Terus meningkatnya kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia selama 2020-2021 ini mengalami peningkatan dibandingkan dua tahun terakhir. Kekerasan seksual pada anak menarik banyak perhatian dari berbagai lapisan masyarakat. Dengan adanya data dari Komite Nasional Perlindungan anak menyatakan bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan kekerasan yang paling tinggi dibandingkan kekerasan fisik dan psikologis.

Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah kasus pelecehan seksual pada siswa taman kanak-kanak Jakarta International School yang terjadi pada tahun 2014. Kasus ini mulai mencuat setelah adanya aduan dari salah satu orang tua murid dengan inisial V. Ia menyatakan putranya mendapat pelecehan seksual dari beberapa petugas kebersihan. V mendapatkan keterangan dari putranya K setelah ia mencurigai kelakuan aneh putranya. Kasus ini menyeret enam orang tersangka dan menyebabkan image sekolah tersebut menurun. Namun, akhir dari kasus Pengadilan Negeri menyatakan seluruh tersangka tidak bersalah.

Melihat kasus yang bergulir mulai dari 2014 hingga 2019, karena adanya pernyataan salah satu korban atas terjadinya pelecehan seksual dan sodomi yang terjadi namun tidak terbukti secara medis, membuat kita untuk terus memahami dan mengawal jalannya proses hukum yang melibatkan saksi ataupun anak sebagai korban. Karena, menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, anak-anak dinilai lebih rentan daripada orang dewasa pada beberapa keadaan. Selain itu pada beberapa keadaan yang dilakukan selama proses peradilan mungkin saja menyebabkan sugestibilitas pada pernyataan anak. Maka dari itu, dalam proses peradilan psikolog dapat saja dihadirkan. Untuk apa? Apa tugasnya dan apa peran yang dapat dilakukan psikolog dalam proses peradilan yang melibatkan korban atau saksi anak?

Pada studi yang dilakukan oleh Fulero & Wrightsman (2009) mengungkapkan beberapa peran psikolog dalam sebuah peradilan yang melibatkan anak sebagai saksi di sebuah persidangan.

1. Mengevaluasi anak.

Psikolog mengevaluasi anak dalam proses peradilan jika dibutuhkan dengan menggunakan prosedur atau pendekatan dengan anak. Karena tidak jarang anak-anak terbatas dalam kemampuan untuk mengungkapkan apa yang terjadi atau bahkan untuk membedakan antara kebenaran dan fantasi.

2. Menilai kompetensi anak untuk bersaksi.

Jika pihak yang berwenang menyatakan terjadinya pelecehan seksual, meskipun pengadilan memiliki metode dalam menentukan kompetensi anak dalam bersaksi, hakim dapat berkonsultasi dengan psikolog.

3. Bersaksi sebagai saksi ahli.

Masing-masing pihak pada sebuah persidangan dapat menggunakan psikolog sebagai saksi ahli dalam menangani kasus pelecehan seksual pada anak sesuai dengan kewenangan, ilmu, serta prosedur yang berlaku dan menaati kode etik psikologi yang terkait.

4. Menilai dugaan anak.

Saat orang tua melaporkan dugaan terjadinya pelecehan seksual terhadap anaknya. Sebagai bagian dari penyelidikan, psikolog dapat melakukan wawancara untuk menilai dugaan anak dan orang tua atas peristiwa yang terjadi.

Dengan adanya kehadiran psikolog dalam proses peradilan dapat menambah subyektivitas kesaksian anak dalam persidangan. Dan sebagai warga negara yang baik, mari bersama-sama menaati serta mengawal proses hukum dengan terus mengedukasi diri dan melihat secara objektif kasus yang terjadi.