Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Pemerintah telah mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 dengan mengucurkan anggaran sebesar Rp 450,1 triliun yang selanjutnya akan diperuntukkan kepada sejumlah bidang penanganan, mulai dari sisi kesehatan hingga dampak ekonomi yang ditimbulkannya.

Namun setelah membaca Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Virus Corona, saya selaku auditor dan pemerhati ekonomi dan sosial di Batam Kepulauan Riau merasa miris. Karena berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut seolah-olah justru sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana.

Pasal 26 (Ketentuan dan Sanksi):

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).

(2) Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

Pasal 27 (Ketentuan Penutup):

(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Ketentuan Pasal 27 tersebut jelas menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan urgensinya, karena Pasal ini jelas membuka peluang dan berpotensi adanya Fraud Risk untuk pejabat negara melakukan korupsi keuangan negara. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut.

Menurut saya, Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebaiknya dieliminasi saja. Pasal 27 ini juga bertentangan denga Pasal 26 yang memberikan ancaman hukuman yang amat berat bagi siapa saja yang menghalangi pelaksanaan Perppu ini. Jadi amat tidak setara. Seharusnya esensi dan substansi mendasar yang harus dibawa dalam amanah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini adalah pentingnya untuk menegaskan bahwa semua aparat negara yang korupsi atau menyalahgunakan pelaksanaan Perpu ini akan dihukum dengan ancaman seberat-beratnya, apalagi dalam kondisi bencana darurat nasional seperti adanya wabah COVID-19 sekarang ini.

Bagaimanapun ketentuan Pasal 27 yang menyebutkan anggota KSSK tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana bila melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik dan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tidak tepat untuk dicantumkan sebagai sebuah ketentuan. Apalagi dinyatakan pula bahwa segala tindakan Komite Stabilitas bukan merupakan obyek gugatan di peradilan tata usaha negara.

Perlu diketahui bahwa di dalam KSSK merupakan orang pilihan dan memiliki kemampuan mumpuni dalam hal pengelolaan keuangan dan perekonomian negara yakni Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lain lembaga-lembaga itu. Namun siapa yang dapat menjamin bahwa apa saja yang dilakukan oleh Komite selalu merupakan kebenaran dan berangkat dari itikad baik alias tidak punya cela?

Pemerintah perlu mengkaji lagi dengan matang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 karena:

1. Perppu tersebut berpotensi memberi kebal hukum kepada pejabat dan pada perumus kebijakan serta pelaksanaanya, karena di depan hukum semua orang berkedudukan sama seperti amanah UUD 1945;

2. Menjadikan peluang potensi adanya moral hazard's; dan

3. Menjadikan preseden buruk dalam upaya penegakan hukum.

Pemberian imunitas kepada pejabat KSSK bertentangan dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi., Pasal 2 yang menyebutkan siapa pun yang memperkaya diri atau orang lain dengan cara merugikan negara bisa dijerat pidana. Pelaku korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya atau bencana seharusnya dihukum lebih berat bukannya malah diberikan peluang untuk bebas dari jerat hukum atas apa yang dilakukannya dengan melegalkan secara formal dalam Pasal 27 tersebut.

Pasal 27 Ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020, perlu dipahami juga bahwa penegasan yang menyatakan segala biaya yang dikeluarkan pemerintah dan KSSK untuk memulihkan perekonomian karena wabah corona merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Menurut saya redaksi Pasal 27 Ayat (1) tersebut kurang tepat, karena ada atau tidaknya kerugian negara baru dapat diketahui setelah adanya audit investigatif atau audit penghitungan kerugian keuagan negara oleh lembaga/instansi yang berwenang, sehingga tidak bisa serta merta seluruh biaya untuk memulihkan perekonomian karena wabah corona tersebut dianggap bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Pemerintah dan Komite Stabilitas akan mengelola dana sebesar Rp 405,1 triliun dari anggaran negara. Pasal 27 tersebut sangatlah rawan dengan moral hazard, karena bisa menjadi potensi fraud bagi oknum untuk berbuat curang karena merasa terlindungi oleh situasi krisis seperti saat ini, karena setiap sen dana negara harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Beberapa saran dan masukan saya atas permasalahan tersebut antara lain:

1. Sebaiknya walaupun Pemerintah saat ini menyiapkan mitigasi untuk menyelamatkan stabilitas ekonomi makro maupun mikro, namun sebaiknya diiringi dengan antisipasi pencegahan dini atas risiko penyelewengannya dengan cara antara lain secara simultan memperkuat fungsi dan peranan aparat pengawasan intern melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) di daerah yakni Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain itu juga harus bersinergi juga dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam mengawal proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pertanggungjawaban pengadaan barang dalam rangka penanganan bencana Covid-19 ini, yakni perlu diciptakan suatu sistem informasi pengendalian intern yang smart dan efektif sebagai alat pendeteksi dini atas pencegahan risiko fraud dalam masa wabah darurat covid sekarang ini dengan memanfaatkan teknologi informasi yang memadai.

2. Senantiasa bersinergi dengan auditor eksternal BPK maupun aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian terkait dengan permasalah hukum yang terjadi jika ditemukan ada indikasi dugaan tindakan pidana korupsinya.

Oleh: Kencana Bayuaji, SE, CH, C.Ht, C.Mh (Auditor Pemerintah di Perwakilan BPKP Provinsi Kepulauan Riau serta Pemerhati Ekonomi di Batam Kepri)