Seksisme dalam berita memang bisa terjadi pada semua gender, tidak hanya pada perempuan namun juga terjadi pada laki-laki. Tapi sayangnya sering kali perempuanlah yang menjadi korban dalam pemberitaan media tentang seksisme. Bukan sekali dua kali, jurnalis Indonesia acap kali membuat ramai para netizen karena liputannya yang mengarah pada seksisme terhadap perempuan.

Sebenarnya, apa itu seksisme?

Singkatnya, seksisme merupakan suatu paham yang menganggap bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik dari pada jenis kelamin yang lainya. Secara tidak langsung, hal ini telah memberikan stereotip atau diskriminasi terhadap individu berdasarkan jenis kelamin mereka sejak lahir.

Lagi-lagi judul dalam media dan berita dibuat sangat seksis dan lebih banyak mengolaborasi fisik. Sebagaimana frasa perempuan cantik, pose seksi, wanita berparas menarik, pakaian terbuka, dll. Tentu saja ini merupakan pemberitaan yang mengandung seksisme pada perempuan, yang mana tubuh wanita digunakan sebagai objek untuk menarik perhatian demi mengundang klik pembaca.

Penulis sendiri merasa risih saat membaca. Padahal tidak harus fisik dan pakaian yang menjadi pusat perhatian. Bisa saja mengambil dari sisi lain, misalkan latar belakang, pekerja keras, prestasi, maupun bakat, yang seharusnya ditonjolkan dalam judul berita. Namun sayangnya justru sang penulis lebih memilih untuk mengambil kata cantik dan seksi untuk menarik perhatian pembaca.

Praktik seksisme dalam media seperti ini harus dihentikan. Sebab telah melanggar dan bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 "Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani."

Menurut penulis, kesalahan-kesalahan penulisan semacam itu bisa saja terjadi dan oleh media mana pun. Karena tak semua wartawan memiliki latar belakang jurnalisme yang baik, tak semua penulis pernah belajar memahami tentang Kode Etik Jurnalistik. Akan tetapi, tetap saja hal ini tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran maupun pemakluman.

Terlebih sebagai penulis berita dituntut untuk memenuhi tenggat dan kuantitas berita. Bisa saja penulis kehabisan ide bagaimana cara untuk menarik pembaca dengan berita yang ia tulis. Tetap saja, pemberitaan yang merujuk pada seksisme ini tidak bisa dijadikan alasan bagi seseorang untuk memojokkan perempuan atau laki-laki dalam sudut pandang peran gender dalam berita, yang menjadikan berita tidak berkualitas dan kurang bermutu.

Menurut penulis banyak cara untuk menghilangkan kata-kata yang mengandung unsur seksis maupun diskriminasi dalam pemberitaan media. Misalkan saja, dalam media terkait isu seputar olahraga ada berita yang diberi judul "Atlet Lompat Jauh Cantik Asal Jepang Bikin Terpesona Warganet". Sebagai pembaca mungkin saja berpikir, apakah tidak ada cara lain untuk menuliskannya atau mengganti kata cantik dengan frasa atlet wanita yang berpendidikan tinggi, perjuangan menjadi seorang atlet, kesehariannya, dan masih banyak lagi.

Di samping itu, penulis sangat mengapresiasi netizen atau pembaca yang telah berperan aktif dalam menanggapi di beberapa pemberitaan media yang tidak sesuai dengan KEJ. Tentunya tidak sedikit dari mereka yang justru mendukung untuk menghentikan praktik seksisme dan subordinasi terhadap perempuan.