Brilio.net - Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 21 Mei 2025. Ia diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait pemberian fasilitas kredit dari sejumlah bank milik negara dengan total nilai mencapai Rp 692 miliar. Dana yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja perusahaan ini, justru diduga dialihkan untuk membayar utang kepada pihak ketiga dan membeli aset-aset tak produktif seperti lahan di beberapa lokasi, termasuk di Yogyakarta dan Solo.

Profil singkat Iwan Setiawan Lukminto

Lahir di Solo, Jawa Tengah pada 24 Juni 1975, Iwan Setiawan Lukminto merupakan putra dari H.M. Lukminto, pendiri Sritex. Kiprahnya di perusahaan keluarga ini dimulai sejak 1997 sebagai Asisten Direktur. Dua tahun berselang, ia dipercaya menduduki posisi Wakil Direktur Utama hingga 2005. Kariernya terus menanjak, dan pada 9 Juni 2014, Iwan resmi menjabat sebagai Direktur Utama Sritex, posisi yang ia emban hingga 2023. Sejak tahun itu, ia beralih ke kursi Komisaris Utama.

Iwan mengantongi gelar Sarjana Administrasi Bisnis dari Suffolk University, Amerika Serikat. Di luar perannya di Sritex, ia juga dikenal aktif di berbagai organisasi industri dan ekonomi. Iwan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) untuk periode 2020–2021. Selain itu, dia juga tercatat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).

Kronologi dan dugaan kasus korupsi

Pada Selasa malam, 20 Mei 2025, Kejaksaan Agung resmi menangkap Iwan di kediamannya di Solo. Usai penangkapan, Iwan langsung dibawa ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan intensif terkait kasus kredit bermasalah yang menyeret nama sejumlah bank pemerintah dan perusahaan tekstil raksasa nasional, Sritex.

Kasus ini berawal dari pemberian kredit jumbo senilai total Rp 3,58 triliun oleh beberapa bank milik pemerintah kepada Sritex. Dua di antaranya adalah PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) serta PT Bank DKI Jakarta. Namun hingga Oktober 2024, kredit tersebut belum juga dilunasi.

Hasil penyelidikan mengungkap adanya pelanggaran prosedur dan tindakan melawan hukum dalam proses pemberian kredit ini. Dua pejabat bank yang saat itu menjabat, yakni Zainuddin Mappa (Direktur Utama Bank DKI tahun 2020) dan Dicky Syahbandinata (Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB tahun 2020), telah ditetapkan sebagai tersangka. Dana kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, justru dialihkan untuk membayar utang dan membeli aset tidak produktif. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp 692 miliar.

Dampak dan penanganan kasus

Kasus ini menyedot perhatian publik karena melibatkan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia serta sejumlah pejabat strategis bank daerah. Kerugian negara yang ditimbulkan pun sangat besar. Kejagung menegaskan akan terus mendalami penyidikan demi membongkar seluruh jaringan serta modus operandi yang digunakan dalam skandal kredit ini.

Sejarah perjalanan Sritex

PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau lebih dikenal dengan nama Sritex, adalah salah satu nama besar dalam industri tekstil Indonesia yang pernah bersinar terang di kancah Asia Tenggara. Perjalanan perusahaan ini dimulai dengan langkah sederhana namun visioner, ketika didirikan oleh H.M. Lukminto pada tahun 1966 sebagai usaha kecil bernama UD Sri Rejeki di Pasar Klewer, Solo — pusat perdagangan tekstil tradisional yang ramai kala itu.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 1968, Sritex mulai menunjukkan taringnya dengan membuka pabrik cetak pertamanya di Solo, memproduksi kain putih dan kain berwarna. Perkembangannya terus berlanjut, dan pada 1978, perusahaan ini resmi berbadan hukum sebagai perseroan terbatas dengan nama PT Sri Rejeki Isman. Untuk memperluas kapasitas dan lini produksinya, Sritex membangun pabrik tenun pertama pada 1982.

Tonggak sejarah penting tercatat pada 1992, saat Sritex mengintegrasikan empat lini produksi utama—pemintalan, penenunan, penyempurnaan akhir, dan konfeksi—dalam satu kompleks industri yang modern. Lompatan besar terjadi pada 1994 ketika Sritex dipercaya untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan Angkatan Darat Jerman, membuka jalan ke pasar internasional dan memperkuat reputasi globalnya.

Ketangguhan Sritex semakin teruji saat krisis moneter 1998 melanda. Alih-alih tumbang, perusahaan justru mampu berkembang hingga delapan kali lipat dari kondisi sebelumnya. Kesuksesan tersebut mencapai babak baru pada 2013, saat Sritex resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dengan kode SRIL, menjadikannya sebagai salah satu pemain utama dalam industri tekstil nasional.

Namun, di balik catatan gemilang tersebut, Sritex tidak luput dari tantangan. Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan finansial dan beban utang yang terus membengkak membuat perusahaan ini goyah. Hingga akhirnya, pada 2024, Sritex dinyatakan pailit — sebuah penutup pahit bagi perusahaan yang pernah menjadi simbol kejayaan industri tekstil Indonesia.

Sejarah Sritex adalah potret nyata sebuah perjalanan bisnis: dimulai dari nol, meraih kejayaan global, hingga harus menghadapi kerasnya gelombang dinamika dunia usaha modern.