Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Bagi umat Muslim di Indonesia, yang selalu dirayakan setiap tahunnya adalah salah satunya Lebaran. Kemeriahan dalam perayaan tersebut tidak dipungkiri akan mengorbankan materi yang tidak sedikit.

Trauma harga tinggi ketika lebaran

Pengorbanan materi ini sudah menjadi keharusan, dikarenakan pada atau bahkan menjelang Lebaran saja harga-harga di pasaran sudah mengalami kenaikan. Kejadian seperti ini sepertinya sudah membekas bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, harga telur dihari biasanya cuma Rp 1500, ketika menjelang Lebaran mengalami kenaikan menjadi Rp 2200. Meskipun memberatkan masyarakat, akan tetapi karena perayaan ini merupakan hari suci, mau tidak mau harus dirayakan.

Munculnya polemik seperti ini, pemerintah tidak pernah tinggal diam. Mereka selalu berusaha untuk membuat masyarakat tetap tenang dengan urusan finansialnya ketika menyambut Lebaran.

Mengutip pernyataan Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, pada acara Q&A MetroTV, Kamis lalu, (30/5) bahwa harga di pasaran masih tetap dikontrol untuk mengupayakan harga yang stabil. Penyebab harga mengalami kenaikan dikarenakan faktor supply dan demand yang tidak seimbang dan disribusi bahan-bahan pasar. Permasalahannya juga beda ditiap daerah, pasar Wonokromo hanya mendapatkan supply ayam 30%. Memang dapatnya hanya segitu. Dan permasalahan di tiap daerah itu beda-beda. Misalnya, Malang yang dekat dengan Blitar dan daerahhnya juga dekat dengan Boyolali harga di sana itu murah. Karena berdekatan dengan daerah peternakan ayamnya.

Polemik pertama memang, ketika menjelang Lebaran distribusi itu sudah mengalami perubahan drastis. Mengapa? Karena para distributor lebih memilih penawaran yang tinggi. Hal inilah yang membuat terjadinya di suatu daerah mengalami kekosongan stok barang pasar.

Trauma harga tinggi ketika lebaran

Imbasnya terkena pada masyarakat. Mereka yang sangat butuh, misalkan barang-barang sembako harus menguras dompet karena harganya jadi mahal. Masih mending barangnya ada.

Efeknya untuk saat ini, jadi pelaku usaha yang mengeluh. Bagaimana tidak, daya beli masyarakat menjadi menurun. Trauma harga tinggi di bulan Ramadhan itu masih tetap melekat.