Mungkin kamu tidak asing mendengar mengenai pondok pesantren di Indonesia. Salah satu yang paling terkenal ialah Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur. Namun, apakah kamu pernah mendengar mengenai Pondok Pesantren Waria Al-Fatah?

Sesuai dengan namanya, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah ini beranggotakan mereka yang merasa dirinya waria. Pondok Pesantren ini terletak di daerah Kotagede, Yogyakarta yang didirikan oleh Shinta Ratri bersama dua orang waria lainnya pada tahun 2008 di Notoyudan. Awalnya hal ini diinisiasi saat para waria mengadakan doa bersama untuk mendoakan teman sesama waria mereka yang menjadi korban gempa Yogyakarta pada tahun 2006 silam.

Berikut hal-hal yang perlu kamu tahu tentang pondok pesantren waria pertama di Indonesia ini.

1. Pemilik dan pengasuh pondok pesantren waria Kotagede, Shinta Ratri mendapat penghargaan HAM.

Shinta mendapatkan penghargaan pada tahun 2019 yang diberikan oleh Front Liner Defenders, yakni sebuah organisasi internasional untuk perlindungan HAM yang berbasis di Irlandia. Penghargaan tersebut diberikan atas jasanya selama ini memperjuangkan hak waria melalui pondok pesantren miliknya. Ia mewakili region Asia Pasifik yang setiap tahunnya pemerintah di Irlandia akan memberikan penghargaan kepada perwakilan dari lima benua di seluruh dunia.

2. Pondok Pesantren Waria Al-Fatah sempat ditutup dan mendapatkan ancaman oleh organisasi massa Islam tertentu.

Sekitar tahun 2016 silam, Shinta dan teman-teman warianya sempat mendapatkan ancaman pembubaran dan penyegelan melalui pesan berantai lewat telepon seluler oleh Ormas Islam Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. Setelahnya dilakukan pertemuan tertutup antara pihak kepolisian setempat, pihak pondok pesantren, dan perwakilan ormas. Hasil pertemuan itu adalah pondok pesantren waria tersebut kemudian akan ditutup dengan alasan tidak memiliki izin dan dianggap meresahkan warga sekitar.

3. Jumlah santri mencapai 42 orang.

Waria yang menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Fatah berasal dari berbagai kalangan profesi, seperti pengamen jalanan dan pekerja seks komersial (PSK). Selain itu para santri kebanyakan berasal dari luar provinsi Yogyakarta bahkan Pulau Jawa. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa bahwa Yogyakarta adalah salah satu tempat yang aman dan mau menerima keberadaannya sebagai waria.

4. Membebaskan para santrinya dalam berpakaian.

Pihak pondok pesantren membebaskan anggotanya dalam mengenakan pakaian. Hal tersebut dapat terlihat ketika mereka mengerjakan salat berjamaah. Beberapa dari para waria terlihat mengenakan mukena, beberapa lainnya mengenakan sarung dan kopiah.

Sama halnya dalam beraktivitas sehari-hari, gaya berpakaian mereka tidak selalu menggunakan pakaian layaknya perempuan. Banyak pula waria yang menggunakan pakaian biasa, seperti kaos dan celana panjang. Bahkan ada beberapa waria yang secara fisik terlihat seperti laki-laki tulen dengan gaya potongan rambut pendek dan plontos.

5. Satu-satunya pondok pesantren waria di Indonesia.

Selayaknya pondok pesantren pada umumnya, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah mengadakan berbagai program keagamaan. Setiap hari Minggu mereka selalu mengadakan pengajian rutin dan kelas keagamaan seperti belajar membaca Al-Quran, menghafal surat-surat pendek, belajar membaca huruf Arab, dan sebagainya. Selain itu mereka juga mengadakan kelas kesenian dan pelatihan bagi para santrinya. Karenanya, mereka mengklaim bahwa pesantren ini adalah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia.

6. Penerimaan dari masyarakat sekitar.

Walaupun sempat ditutup dan mendapatkan ancaman dari ormas Islam, nyatanya Pondok Pesantren Waria Al-Fatah masih tetap berdiri hingga saat ini. Keberadaan mereka yang awalnya tidak disambut dengan baik oleh masyarakat sekitar, kini perlahan-lahan mulai diterima selayaknya warga masyarakat pada umumnya.

Pondok Pesantren Waria Al-Fatah sering mengadakan kegiatan kemasyarakatan dengan menyelenggarakan klinik gratis dan pembagian sembako kepada masyarakat sekitar. Tidak jarang mereka juga sering mengadakan acara senam bersama. Upaya-upaya tersebut mereka lakukan agar dapat mengubah stigma dan citra dalam masyarakat yang biasanya dianggap buruk.