengan mempelai perempuan di bawah 15 tahun terbanyak ialah Provinsi Kalimantan Selatan dengan persentase 9 persen, disusul Jawa Barat 7,5 persen, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing masing 7 persen, dan Banten 6,5 persen.

Menjadi manusia berkualitas di Indonesia sangat erat kaitannya dengan permasalahan masih tingginya angka pernikahan usia dini di Indonesia. Seorang peneliti Mahasiswa Program Magister Kriminologi Peminatan Perlindungan Anak, Reni Kartikawati, menjelaskan bahwa dari data tahun 2016, ada sebanyak 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10-14 tahun sudah menikah terutama terjadi di pedesaan sebesar 0,03 persen.

Pada riset United Nations Children's Fund (UNICEF) mencatat, satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000 anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun. Maka tak heran apabila United National Development Economic and Social Affair (UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi. Permasalahan pernikahan dini ini memang menjadi krusial. Alasannya tentu saja karena ini adalah topik yang bisa dikatakan sangat penting pada kerangka kerja sama Sustainable Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah sepakat menghapus perkawinan anak pada tahun 2030.

Dampak negatif pernikahan dini.

Menurut analisa dan banyak kejadian yang terjadi yaitu banyak pengalaman yang membuktikan bahwa pernikahan dini hanya akan berdampak negatif. Pernikahan dini sangat rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tentu saja yang sering terjadi adalah perempuan sebagai korbannya. Ini berpengaruh terhadap negara Indonesia yang tidak akan mampu bersaing untuk beberapa dekade kedepan apabila anak anak tidak mendapatkan awal kehidupannya yang terbaik. Sering kali pernikahan dini biasanya berlangsung tanpa kesiapan mental dari pasangan yang mengakibatkan berakhir dengan perceraian. Kemudian juga dampak pada wanita yaitu masalah kesehatan. Karena organ reproduksi wanita yang sangat muda belum siap sehingga bisa mengakibatkan kesakitan, trauma seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan sampai yang fatal bisa menyebabkan kematian ibu saat melahirkan.

Kemudian penyebab lain dari pernikahan dini adalah otomatis mereka akan kehilangan masa kanak-kanaknya, masa ia bertumbuh, dan masa masa untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Karena biasanya seseorang anak yang melakukan pernikahan di usia muda akan menyebabkan putus sekolah. Terkadang kekhawatiran orang tua terhadap anak gadisnya juga menjadi faktor pernikahan dini. Karena orang tua pada umumnya ingin cepat-cepat menikahkan anak gadisnya, karena mereka tak menginginkan anak gadisnya jadi perawan tua.

Salah satu contoh kasus pernikahan di usia muda yang saya dapati dari narasumber yang bernama Suci Cahyanti. Ia adalah salah satu teman dekat saya yang bersedia membagi pengalamannya selama menikah. Seperti yang sudah kita ketahui faktor kesiapan finansial adalah masalah yang banyak kita temui dalam kasus pernikahan di usia muda ini. Wajar saja belum ada kesiapan ekonomi karena menikah di umur 17 tahun memang belum ada bekal finansial yang cukup. Karena seharusnya mereka masih harus melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi untuk bekal mendapatkan pekerjaan sehingga bisa memiliki kesiapan dalam segi finansial. Tetapi pada kenyataannya karena tidak adanya biaya atau kurangnya kemampuan ekonomi yang dimiliki orang tua sehingga menyebabkan tidak bisa melanjutkan ke jenjang kuliah dan orang tua dari Suci Cahyanti memilih untuk menikahkan anaknya di usia muda tanpa adanya kesiapan finansial yang cukup. Padahal keputusan orang tua untuk menikahkan Suci di usia muda itu kurang tepat. Karena justru dapat menyebabkan masalah baru terhadap kehidupan rumah tangga nya kelak seperti apa yang telah dialami oleh narasumber Suci Cahyanti

Ketika menikah di usia dini kebutuhan individu tidak terpenuhi. Pengantin atau calon pengantin pria masih ingin belajar dan sukses dalam banyak hal. Namun itu semua terhambat karena mereka terikat dalam pernikahan, dalam tanggung jawab, dan juga karena masalah keuangan. Hal ini juga akan mengakibatkan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan karena latar belakang pendidikan yang kurang memadai. Pasangan muda yang menikah dini tidak tahu bagaimana memikul tanggung jawab. Mereka masih muda dalam berpikir dan masih harus banyak belajar tentang pernikahan

Menurut Suci, masalah lain yang terjadi pada pernikahan di usia muda selain masalah finansial yaitu masalah mental dirinya dan pasangan. Menyesuaikan perasaan itu sulit saat dua remaja menjalani kehidupan pernikahan dini. Masing-masing tidak dapat menyesuaikan diri dengan pasangan dengan mudah. Itulah sebabnya pernikahan dini rentan berakhir dengan perceraian. Sebagai contoh apabila seorang anak dituntut untuk menikah di usia muda padahal yang seharusnya ia belum bisa berpikir secara dewasa jadi otomatis di saat pasangan menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada pada rumah tangga sudah pasti mentalnya belum kuat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sehingga dapat menyebabkan sering terjadi konflik rumah tangga dan bahkan yang paling parahnya dialami oleh Suci Cahyanti adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun nonverbal. Tidak adanya kesiapan mental juga bisa menyebabkan perceraian di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Karena pasangan muda kebanyakan masih labil dalam berpikir sehingga mudah mengambil keputusan untuk berpisah. Pada dasarnya seharusnya masalah yang harus diselesaikan bukan hubungannya.

Masalah lainnya yang dihadapi oleh Suci Cahyanti adalah masalah ketidaksiapan memiliki anak. Setelah menikah 1 tahun Suci Cahyanti langsung diberikan keturunan. Ini salah satu hal yang membuat ia stres. Kehamilan yang terlalu awal bisa memengaruhi kehidupan seorang gadis remaja. Gadis usia remaja umumnya belum bisa menjalani tekanan melahirkan dan mengasuh anak. Ini tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik tapi juga emosionalnya. Untuk merawat anak juga sulit karena dia sendiri masih tergolong anak-anak. Saat remaja menikah dini pada usia belia, masa muda mereka pun terganggu. Mereka tidak dapat lagi menikmati kebebasan karena sudah terikat dalam pernikahan dan tanggung jawab baru. Suci belum banyak mengetahui perihal bagaimana mengurus anak. Karena di umur yang masih muda itu ia masih ingin sibuk dengan kehidupan pribadinya seperti bersosialisai main dengan teman-temannya dan menyenangkan dirinya sendiri tetapi semua itu tidak bisa ia lakukan karena sudah harus mengurus anak. Jadi konsennya harus kepada anak dan suaminya. Situasi ini membuat Suci Cahyanti mengalami gangguan psikis yang biasa disebut dengan baby blues. Di periode baby blues ini Suci Cahyanti merasakan sangat sensitif yang bisa ia limpahkan ke suaminya. Tetapi karena mereka masih muda, kurangnya pengertian masing-masing pasangan justru malah menimbulkan keributan bagi kedua pasangan.

Seringnya terjadi keributan dalam rumah tangga bisa berdampak pada psikis anak pula. Anak menjadi korban dari pertengkaran orang tua yang dilakukan terus menerus dalam jangka panjang. Anak akan menjadi terkena dampak akibat pertengkaran orang tua. Karena anak melihat perlakuan orang tua sehari hari sebagai contoh pada dirinya bahkan yang bisa ditiru oleh anak. Di luar sana anak bisa menjadi brutal dengan kenakalannya karena hampir setiap hari melihat tindakan kekerasan yang dilakukan orang tua di rumah.

Jadi menurut hasil wawancara dari pengalaman narasumber, dapat disimpulkan bahwa pernikahan di usia muda lebih banyak memiliki dampak negatif untuk pasangan itu sendiri. Karena menurut saya dampak positif yang bisa didapat dari pernikahan di usia muda hanya 'meringankan' beban orang tua dan menghindari kemaksiatan atau seks bebas. Pembahasan mengenai dampak negatif dalam pernikahan di usia dini diharapkan dapat mengurangi kasus kasus kejahatan dalam rumah tangga yang banyak terjadi belakangan ini, khususnya di Indonesia. Contoh kasus yang belakangan marak diberitakan mengenai pasangan-pasangan yang menikah di usia muda adalah kasus pembunuhan bayi, pembunuhan yang dilakukan suami terhadap istri, dan kasus membuang bayi yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong pernikahan dini itu ada tiga poin, yaitu ekonomi, orang tua, dan pendidikan. Dan yang terakhir di dalam dampak negatif terdapat tiga poin yakni dampak terhadap pasangan suami istri, dampak terhadap masing-masing keluaganya, dan dampak terhadap anak-anaknya.

Meskipun kasus pernikahan dini menjadi permasalahan yang sangat serius yang dihadapi bangsa Indonesia ini, tetapi bukan berarti tidak ada solusi untuk mengatasinya. Setelah membuat artikel ini saya jadi lebih mengetahui dampak dan masalah-masalah serius yang dihadapi seseorang yang melakukan pernikahan dini. Kemudian saya menjadi berpikir tentang beberapa solusi yang bisa diambil untuk mengatasi masalah pernikahan dini ini.

Pertama adalah dilihat dari UUD yang dibuat oleh pemerintah, menurut saya sebaiknya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan diharapkan harus melakukan perbaikan pada perundangan undangan yang berlaku. Pemerintah harus take action mengambil peran dengan melakukan revisi pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang ini sudah ketinggalan zaman dan akan bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk ikut menghapus praktik pernikahan dini pada tahun 2030, seperti yang telah disepakati dalam Sustainable Development Goals. Jalan satu-satunya UUD tersebut memang harus direvisi segera.

Yang kedua adalah masyarakat harus lebih paham lagi dengan dampak negatif yang disebabkan oleh pernikahan dini. Masyarakat harus bisa memahami bahwa pernikahan dini hanya akan membuat semua impian para anak anak menjadi pupus, terutama korbannya adalah perempuan. Para orang tua harus lebih sadar bahwa pendidikan itu sangat amat penting. Kalau misalkan pernikahan dini harus terjadi dikarenakan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi atau tidak adanya dana untuk pendidikan, maka para orang tua bisa mencari dana pendidikan melalui pemerintah misalnya. Karena sudah banyak program pemerintah yang membantu biaya pendidikan anak seperti program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan juga beasiswa bagi anak-anak yang pintar.

Ketiga adalah pemerintah atau organisasi-organisasi yang lebih meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat daerah khususnya untuk mengadakan kampanye tentang pernikahan di usia muda. Memberikan ilmu dan sharing mengenai masalah yang dihadapi apabila anak menikah di usia muda dan juga memberitau dampak yang akan terjadi. Jadi para masyarakat jadi lebih mengetahui dan lebih perduli terhadap bahaya negatifnya. Dan lebih mementingkan haruslah pendidikan diproritaskan yang paling utama untuk menggapai mimpi-mimpinya. Belajar memang tidak memandang usia tetapi apabila seorang remaja dipaksa untuk membina rumah tangga kemudian memiliki anak, fokusnya akan beralih kepada upaya merawat keluarga dan anak-anaknya, terutama untuk perempuan. Padahal saat ini sosok perempuan masa kini sudah bisa berperan banyak di segala aspek kehidupan. Termasuk pada pembangunan, yang membutuhkan perempuan-perempuan yang berpendidikan dan berwawasan luas.

Saya sendiri pun merasakan ada dorongan dalam diri untuk berbuat yang lebih baik untuk orang tua, untuk diri sendiri, untuk orang lain, dan untuk bangsa dan negara. Karena nantinya juga apabila kita sudah memiliki anak dan harus mendidik anak kita maka juga diperlukan pendidikan sebagai bekal kita mengurus anak. Seperti pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka apabila kita berwawasan luas juga anak kita pasti akan bisa berwawasan luas bahkan harus lebih di atas orang tuanya. Maka apabila kita menanamkan prinsip tersebut dalam kehidupan kita akan berdampak positif pula dalam kehidupan ini. Karena anak-anak kita adalah penerus demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.