Fakta ilmiah menunjukkan bahwa negara kita sangat rawan terhadap bencana alam (highly susceptible to natural disasters). Penyebabnya adalah letak geografis Indonesia yang berada di tengah area Cincin Api Pasifik (Circum Pacific Belt) dan jalur gempa Sabuk Alpide, serta di atas lempengan tektonik yang mengakibatkan gempa bumi sering terjadi. Bila gempa bumi terjadi, maka kita, terutama yang tinggal di dekat laut, harus selalu siaga terhadap potensi datangnya tsunami. Selain persoalan gempa bumi dan tsunami, negara ini juga harus ditakdirkan memiliki banyak gunung berapi. National Geographic melaporkan terdapat sedikitnya 129 gunung berapi di Indonesia. Konsekuensinya, negara kita menjadi kawasan yang paling aktif secara seismik di muka bumi.

Sepanjang tahun 2018 yang baru berlalu saja, Indonesia sudah mengalami berbagai bencana alam secara bertubi-tubi. Belum hilang rasa duka mendalam akibat gempa 7 Skala Richter di Lombok pada bulan Agustus yang kemudian disusul gempa dan tsunami di Palu dan Donggala di bulan September, kita kembali harus meratap akibat tsunami Selat Sunda yang melanda Banten dan Lampung Selatan pada Sabtu, 22 Desember.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data pada 26 Desember 2018 pukul 13.00 WIB bahwa jumlah korban tewas sudah mencapai 430 orang, 1.495 orang mengalami luka-luka, 159 orang hilang dan 21.991 orang harus mengungsi. Bahkan di antara korban meninggal terdapat sejumlah artis seperti tiga personel band Seventeen, Bani (bassist), Herman Sikumbang (gitaris), Andi (drummer) dan komedian sekaligus personil grup band lawak teamlo, Heriyanto atau yang lebih dikenal dengan Aa Jimmy karena wajahnya mirip Aa Gym.

Selfie di lokasi bencana tidak etis.

Seperti bencana alam yang sudah-sudah, bantuan memang selalu datang dari dalam dan luar negeri. Para relawan berbondong-bondong menuju lokasi ikut membantu evakuasi, memberikan waktu, dan tenaga merawat para korban. Bantuan dana juga mengalir melalui rekening-rekening kemanusiaan yang dibuka stasiun-stasiun televisi, lembaga-lembaga sosial, dan lain-lain. Ini bukti bahwa masih banyak orang yang punya kepekaan dan kepedulian sosial terhadap sesama manusia di negeri ini.

Akan tetapi ada sebuah hal yang cukup mengusik perhatian kita. Media asal Inggris, The Guardian menuliskan headline menohok, Destruction gets more likes : Indonesias tsunami selfie-seeker. Dari banyaknya relawan maupun orang yang terjun ke lokasi bencana tsunami Selat Sunda itu, ada yang menyempatkan diri melakukan swafoto atau selfie dengan pose dan ekspresi wajah jauh dari kesan empati. Pasalnya mereka berfoto sambil tersenyum dengan gaya tubuh yang justru malah terkesan mencerminkan keceriaan. Padahal di sekeliling mereka terdapat reruntuhan bangunan yang mungkin saja masih menyisakan korban yang tertimpa. Aksi mereka ini pada akhirnya mendapat sorotan nasional dan internasional.

Menurut beberapa media, orang-orang yang terciduk melakukan swafoto sumringah berlatar belakang reruntuhan bencana punya alasan tersendiri. Ada yang menyatakan bahwa foto-foto itu sebagai bukti dokumentasi bahwa mereka benar-benar ke lokasi dan menyalurkan donasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Mereka juga beranggapan jika foto-foto tadi akan mendapatkan banyak likes saat diunggah di media sosial sembari mengingatkan orang-orang lain agar bersyukur karena berada di tempat yang lebih aman. Ada pula yang jauh-jauh datang dari Cilegon dan Jakarta khusus untuk berswafoto. Mereka bahkan perlu mencari lokasi yang tepat selama kurang lebih 30 menit.

Apapun alasannya, aksi-aksi selfie tadi sama sekali tidak etis. Kalau untuk alasan bukti dokumentasi, kenapa tidak mengabadikan kondisi reruntuhan saja? Dan kalau pun harus menyertakan foto-foto mereka di lokasi bencana, pastinya tidak perlu juga sampai mengumbar ekspresi-ekspresi riang gembira di saat masyarakat sekitar sedang dirundung duka yang teramat dalam.

Jika tidak terlalu berlebihan, saya malah menganggap bentuk empati mereka semu belaka. Lokasi bencana seolah-olah dianggap sebagai tempat shooting foto. Boleh jadi tujuan utama mereka sebenarnya bukan dilatarbelakangi oleh rasa tepo seliro atau merasa senasib sepenanggungan, tapi lebih kepada eksistensi di media sosial. Sebab jika keadaannya dibalik, para pelaku swafoto tadi adalah korban atau keluarga korban, apa mungkin mereka akan merasa biasa-biasa saja melihat orang lain datang mengabadikan foto dengan raut wajah gembira? Tentu tidak!

Pengaruh gadget dan media sosial.

Fenomena selfie, atau wefie, mulai marak terjadi semenjak gawai dan media sosial menjadi adiksi yang begitu kuat selama beberapa tahun belakangan. Jauh sebelum tsunami Selat Sunda, kejadian serupa sudah terjadi kala pesawat Hercules C-130 milik TNI AU jatuh di jalan Jamin Ginting, Medan pada 30 Juni 2015 silam. Saat itu dua orang ibu dengan santainya bergaya sembari difoto oleh seseorang berpakaian seragam polisi di depan bangkai pesawat yang konon menewaskan 101 penumpang dan 12 kru. Ini belum termasuk pada kerusakan bangunan di sekitar tempat jatuhnya pesawat.

Harus kita akui, masyarakat kita saat ini sangat kecanduan dengan aktivitas memfoto diri sendiri dengan berbagai pose dan mimik wajah yang begitu diatur untuk tujuan upload di media sosial. Tak peduli situasi apa yang sedang terjadi, apa saja mesti didokumentasikan. Mengabadikan momen lewat foto sebenarnya adalah ranah seni. Tapi lama-kelamaan nilai seni dalam berfoto mulai mengalami kelunturan. Jika dulu dengan segala keterbatasan foto diambil sehati-hati mungkin dan perlu waktu untuk dicetak atau istilah dulu dikenal dengan cuci foto. Sekarang foto bisa diambil berulang-ulang. Jika tak puas, tinggal hapus dan difoto lagi sampai diperoleh hasil yang sempurna.

Belakangan fenomena selfie semakin kebablasan dan terkesan absurd. Misalnya, bukan cuma mengabadikan wajah, makanan juga tak luput dari kebiasaan-kebiasaan yangagak aneh ini. Alih-alih menyantap makanan sesaat setelah terhidang di atas meja, kebanyakan orang lebih suka menata posisi makanan sedemikian rupa terlebih dahulu sehingga diperoleh angle yang tepat, baru kemudian difoto. Foto lalu diunggah di media sosial dengan caption yang menarik. Ada lagi fenomena swafoto saat terbaring di rumah sakit yang menurut saya benar-benar menggelikan. Tentu aneh ketika kondisi fisik sedang tidak sehat tapi masih sempat-sempatnya ber-selfie ria namun dengan wajah yang memelas kesakitan. Saya beberapa kali menemukan foto-foto seperti ini di linimasa akun media sosial saya. Sering juga saya bertanya dalam hati, Ini orang benar-benar sakit atau hanya pura-pura?

Maka tak heran jika kata selfie ditahbiskan menjadi The word of the year pada tahun 2013 silam menurut kamus Oxford. Gelar itu didapat karena selfie sudah begitu merambah sendi-sendi kehidupan. Bahkan di planet Mars saja orang sudah melakukan selfie. Dan bisa jadi masyarakat Indonesia punya andil dan kontribusi yang besar membantu kata selfie mengalahkan kata-kata lain untuk meraih predikat itu mengingat begitu tergila-gilanya kita soal jepret-menjepret wajah tadi.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, berprofesi sebagai guru dan dosen.