Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana pemindahan ibu kota negara Republik Indonesia. Awalnya, melalui rapat terbatas dengan beberapa menteri pada Senin, 29 April 2019, terdapat tiga opsi yang menjadi kajian. Pertama, tetap berada di Jakarta, kedua, di sekitar Bogor, dan ketiga, di luar Pulau Jawa. Dengan beberapa pertimbangan seperti kerawanan banjir, tingginya tingkat kemacetan, pencemaran berat, dan degradasi sosial hingga alih fungsi lahan yang mengakibatkan Pulau Jawa semakin sempit, maka lokasi di luar Pulau Jawa menjadi pilihan. Ada tiga wilayah yang dianggap punya potensi sebagai alternatif wilayah ibu kota yang baru, yakni di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Wacana perpindahan ibu kota negara sebenarnya bukan hal baru. Presiden Soekarno sempat dua kali menakar ide itu di tahun 1957 dan 1965 dengan memilih Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Lalu di era Presiden Soeharto, gagasan itu juga sempat mengemuka dengan usulan perpindahan ke daerah Jonggol, Bogor. Dan, di tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali menyuarakan hal serupa. Bedanya, Presiden SBY ketika itu menawarkan tiga alternatif. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan dengan pembenahan besar-besaran. Kedua, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota tapi memindahkan pusat pemerintahan ke daerah lain. Ketiga, membangun ibu kota yang baru.

Tetapi, seperti yang kita saksikan, tidak ada perpindahan sama sekali. Artinya, wacana itu hanya tetap sebatas wacana. Dengan demikian menjadi menarik untuk menyaksikan apakah di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ide itu akan terwujud atau sama saja seperti yang sudah-sudah. Jika Presiden Joko Widodo kembali memenangi pilpres 2019, tampaknya beliau dan jajarannya punya komitmen yang kuat untuk merealisasikan rencana itu.

Strategi politik?

Belakangan, ada pihak-pihak yang menganggap kebijakan ini sebagai muatan politik mengingat Gubernur DKI sekarang, Anies Baswedan, berada di gerbong oposisi. Terlepas dari pro dan kontra soal kepemimpinannya di DKI, Anies Baswedan ditengarai menjadi salah satu kandidat kuat memperebutkan kursi RI 1 pada pilpres 2024.

Menjabat sebagai gubernur di ibu kota negara sudah pasti menjadi portofolio yang sangat menguntungkan Anies dari sisi elektoral. Kita tentu tidak lupa bahwa sebelum menang di 2014, Presiden Joko Widodo juga merupakan gubernur DKI. Modal ini yang sepertinya akan dimanfaatkan oleh Anies dan partai-partai pengusungnya. Apalagi, rumor kembalinya Sandiaga Uno mengisi pos wakil gubernur DKI yang masih kosong semakin kuat. Kombinasi Anies-Sandi sudah terbukti mampu mengalahkan inkumben Ahok-Djarot di pilkada DKI 2017. Dan menjadi semakin logis karena pada pertarungan di 2024 nanti, Presiden Joko Widodo dipastikan sudah tidak bisa ikut dalam kompetisi lagi.

Kemudian Fadli Zon, seperti yang dikutip dari laman Sindonews.com (01 Mei 2019) bersikukuh kalau ide itu hanya sebatas isapan jempol dan pengalihan isu yang tidak akan akan terjadi dalam waktu dekat. Intinya, politik memang penuh dengan spekulasi. Tapi, kalau mau menelisik secara komprehensif, harus diakui Jakarta sudah tidak ideal lagi untuk tetap dipertahankan sebagai ibu kota. Selain persoalan-persoalan yang sudah dipaparkan di atas, Jakarta dan Pulau Jawa selama ini begitu mendominasi sektor perekonomian, khususnya wilayah Jabodetabek sehingga ketimpangan ekonomi dengan pulau-pulau lain begitu signifikan. Perpindahan ibu kota akan mengubah citra Jawa sentris menjadi Indonesia sentris demi pemerataan pembangunan.

Selain itu, catatan sejarah juga membuktikan bahwa penunjukkan Jakarta dulu ternyata hanya gagasan spontanitas karena pusat perdagangan yang ditinggalkan VOC kebetulan berpusat di sana. Maka tidak heran kalau Jakarta dari dulu hingga sekarang terlihat tidak pernah siap untuk menjadi ibu kota RI di banyak aspek. Ibarat penyakit, selain kronis, Jakarta juga sudah mengalami komplikasi. Untuk mengobatinya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, tidak ada jaminan bahwa penyakit-penyakit itu tidak akan kambuh lagi.

Anies Baswedan sendiri sepertinya sadar betul betapa kompleksnya masalah-masalah di Jakarta. Belum lama ini, dia pernah mengajukan proposal kepada Presiden Joko Widodo agar menggelontorkan dana sebesar Rp571 triliun rupiah demi percepatan pembangunan DKI. Menariknya, setelah ditugaskan Presiden Joko Widodo untuk mengkaji rencana perpindahan ibu kota sejak tahun 2017 bersama dengan Kementerian PUPR, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengkalkulasikan estimasi biaya perpindahan ibu kota negara ternyata lebih murah daripada biaya yang diajukan Anies Baswedan, yakni sebesar Rp466 triliun.

Nah, perbedaan Rp105 triliun tentu bukan angka yang kecil bukan? Sekadar memberikan gambaran, uang sebanyak itu sudah bisa membeli 63 Cristiano Ronaldo. Selain itu, selisih tadi juga sudah hampir mendekati alokasi 20 persen untuk anggaran pendidikan di tahun 2018 sebesar Rp149,680 triliun. Bahkan, masih menurut Bambang Brodjonegoro, jumlah Rp466 triliun itu masih bisa dipangkas menjadi Rp323 triliun dengan cara menggandeng pihak swasta agar bisa mengurangi beban APBN. Maka dari itu, opsi perpindahan ibu kota sudah sepatutnya dipandang sebagai kebutuhan urgent nasional.

Mencari alternatif.

Kita bisa mencontoh negara-negara seperti Brasil, Pakistan, Kazakhstan, Nigeria, Rusia atau India yang sudah mencicipi keberhasilan setelah memindahkan ibu kota masing-masing. Bahkan, negara adikuasa, Amerika Serikat saja sudah pernah mengganti ibu kotanya tidak kurang dari sembilan kali. Jadi kita tidak perlu alergi apalagi anti dengan kebijakan ini. Yang kemudian menjadi persoalan pokok sekarang adalah mengkaji secara empiris wilayah mana yang paling tepat untuk menggantikan Jakarta. Bappenas, dilansir dari laman Tempo.co membocorkan beberapa kriteria penting.

Pertama, harus berada di tengah-tengah wilayah Indonesia agar memberikan keseimbangan antara wilayah barat, timur, utara dan selatan sehingga cukup representatif untuk pembangunan yang berkeadilan. Kedua, sudah memiliki BUMN agar pemerintah tidak perlu melakukan pembebasan lahan. Ketiga, bebas dari bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, kebakaran hutan maupun lahan gambut. Keempat, punya sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan. Kelima, memiliki akses mobilitas dan logistik seperti bandara, pelabuhan dan jalan terhubung. Keenam, tidak jauh dari pantai karena Indonesia adalah negara maritim. Ketujuh, mempunyai tingkat layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai. Kedelapan, minim potensi konflik sosial dan kultur masyarakatnya terbuka untuk menerima pendatang. Kesembilan, tidak berdekatan dengan wilayah perbatasan negara untuk meminimalisasi kerentanan dan menjaga wilayah teritorial.

Jika melihat sembilan syarat tadi, tiga pulau alternatifSumatera, Sulawesi dan Kalimantan tidak ada yang benar-benar paling dominan. Masing-masing punya keunggulan dan kelemahan. Sebagai contoh, Sumatera dan Kalimantan boleh jadi lebih unggul dari Sulawesi untuk aspek nomor dua karena di dua pulau itu terdapat cukup banyak BUMN berdiri. Tapi, untuk persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut, Sumatera dan Kalimantan relatif lebih rentan. Atau, Sulawesi boleh kita anggap lebih unggul di aspek keenam dibandingkan Sumatera dan Kalimantan karena pantai-pantainya menjadi tujuan wisata favorit di dalam dan luar negeri. Namun, Sulawesi punya kelemahan di aspek kedua, terutama soal gempa bumi dan tsunami.

Artinya, pada titik ini, pemerintah harus benar-benar mendalami potensi serta kekuatan ketiga wilayah itu dan jeli melihat mana yang paling minim kelemahannya. Presiden Joko Widodo lewat akun instagramnya meminta masukan masyarakat terkait daerah yang akan menjadi ibu kota baru Indonesia. Poling yang dilakukan detikFinance menempatkan Palangka Raya di urutan teratas dengan persentase sebesar 49 persen. Apakah provinsi pilihan Presiden Soekarno itu yang nantinya benar-benar akan menjadi ibu kota baru NKRI? Atau Kalimantan Timur yang baru-baru ini menurut Presiden Joko Widodo punya infrastruktur lengkap, fasilitas mendukung, dan terpisah dari pusat ekonomi dan bisnis? Atau mungkin ada daerah alternatif lain yang lebih potensial? Kita tunggu saja.

*Penulis merupakan kolumnis lepas, Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan, dan Dosen PTS.