Dilansir dari Tagar News, Senin, (25/03), nama Silvia Halim mencuat ke hadapan publik setelah peresmian moda transportasi teranyar di Jakarta, yakni Moda Raya Terpadu (MRT) pada Minggu (24/3).Ia disebut-sebut sebagai Kartini baru di era modern. Silvia Halim adalah Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta sekaligus perempuan satu-satunya dalam jajaran profil direksi perusahaan yang bertanggung jawab penuh dalam pembangunan proyek transportasi massal tersebut. Perempuan yang lahir di Jakarta pada 18 Juni 1982 itu merupakan tamatan Fakultas Teknik Sipil di Nanyang Technologycal University, Singapura. Sebuah jurusan akademis yang biasanya didominasi oleh kaum pria.Sebelum dipercaya menjabat sebagai Direktur Konstruksi di PT. MRT Jakarta pada 31 Agustus 2016 lalu, dirinya telah terlebih dulu berkarier selama 12 tahun di Land Transport Authority (LTA) Singapura. Di sana ia dipercaya menjadi Project Manager dan menangani beberapa proyek infrastruktur di negeri Singa, terutama pada sistem transportasi darat yang berfokus pada road tunnel. Silvia Halim awalnyasangat anti kembali ke Jakarta karena kemacetannya, tetapi berkat Gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau BTP ia mau bekerja dankembali ke Jakarta. Saat bekerja di Singapura, ia ingin sekalikembali ke Indonesia dan membangun Indonesia yang mandiri tanpa bergantung dengan negara lain karena ia mempunyai semangat untuk membangun bangsa. Sebagai Direktur Konstruksi proyek MRT, Silvia Halim bertanggung jawab dalam menjaga dan mengawal pekerjaan dari segi progres, kualitas, keselamatan dan keamanan proses pembangunan.

Persoalan mengenai kesenjangan gender menjadi isu yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan di setiap tahunnya. Persoalan kesenjangan gender berawal dari persepsi masyarakat terhadap peran gender yang bias karena hal tersebut dibentuk secara turun-temurun oleh budaya. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang mengartikan gender sebagai perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, padahal gender itu sendiri merupakan suatu pembedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi masyarakat yang belum sadar mengenai gender ini dapat berdampak pada kesenjangan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dapat terjadinya stereotip, bahkan diskriminasi terhadap laki-laki maupun perempuan.

Perempuan dipandang sebagai sosok yang emosional, labil, dan mood yang mudah berubah. Hal tersebut biasanya disebabkan oleh siklus hormonal perempuan. Ketidakstabilan hormonal yang memengaruhi mood dan emosional perempuan menjadi sebuah stereotip negatif yang berkembang di masyarakat hingga saat ini sehingga membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat di dalam berbagai bidang, seperti politik, teknik, kemiliteran, dan lain sebagainya.

Istilah stereotip (stereotype) adalah bagian dari konsep persepsi dalam studi perilaku organisasi. Greenberg dan Baron (dalam Ruky, 2017) lebih jauh menambahkan bahwa ada dua variabel penting yang memengaruhi persepsi seseorang mengenai orang lain, yaitu bias persepsi, atau tipe kesalahan penilaian yang sering dibuat orang, dan stereotip (stereotype), atau kecenderungan orang untuk mengategorikan orang lain berdasarkan kelompok-kelompok dari mana orang lain itu berasal. Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari anggota kelompok tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut (Sarwono & Meinarno, 2014).

Definisi persepsi yang paling populer dikenalkan oleh seorang pakar bernama Shiffman. Shiffman (dalam Ruky, 2017) menjabarkan persepsi sebagai suatu proses di mana orang memilih, mengorganisir, dan mengartikan informasi yang datang (diterimanya) dengan menggunakan indera yang bertujuan untuk memahami dunia di sekitarnya. Dalam konteks studi perilaku manusia, istilah yang digunakan adalah persepsi sosial yang artinya upaya menggabungkan, mengintegrasikan, dan mengartikan informasi mengenai orang lain agar seseorang bisa mendapatkan kesan yang akurat mengenai orang lain tersebut. Goldstein (2011) menjelaskan bahwa persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan dari stimulus indera.

Data UNESCO yang dilansir dalam Kata Data (2018/08/06) menggambarkan partisipasi perempuan Indonesia pada pendidikan tinggi di bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM) tergolong tinggi. Bahkan pada beberapa bidang, perempuan mendominasi hingga lebih dari 80 persen untuk jurusan Biologi dan Farmasi. Sayangnya, jumlah partisipasi perempuan tersebut merosot saat masuk ke dunia kerja. Di industri STEM hanya dua dari 10 perempuan memilih berkarier secara profesional dan hanya tiga dari 10 perempuan yang menjadi peneliti di bidang STEM. Alasannya, banyak perempuan yang kurang tertarik bergerak di bidang STEM karena kuatnya sentimen dominasi laki-laki, serta adanya stereotip gender saat mencari kerja.

Dilansir dari Tribun News, Selasa (26/03), Silvia Halim mampu membuka mata masyarakat bahwa perempuan mampu bekerja dan berkembang di industri teknik yang selama ini kerap dianggap sebagai pekerjaan macho alias cowok banget. Dilansir Jakarta Post dalam wawancaranya dengan Silvia Halim, perempuan kelahiran Jakarta itu memberikan semangat kepada perempuan-perempuan lain bahwa gender bukanlah pembatas karier. Ia menyakini sebenarnya tidak ada asosiasi jenis pekerjaan dengan gender. Hanya saja, laki-laki lah yang memulainya lebih dulu. Berkecimpung di sebuah bidang yang 'dikuasai' kaum pria, Silvia Halim pun kerap dipandang sebelah mata. Namun, ia berhasil menampiknya dengan dedikasi dan kerja keras (Ngantung, 2019).

Walaupun ia mempunyai peran penting dalam membangun MRT Jakarta, Silvia mengaku pernah mengalami diskriminasi sebagai perempuan karena sistem penilaian kerja yang berlaku di Singapura. Seperti yang dilansir dari RIM, Jumat (17/08/2018), suatu kali perusahaan menyatakan akan ada tawaran promosi pekerjaan pada Silvia dan satu rekan kerja laki-laki yang sama-sama memulai waktu bekerja dan bobot prestasi kerja. Penilaian akhir memutuskan yang memperolehnya adalah rekan kerja pria Silvia. Perimbangan utama keterpilihan membuat Silvia kecewa, Dia sudah ikut wajib militer. Kalau sudah ikut wajib militer, dihitung sudah punya (tambahan) masa kerja dua tahun. Jadi dia dianggap lebih senior dari saya.

Helmholtz (dalam Goldstein, 2011) menyatakan bahwa persepsi adalah hasil dari asumsi alam bawah sadar yang kita buat. Persepsi yang didapat sebagai seorang perempuan bukanlah menjadi suatu penghalang untuk sukses dalam karier apalagi pada bidang yang mayoritas adalah seorang laki-laki. Persepsi tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dipatahkan oleh para perempuan agar nantinya masyarakat Indonesia lebih menyadari pentingnya menyetarakan gender perempuan terhadap laki-laki.