Toraja merupakan salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan. Toraja sendiri terbagi dua yakni Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Letaknya yang berada di dataran tinggi membuatnya suhu lumayan lembab serta tanah yang subur, maka jangan heran ketika kita gampang menemukan pohon aren hampir di semua tempat yang ada di Toraja.

Tuak merupakan minuman yang berasal dari pohon nira aren. Satu pohon aren bisa menghasilkan tiga hingga 20 liter tuak setiap pagi dan sore. Untuk menghasilkan tuak yang enak dan berkualitas prosesnya cukup panjang dan diperlukan keahlian khusus. Dimulai dari mencari pohon yang sudah mulai tumbuh tandan bunga jantan kemudian membersihkan batang dari ijuk agar tidak membahayakan. Setelah itu menyiapkan tangga serta kuda-kuda yang akan digunakan untuk memanjat serta mengambil tuak dari pohonnya. Tangga dan kuda-kuda ini biasanya terbuat dari bamboo. Kemudian batang tandan mulai dimemarkan dengan memukul-mukulnya secara berkala dalam beberapa hari. Barulah tandannya dipotong jika keluar cairan menetes tandanya ada tuak, maka dipasangkan tahang yang juga terbuat dari bambu dan dibiarkan tergantung selama kurang lebih 12 jam. Setiap pagi dan sore orang ( Toraja: to mambata ) akan mengambil ke pohonnya. Biasanya tuak yang diambil dipagi hari lebih banyak dari tuak yang diambil pada sore hari karena perbedaan jangka waktu.

Bagi masyarakat Toraja minuman ini adalah salah satu minuman wajib yang disediakan dalam kegiatan apapun setelah kopi. Mulai dari kerja bakti, kegiatan syukuran, acara duka, membajak sawah dan kegiatan lainnya.

Bukan hanya dalam kegiatan tertentu tetapi tuak juga sudah menjadi lifestylebagi banyak masyarakat Toraja. Dalam satu kampung atau daerah tertentu pasti ada saja tempat berkumpul setiap malamnya untuk menikmati tuak sambil bercerita ditemani daging panggang dan juga Cabai katokkon ( Toraja :Lada Katokkon cabai parika endemik dataran tinggi yang banyak ditemui di Toraja).Tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa ini bukan gaya hidup mabuk-mabukan. Tujuan dasar minum tuak pada malam hari sebenarnya untuk mengilangkan rasa capek bekerja seharian di ladang dan sawah juga agar bisa tidur nyenyak supaya paginya bisa bangun dengan kondisi fit.

Dari dulu tuak sudah menjadi gaya hidup dan bahkan kebutuhan orang Toraja yang wajib ada dalam setiap kegiatan tertentu. Dalam acara rambu solo (acara kedukaan) biasanya setiap keluarga akan menyiapkan makanan, minuman dan tuak untuk setiap tamu yang datang melayat. Rangkaian Acara Rambu Solo berbeda dengan acara kedukaan di tempat lain yang biasanya cuman satu atau dua hari di Toraja bisa sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dimulai dari pembuatan pemondokan (Toraja : lantang berarti pemondokan) hingga acara penguburan. Dalam setiap rangkaian acara selalu disediakan tuak untuk diminum dan dinikmati bersama begitupun dalam Acara Rambu Tuka ( acara yang sifatnya syukuran ). Bukan hanya dalam acara, di warung-warung makan pinggir jalan pun ada disediakan tuak.

Begitu banyak tuak yang dikonsumsi masyarakat Toraja setiap hari. hal inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa orang yang kemudian terjun menjadi pebisnis tuak. Mereka membeli ke pembuat kemudian dijual kembali. Untuk harga relative berubah-ubah tergantung dengan permintaan. Ketika musim acara ( bisasanya bulan Juni sampai Januari) harga satu jerigen ukuran 20liter bisa mencapai Rp400.000 dan akan turun sampai 50% ketika bukan musim acara. Ini baru harga di tangan kedua atau pengepul mereka sudah bisa mendapatkan untung dua hingga tiga juta rupiah tiap harinya. Harga yang relative stabil biasanya di warung makan yakni kisaran Rp 35.000 tiap ceret berukuran satu liter berarti tiap 20liter tuak mereka untung Rp 350.000 . Dengan permintaan yang tidak pernah habis tidak heran jika bisnis tuak di Toraja jadi salah satu bisnis primadona yang menjanjikan keuntungan besar. Jika pembaca sedang jalan-jalan di Toraja, maka mampirlah ke warung makan dan nikmati segelas tuak khas dataran tinggi dengan kualitas nomor wahid. Kurre sumanga.