Sebagian besar individu dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk dalam satu unit sosial yang terkecil yakni keluarga. Galvin et. al (dalam Adler et. al, 2020) mendefinisikan unit sosial keluarga sebagai suatu sistem dengan dua orang atau lebih yang saling bergantung satu sama lain, memiliki sejarah, dan kerap terlibat dalam situasi atau peristiwa yang sama, memiliki harapan dan pengaruh satu sama lain untuk membentuk masa depan bersama.

Definisi keluarga yang saat ini kita kenal tidak terbatas pada interaksi sosial yang melibatkan hubungan biologis atau sistem kekerabatan saja, melainkan definisi tersebut dapat diperluas dengan mempertimbangkan faktor-faktor penentu lainnya seperti keputusan untuk mengadopsi anak dari pasangan orang dewasa yang berbeda jenis kelamin atas hubungan seksual yang disetujui secara sosial (Murdock dalam Adler et. al, 2020).

Dalam hubungan keluarga, tentunya memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda antara hubungan keluarga yang satu dengan hubungan keluarga yang lain, begitu pula pola komunikasi antar anggota keluarga yang terlibat di dalamnya akibat perbedaan karakteristik yang melekat dalam diri masing-masing anggota keluarga. Hal inilah yang sering kali menimbulkan adanya perbedaan pendapat, pandangan atau prinsip sehingga memicu terjadinya konflik dalam hubungan keluarga.

Pada umumnya konflik dalam keluarga akan terus terjadi selama adanya interaksi antar anggota keluarga secara berkesinambungan. Walaupun demikian, umumnya masing-masing anggota keluarga tidak menginginkan konflik dalam hubungan keluarga terjadi secara terus menerus sampai berlarut-larut.

Menurut pengamatan Adler et. al (2020), salah satu satu pemicu terciptanya problematika yang sering dihadapi dalam hubungan keluarga adalah kekuasaanbagaimana aturan keluarga dibuat dan siapa yang menegakkannya. Konflik dalam hubungan keluarga juga sering terjadi akibat adanya perbedaan dalam kebutuhan keintiman: Jumlah kasih sayang yang diberikan dan diterima oleh anggota keluarga, banyaknya waktu yang dihabiskan bersama dengan anggota keluarga, dan berapa banyak pujian yang harus diutarakan kepada masing-masing anggota keluarga. Pada akhirnya, akan bermuara pada konflik dalam hubungan keluarga yang berkaitan dengan kesulitan berinteraksi, termasuk sulit untuk menangani konflik yang dihadapi.

Tak dapat dimungkiri, terdapat bukti atas kesulitan anggota keluarga dalam menangani dan mengatasi konflik dengan cara serta sikap negatif seperti memperlihatkan adanya sikap agresi fisik dan verbal sampai pada sikap mengabaikan konflikhal ini tidak disarankan sebagai upaya mengatasi konflik dalam hubungan keluarga, karena akan merusak hubungan antar anggota keluarga.

Lalu, bagaimana bentuk upaya yang tepat untuk menyelesaikan konflik sehingga mampu menciptakan hubungan antar anggota keluarga menjadi lebih kuat?

Secara umum, masing-masing anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas interaksi dan komunikasi serta menyadari bahwa setiap konflik yang terjadi dalam hubungan keluarga harus segera ditangani. Secara konkret, Adler et.al (2020) menjabarkan beberapa prinsip umum manajemen konflik yang dapat digunakan oleh masing-masing anggota keluarga sebagai langkah strategis untuk menghindari serta menyelesaikan problematika yang terjadi dalam hubungan keluarga, antara lain sebagai berikut.

1. Hindari untuk memperpanjang pembahasan terkait hal-hal kecil.

Memperpanjang pembahasan atas sesuatu yang dirasakan atau ditemui menjadi celah dalam menciptakan konflik interpersonal dalam hubungan keluarga, mengingat pada praktiknya akan selalu ada perbedaan pendapat, pandangan, prinsip dan gaya bahasa dari masing-masing anggota keluarga. Ada kalanya masing-masing anggota keluarga membutuhkan perhatian, tetapi di sisi lain ada kalanya tiap-tiap anggota keluarga membutuhkan ruang gerak yang tidak dapat diganggu oleh siapa pun, khususnya yang terkait dengan masalah-masalah pribadi, dengan demikian tiap-tiap anggota keluarga hendaknya mampu menghargai privasi masing-masing.

2. Fokus pada permasalahan yang perlu dikelola bersama.

Permasalahan umum yang sering terjadi dalam interaksi antar anggota keluarga adalah perdebatan tentang sikap anggota keluarga yang berusaha untuk mengendalikan seluruh aspek yang terkandung dalam hubungan keluarga, perbedaan pendapat tentang tata letak barang dalam rumah, kebutuhan akan kelengkapan informasi mengenai rencana masing-masing anggota keluarga yang tidak terpenuhi, sampai kepada perasaan akan urusan pribadi yang terganggu. Dengan demikian, tiap-tiap anggota keluarga perlu mempertimbangkan cara untuk mengatasi masalah-masalah umum atau khusus yang muncul dengan memilah bentuk masalah yang dihadapi bersama dari bentuk masalah yang besar, lalu dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga akan lebih mudah untuk dikelola.

3. Mengungkapkan secara terbuka terhadap penghargaan dan keluhan.

Perbedaan yang ada dalam hubungan keluarga tidak hanya perbedaan pendapat, pandangan atau prinsip saja, tetapi juga adanya perbedaan kebutuhan sosial. Masing-masing anggota keluarga akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial itu dalam bentuk penghargaan terhadap segala hal yang dilakukan. Hal ini akan menciptakan perasaan dihargai dan diakui keberadaannya atau eksistensinya oleh masing-masing anggota keluarga, maka akan membentuk rasa kepercayaan diri tiap-tiap anggota keluarga.

Di sisi lain dengan menyampaikan keluhan terhadap sikap anggota keluarga yang menyimpang dapat dilakukan oleh tiap-tiap anggota keluarga sebagai bentuk perhatian dan sarana perbaikan dan introspeksi diri di kemudian hari. Dengan demikian, tiap-tiap anggota keluarga perlu memahami karakter dan kepribadian masing-masing anggota keluarga dalam menyampaikan pesan-pesan terhadap sikap negatif yang melekat dalam diri masing-masing, sehingga tidak akan menciptakan sikap defensif.

4. Mencari dan menemukan solusi secara bersama dengan orientasi konflik menang-menang.

Jika dalam suatu hubungan keluarga mengalami problematika yang tidak dapat terselesaikan dalam satu kurun waktu tertentu, maka konflik lain akan muncul dalam bentuk yang berbeda, terutama ketika beberapa anggota keluarga menyadari bahwa ketika satu orang anggota keluarga tidak bahagia, maka seluruh anggota keluarga cenderung akan menderita. Berkaca dari situasi tersebut maka tiap-tiap anggota keluarga hendaknya berkontribusi penuh terhadap permasalahan yang dihadapi bersama dalam hubungan keluarga. Hal ini akan berdampak dalam membangun kohesi, kepercayaan dan kepuasan diri atas solusi yang diputuskan secara bersama-sama.

Hal-hal tambahan yang perlu diingat dan direnungkan bersama, bahwa terdapat beberapa indikator komunikasi keluarga yang dinilai sangat baik oleh Caughlin (dalam Adler et. al, 2020) dalam menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam hubungan keluarga dengan cara membangun sikap saling memberikan dukungan secara emosional, mampu mengungkapkan kasih sayang secara verbal dan non-verbal serta bersikap sopan antar anggota keluarga dan membuat dasar aturan kedisiplinan yang jelas.