Walaupun data yang dirilis oleh smartinsights.com pada 8 Februari 2018 menunjukkan bahwa pengguna twitter mengalami penurunan dibandingkan Facebook, Whatsapp, Instagram, dan Youtube. Tetapi rupanya media ini menjadi salah satu wadah terbesar bagi penyebaran berita palsu. Publik Amerika Serikat tentu masih ingat rumor palsu yang tersebar melalui Reddit dan Twitter mengenai penembakan di Parkland dan pemboman di Boston pada tahun 2013.

Science Magazine dalam lamannya di sciencemag.org telah merilis sebuah studi yang memvalidasi penyebaran informasi keliru di Twitter. Studi tersebut menganalisis jutaan tweet yang dikirim antara tahun 2006 dan 2017 dan menyimpulkan bahwa kepalsuan di Twitter menyebar sangat cepat, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas daripada kebenaran di semua kategori informasi.

Soroush Vosoughi, seorang ilmuwan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang menjadi penulis utama pada studi ini mengungkapkan bahwa mereka berhasil mengumpulkan sebanyak 126.000 item berita yang telah dibagikan 4,5 juta kali kepada 3 juta orang, yang kemudian mereka gunakan untuk membandingkan penyebaran berita yang telah diverifikasi benar dengan penyebaran cerita yang dianggap salah.

Soroush Vosoughi melanjutkan bahwa awalnya mereka berpikir bahwa penyebaran berita palsu ini dilakukan oleh bot, tetapi setelah menggunakan teknologi deteksi bot yang canggih, mereka tidak menemukan bukti terhadap dugaan awal ini. Dengan kata lain, bahwa manusia bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu ini.

Hal itu membuat Vosoughi dan tim memikirkan orang-orang yang terlibat. Mereka menduga bahwa pengguna Twitter yang menyebarkan berita palsu mungkin memiliki lebih banyak pengikut. Tapi itu kembali tidak terbukti, orang-orang itu justru memiliki pengikut yang lebih sedikit.

Setelah melakukan analisis yang mendalam, mereka menemukan fakta bahwa tweet yang berisi informasi palsu biasanya berkaitan dengan informasi baru yang belum pernah dilihat pengguna Twitter-daripada yang berisi informasi sebenarnya. Hal baru dan reaksi emosional tampaknya berada di balik penyebaran berita palsu ini.

Tapi mungkin yang lebih penting adalah apa yang dikemukakan oleh studi ini menyiratkan bahwa kebijakan informasi juga harus menekankan pada intervensi perilaku, seperti pelabelan dan insentif untuk mencegah penyebaran informasi yang keliru, daripada berfokus secara eksklusif pada pembatasan massal.

Demikian pula, berita palsu tidak menyebar karena prevalensi beberapa orang yang sengaja menyesesatkan. Sebaliknya, terjadi perbedaan kecepatan dalam distribusi rumor yang benar dan yang salah, sehingga kebanyakan pengguna Twitter berada pada kondisi dilematis.