Hidup sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan fisik bisa jadi sesuatu yang tak mudah. Akan tetapi, hal itu bukanlah suatu kekurangan yang membuat penyandang keterbatasan fisik itu selalu tergantung kepada orang lain.

Jika ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, seorang penyandang disabilitas juga dapat mandiri dan mengeluarkan potensi yang ia miliki secara maksimal. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dari keluarga, masyarakat, serta pemerintah dalam menyediakan layanan publik yang ramah untuk para penyandang disabilitas.

Alasan penerjemah bahasa isyarat untuk tunawicara perlu diperbanyak
Belajar bahasa isyarat di Bali. (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Penyandang disabilitas menurut UU No 8 tahun 2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpatisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dalam kesempatan ini penulis ingin membuat penelitian lebih mengkhususkan untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas, dalam hal ini keterbatasan kemampuan berbicara atau yang dapat disebut tunawicara. Mengingat tunawicara juga merupakan disabilitas yang memiliki keterbatasan fisik dalam hal berbicara.

Tunawicara di Indonesia.

Tunawicara atau yang juga disebut bisu merupakan ketidakmampuan seseorang untuk berbicara karena organ-organ penting untuk berbicara tidak dapat berfungsi dengan baik. Umumnya, gangguan ini dialami sejak kecil. Bahkan menurut World Health Organization, satu dari seribu bayi yang terlahir ke dunia mengalami gangguan pendengaran dan bicara.

Lalu 50 persen di antaranya mengalami gangguan pendengaran yang kemudian berujung pada gangguan bicara. Penyebab kebisuan sendiri ini misalnya, faktor genetika karena perkawinan dengan kekerabatan yang terlalu dekat, sehingga terjadi mutasi gen yang tidak wajar, adanya kerusakan sistem syaraf, dan lain sebagainya.

Berdasarkan survei penulis lakukan terhadap 21 responden dengan rentang usia 17 hingga 25 tahun, sebanyak 75 persen responden mengaku jarang berinteraksi dengan penyandang disabilitas dan 25 persen lainnya mengaku tidak pernah berinteraksi dengan mereka. Meskipun begitu, ketika ditanya perihal kepedulian mereka terhadap penyandang tuna wicara, 35 persen responden mengaku sangat peduli, 55 persen mengaku peduli, sedangkan 10 persen lainnya mengaku biasa saja.

Melalui survei ini, responden menyampaikan bahwa mereka masih menjumpai perlakuan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas tunawicara. Sebanyak 65 persen responden mengaku bahwa perlakuan diskriminasi masih banyak dilakukan, 25 persen lainnya mengaku bahwa perilaku diskriminasi ada tetapi biasa saja, sedangkan 10 persen sisanya mengaku tidak mengerti.

Karena adanya perilaku diskriminasi ini, sebanyak 60 persen responden dari mereka menilai bahwa para penyandang disabilitas ini belum mampu menyalurkan potensi yang mereka miliki karena mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat normal lainnya. Hanya 30 persen responden saja yang merasa para penyandang disabilitas cukup mampu menyalurkan potensi mereka, sedangkan 10 persen sisanya berkata sudah, dan satu orang menilai para penyandang disabilitas sudah sangat mampu menyalurkan potensi mereka.

Indonesia termasuk tertinggal dalam pelayanan publik yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang, Indonesia termasuk negara yang tertinggal dalam pelayanan publik yang ramah untuk penyandang disabilitas. Di negara tersebut, seluruh fasilitas publik mulai dari tempat parkir, elevator khusus untuk difabel, hingga kemasan-kemasan produk seperti shampo dan susu dibuat untuk ramah terhadap penyandang disabilitas.

Ketika seorang tunawicara memberikan isyarat kepada pelayan restoran bahwa dirinya bisu, pelayan akan sigap memberi solusi dengan memberikan kertas untuk menuliskan pesanannya. Di Indonesia sendiri masyarakat umum masih takut-takut untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas, bahkan sering dijumpai para pelayan publik yang ragu-ragu untuk melayani para penyandang disabilitas.

Hal ini diungkapkan oleh Nuning Suryaningsih, Direktur Ciqal dan penyandang disabilitas. Menurutnya, di kotanya yaitu Yogyakarta hanya beberapa kabupaten kota yang memiliki komitmen terhadap aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas. Di daerah Yogyakarta, walaupun belum memiliki peraturan yang secara spesifik melindungi penyandang difabel, tetapi karena komitmen walikotanya, beberapa tempat di lingkungan Pemkot sudah berupaya memenuhi aksesibilitas, walaupun masih ada beberapa catatan soal standar aksesibilitasnya.

Di Indonesia sendiri, layanan publik masih kurang ramah untuk penyandang disabilitas. Untuk memenuhi kebutuhan mereka atas barang, jasa atau pelayanan administratif, sebanyak 50 persen dari seluruh responden yang berpartisipasi dalam survey mengungkapkan bahwa layanan publik yang disediakan belum mampu memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas, sedangkan 35 persen lainnya mengungkapkan bahwa layanan publik sudah cukup baik, dan 15 persen sisanya mengatakan layanan publik yang tersedia sudah baik.

Namun, ketika ditanya apakah para responden ini mengetahui bentuk aksesibilitas yang harus disediakan untuk para penyandang disabilitas ini, sebanyak 65 persen responden mengaku bahwa mereka kurang begitu tahu mengenai hal itu. Hanya 30 persen saja yang mengaku sudah tahu bentuk aksesibiltas apa yang sebaiknya ada untuk para penyandang disabilitas, dan 5 persen lainnya mengaku sama sekali tidak tahu.

Melalui survei ini, sebanyak 55 persen responden menyampaikan bahwa negara belum menjamin hal pelayanan publik untuk penyandang disabilitas terutama tunawicara, sedangkan 25 persennya berkata hak mereka sudah cukup terjamin, sementara 20 persennya lagi menyampaikan bahwa hak para penyandang disabilitas ini sudah terjamin.

Masyarakat disabilitas tunawicara masih kurang mendapatkan aksesibilitas yang cukup dalam pelayanan publik, misalnya dalam memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa ataupun layanan administratif dari pemerintah. Dengan demikian, perlu ditingkatkan aksesibilitasnya yang berupa adanya penerjemah bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas tunawicara sewaktu menyelenggarakan pelayanan publik, khusus bagi penyandang disabilitas tunawicara.

Oleh karena itulah penulis ingin mendorong kesadaran masyarakat, khususnya penyelenggara pelayanan publik agar mereka mempertimbangkan merekrut pegawai untuk menerjemahkan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas tunawicara.

Dalam artikel ini, penulis ingin memberikan saran kepada baik penyelenggara pelayanan publik, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya untuk lebih menjamin hak aksesibilitas yang seharusnya didapat oleh penyandang disabilitas tunawicara yang berupa disediakannya penerjemah bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas tunawicara dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar mereka dapat lebih mudah berkomunikasi dan mengakses pelayanan publik dalam hal kesamaan kesempatan.