Meski kerap mengalami perubahan hampir di tiap tahun penyelenggaraannya, SBMPTN selalu berhasil membangkitkan animo yang tinggi dari para calon mahasiswa. Harus diakui biaya kuliah di PTN relatif lebih terjangkau dibanding PTS selain alasan prestige dan faktor jaminan legalitas ijazah. Untuk tahun 2019 nanti, SBMPTN kembali mengalami cukup banyak alterasi yang wajib dipahami para peserta jauh-jauh hari sebelumnya agar tidak salah dalam menentukan prodi dan PTN pilihan.

Pertama, model Ujian Tulis Berbasis Cetak (UTBK) diganti menjadi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang terbagi atas Tes Potensi Skolastik (TPS) dan Tes Kompetensi Akademik (TKA). TPS dimaksudkan menguji kemampuan kognitif, logika/nalar, dan pemahaman umum. Sementara TKA terdiri atas materi sains dan teknologi (saintek) serta sosial humaniora (soshum). Kedua, para peserta akan menjalani ujian terlebih dahulu, sesudah nilai ujian diperoleh baru didaftarkan pada prodi PTN tujuan. Sebagai catatan, setiap peserta diperbolehkan menjalani tes sebanyak dua kali dengan biaya tiap kali ujian sebesar dua ratus ribu rupiah dan diperkenankan untuk menggunakan nilai yang lebih tinggi saat mendaftar. Ketiga, pelaksanaan ujian tidak lagi dikelola oleh panitia seleksi bersifat ad hoc seperti yang sudah-sudah, melainkan oleh institusi bernama Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) yang berstatus permanen.

Demi pendidikan berkeadilan?

Metamorfosis SBMPTN dilakukan demi rasa berkeadilan menurut Menristekdikti, Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D., Ak. Pada satu sisi kita boleh sepakat. Sebagai contoh, LTMPT yang ditunjuk menangani hajatan UTBK pada SBMPTN 2019 sudah mendesain sistem komputerisasi yang memuat database para peserta, baik untuk SNMPTN maupun SBMPTN. Dengan metode ini, LTMPT akan mengantongi seluruh data sehingga mereka yang telah lulus SNMPTN tidak bisa lagi mengikuti SBMPTN.

Jika melihat fenomena yang sering terjadi beberapa tahun belakangan, ada saja dan cukup banyak jumlahnya lulusan SMA/SMA/MK yang meski sudah diterima melalui jalur SNMPTN, memutuskan untuk ikut SBMPTN. Ini tentu tidak fair bagi mereka yang hanya mengadu nasib kuliah di PTN melalui jalur SBMPTN. Belum lagi jika mereka yang lulus SNMPTN dan ikut lagi pada SBMPTN namun kemudian gagal, berasal dari kalangan berduit. Mereka tinggal beralih ke program mandiri. Artinya selama ini mekanisme masuk PTN cenderung memihak calon mahasiswa/i dari kalangan ekonomi mampu.

Dengan diberi kesempatan mengikuti ujian sebanyak dua kali dan menggunakan nilai yang lebih tinggi ke prodi PTN yang diinginkan, setiap peserta sesungguhnya mendapatkan peluang yang lebih besar untuk masuk prodi dan PTN sesuai minat dan bakat. Maka kasus salah pilih jurusan yang sering terjadi saat kuliah pun bisa direduksi. Apalagi pada tahun ini kuota SBMPTN naik 10 persen menjadi 40 persen dan kuota untuk jalur SNMPTN berkurang 10 persen menjadi 20 persen. Sementara untuk jalur mandiri jatahnya sebesar 30 persen. Ini menjadi angin segar tersendiri karena setiap individu bisa mengatur strategi sembari berkalkulasi menyesuaikan antara nilai yang diperolehnya dengan jumlah daya tampung di prodi pilihan. Sistem ini lebih transparan dan akuntabel sebab seorang peserta bisa mengetahui berapa nilai yang diperoleh. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana setiap peserta cuma tahu lulus atau tidak lulus pada saat pengumuman.

Namun demikian, rasa keadilan ini belum sepenuhnya dirasakan semua pihak-pihak terkait seperti guru-guru dan sekolah. Idealnya bekal ilmu yang diperoleh seorang pelajar selama mengecap pendidikan di SMA/SMK/MA cukup untuk mengarungi SBMPTN. Tapi kenyataannya tidak selalu demikian. Ada ketimpangan kesulitan antara soal-soal yang diujikan di level UN dan SBMPTN. Materi soal SBMPTN dianggap jauh lebih sukar daripada UN. Satu indikatornya adalah persentase kelulusan UN yang jauh lebih tinggi dibanding kelulusan SBMPTN. Kalau pun alasan ini bisa diperdebatkan mengingat pelaksanaan UN yang begitu rentan dengan kecurangan, setidaknya kita bisa melihat kecenderungan para peserta SBMPTN yang ramai-ramai mengikuti kelas-kelas program super intensif yang ditawarkan berbagai bimbingan belajar (bimbel) selama ini. Alasannya jelas, ilmu yang diperoleh di sekolah belum cukup. Jadi bila seseorang lulus SBMPTN, ia akan menganggap bimbelnya yang punya andil lebih besar ketimbang sekolah. Padahal dia menghabiskan waktu belajar tiga tahun di bangku sekolah dan mungkin hanya beberapa bulan di bimbel. Tentu menyakitkan bagi guru-guru dan sekolah bila proses belajar tiga tahun dianggap tidak terlalu berperan dalam kelulusan pada SBMPTN.

Kemdikbud dan Kemenristekdikti harus bersinergi dalam menyikapi fenomena ini agar guru-guru dan sekolah tidak merasa dikecilkan. UN dan SBMPTN, meski sama-sama berbentuk tes, memiliki perbedaan yang sangat signifikan. UN adalah instrumen ujian dengan tujuan evaluasi. Artinya UN selama ini dilaksanakan untuk mengukur taraf serap peserta didik dalam menguasai setiap SKL (Standar Kompetensi Lulusan) yang dikeluarkan pemerintah dengan memberlakukan nilai minimal. Makanya di dalam UN semua peserta bisa lulus meski nilainya tidak terlalu bagus asal mencapai batas terendah yang ditetapkan. Ini yang sangat kotradiktif dengan SBMPTN. SBMPTN merupakan mekanisme asesmen untuk keperluan seleksi di mana peserta harus meraih nilai setinggi-tingginya untuk menjaga peluang lulus di antara saingan yang begitu banyak. Oleh sebab itu walaupun seorang peserta meraih nilai tinggi dalam SBMPTN, belum bisa menjamin dia akan lulus.

Materi HOTS (Higher Order Thinking Skills) yang nantinya akan dimasukkan dalam SBMPTN juga sebenarnya mengandung dilema. Satu sisi, keberadaan HOTS diperlukan guna menyaring calon mahasiswa dengan kemampuan analisa tinggi. Di sisi lain, ketimpangan kualitas pendidikan antara di kota-kota besar dan di pedesaan yang cukup besar lagi-lagi akan menjadi hambatan untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan. Hal ini karena tingkat kesulitan soal SBMPTN akan sama di setiap provinsi tanpa memperhatikan disparitas mutu pendidikan tadi.

Fenomena Bimbel.

Bagaimanapun perubahan mekanisme ujian dalam SBMPTN, bimbel selalu memiliki tempat di hati para calon peserta tes. Dan boleh jadi keberadaan SBMPTN dan ujian-ujian sejenislah yang menjadi lahan empuk bagi bimbel. Di kota-kota besar kita bisa saksikan betapa bimbel begitu menjamur dan sangat kompetitif antara satu dan yang lainnya. Seperti yang sedikit disinggung barusan, bimbel dianggap lebih mampu mengakomodir persiapan seseorang dalam menghadapi SBMPTN. Bukan cuma cara mengajar yang dianggap menarik, tapi pola pembelajaran setiap bimbel juga selalu berorientasi pada soal-soal yang pernah keluar pada penyelenggaraan SBMPTN tahun-tahun sebelumnya.

Pembelajaran di bimbel sangat identik dengan shortcut, jembatan keledai, carcep (cara cepat) dan bermacam-macam istilah yang digunakan untuk merujuk pada metode menjawab soal dengan cepat dan tepat. Metode ini sangat populer dan sangat digemari kalangan pelajar yang akan ikut SBMPTN karena mereka harus berpacu dengan waktu dalam menjawab soal. Memang cara ini cukup berhasil menjual nama sebuah bimbel. Akan tetapi metode ini sebenarnya bisa menjadi racun bagi pendidikan karena sangat instan dan cenderung abai pada ranah kognitif yang mengedepankan proses serta analisis.

Meski secara umum para tutor bimbel mengajarkan konsep konvensional sebelum mengajarkan metode-metode super kilat tadi, tetap saja para pelajar jauh lebih tertarik pada cara-cara singkat itu. Alhasil metode instan versi bimbel inilah yang lebih dominan dipakai siswa-siswi saat belajar. Sebagai contoh, saat menjawab soal Bahasa Inggris dalam bentuk teks rumpang (cloze procedure) yang berkaitan dengan kata hubung (conjunction), ada trik ampuh untuk bisa memilih jawaban dengan tepat bahkan tanpa membaca isi teks. Misal dalam pilihan terdapat jawaban seperti berikut; A. Because, B. Since, C. Although D. Even though E. Whether. Pilihan yang tepat adalah E. Whether karena A dan B berisi kata hubung yang sama-sama merujuk pada alasan (reasoning) sementara C dan D menunjukkan pertentangan (concession). Jadi opsi A, B, C, dan D bisa langsung dianggap salah tanpa perlu merujuk pada isi bacaan. Cara kilat inilah yang banyak digaung-gaungkan oleh bimbel saat melakukan promosi.

Untuk alasan menghemat waktu saat ujian, metode ini cukup efektif. Namun ketika peserta didik tidak dibekali konsep dasar penggunaan kata hubung, maka bisa cara ini malah bisa menjadi senjata makan tuan. Misalnya ketika opsi A bukan Because tapi Because of, walaupun sama-sama menunjukkan alasan, secara konsep kata because diikuti oleh clause dan because of diikuti oleh phrase. Jadi jika dua opsi ini muncul dalam soal, tidak serta merta bisa langsung dieliminasi. Lebih jauh lagi, efek buruk dari metode-metode shortcut ini adalah mematikan pola pikir kritis (critical thinking). Padahal nantinya ketika lulus masuk PTN, mahasiswa harus memiliki daya nalar yang tajam yang tidak akan bisa dicapai dan diasah jika hanya mengandalkan cara-cara instan.

*Penulis adalah Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan, Dosen PTS dan pernah aktif menjadi pengajar beberapa bimbingan belajar di Kota Medan pada tahun 2007-2011.