Memiliki anak merupakan dambaan semua orang tua. Kehadiran anak menjadi pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga. Tapi tak jarang pula kesalahan mengasuh berefek pada anak-anak menjadi susah diatur, suka melawan, dan tidak lagi dekat dengan orang tua. Tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh cara orang tua dalam menerapkan pola asuh yang tepat. Anak-anak pada awal-awal kehidupannya ibarat kertas putih yang polos. Orang tua adalah pihak pertama yang menjadi penentu apakah hendak menggoreskan dengan tinta yang baik atau buruk.

Semua orang tua sudah pasti berharap memberikan didikan dan wejangan yang tepat. Tidak satu pun orang tua yang berpikiran waras menginginkan anak-anaknya terjerumus dalam pola didik yang salah. Namun mengasuh anak agar memiliki kepribadian yang baik dan menjadi dambaan keluarga tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi di zaman sekarang dengan kecanggihan teknologi yang begitu merongrong tiap sendi-sendi kehidupan.

Kita bisa saksikan bagaimana perubahan besar terjadi dalam dunia anak. Kenakalan remaja dan perilaku menyimpang begitu masif terjadi. Tawuran, seks pra-nikah, perundungan, penggunaan narkoba, hingga kejahatan akibat pengaruh buruk media sosial malang melintang menghiasi pemberitaan di banyak media. Tak jarang pula perilaku-perilaku negatif ini melibatkan anak-anak usia belia. Menyikapi fenomena ini tentu kita patut bertanya, ada apa dengan pola asuh orang tua sekarang?

Menumbuhkan tanggung jawab.

Dalam salah satu sekuel film Spiderman, Uncle Ben berkata pada Peter Parker, With great power comes great responsibility (Kekuatan yang besar mendatangkan tanggung jawab yang besar). Ungkapan ini sesungguhnya bukan cuma ditujukan pada Peter Parker yang menjadi luar biasa kuat semenjak meyandang predikat sang manusia laba-laba. Pesan bermakna dalam itu berlaku bagi siapa saja. Sebab tanggung jawab sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri setiap individu. Dalam mengasuh anak, membiasakan perilaku bertanggung jawab sangat krusial dan fundamental untuk membentuk karakter-karakter anak yang positif.

Sayangnya kita sebagai orang tua suka menyabotase kesempatan anak-anak untuk belajar memikul tanggung jawab sejak usia dini. Sebagai contoh, ketika anak baru mulai belajar berjalan, dia akan begitu aktif mencoba berdiri dan melangkahkan kakinya. Namanya juga baru belajar sudah pasti rentan untuk jatuh. Ketika si anak jatuh dan menangis, kebanyakan orang tua, agar anaknya berhenti menangis secara spontan memukul-mukul objek-objek di sekitar seperti meja atau kursi sambil berkata, Ini mejanya (atau kursinya) memang jahat ya nak, buat kamu jatuh, udah mama/papa pukul ya, diam ya nak ya jangan nangis lagi ya. Ajaibnya sang anak akan terdiam dan berhenti menangis. Sadar atau tidak sadar, kita menjauhkan mereka dari perilaku bertanggung jawab. Kita menjadikan mereka pribadi blamer yang cenderung membenarkan diri sendiri dan selalu menyalahkan orang lain saat dirundung permasalahan. Sifat ini akan terbawa-bawa saat anak tumbuh dan beranjak dewasa sehingga sulit diubah.

Mungkin argumentasi ini subjektif dan boleh saja diperdebatkan. Tapi cobalah tengok perilaku para pejabat atau anggota legislatif negeri ini kala tersandung masalah korupsi. Walaupun sudah mengenakan rompi oranye KPK, mereka masih suka berdalih, Saya dizolimi, Saya tidak bersalah, Saya dijebak, dan sebagainya. Mereka bahkan tak sungkan mengumbar senyum dan, seperti tanpa merasa melakukan kesalahan, mereka juga sanggup melambaikana tangan ke kamera saat diliput para awak media. Bisa jadi mereka adalah orang-orang yang pada masa kanak-kanaknya mendapatkan pola asuh yang salah.

Dalam konteks anak belajar jalan tadi, seharusnya jika si anak jatuh, alih-alih mengkambing hitamkan meja, kursi atau lantai, kita bisa bilang, Enggak apa-apa nak, belajar jalan pasti gampang jatuh, itu tandanya kamu mulai berkembang, lain kali lebih hati-hati ya. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa untuk melakukan introspeksi diri setiap kali masalah datang. Mereka akan terlatih untuk menjadi problem-solver ketimbang mencari-cari kesalahan pihak lain.

Belajar dari Jepang.

Mungkin kita bisa mencontek cara-cara mengasuh anak dari Negara Sakura, Jepang. Di Jepang, anak-anak kecil diajarkan manner dan sikap mandiri. Mereka dibiasakan mengemban tanggung jawab mengurusi keperluan sendiri. Kita ambil contoh selama di sekolah. Anak-anak di Jepang dibiasakan untuk mampu memakai sepatu sendiri, mencuci piring sendiri, bersih-bersih sehabis makan, membudayakan antre dan lain-lain. Bagi mereka penanaman karakter yang kuat sejak usia dini akan lebih memberikan perbedaan besar ketimbang terlalu cepat mecekoki anak-anak mereka dengan pelajaran-pelajaran akademis. Hasilnya? Lihat saja perhelatan Piala Dunia 2018 lalu. Pendukung Jepang menuai pujian dari banyak negara lantaran aksi membersihkan sampah di stadion usai laga timnas mereka. Lagipula orang-orang Jepang selama ini sudah dikenal dengan watak kerja keras dan empati tinggi terhadap sesama.

Ini yang sangat berbeda dengan kita. Di banyak sekolah-sekolah top di Indonesia, urusan bersih-bersih kelas, toilet dan koridor sudah menjadi rutinitas cleaning service. Jadi jangan heran bila anak-anak sekarang banyak yang bertingkah seperti bos. Mereka risih dengan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya menempa disiplin dan menanamkan rasa cinta pada tempat belajar. Sekolah sering dijadikan sebagai kalkulasi antara uang mahal yang dibayarkan dengan kenyamanan yang wajib didapatkan. Coba saja suruh anak-anak itu membersihkan genangan air yang tumpah karena botol minum mereka yang jatuh akibat ulah sendiri. Bisa-bisa keesokan harinya sudah ada orang tua yang komplain dan berkata, anak saya di sini bayar mahal-mahal untuk dididik, bukan dijadikan pembantu!

Bangsa Jepang juga sangat mengutamakan peran ibu dalam mengasuh anak. Metode ini dikenal dengan istilah proksimal, yakni kontak tubuh yang berkepanjangan dan konsisten antara ibu dan anak. Bagi mereka kedekatan anak dengan ibu akan berdampak signifikan bagi kedisiplinan anak. Itulah sebabnya orang-orang Jepang jarang menggunakan jasa baby sitter. Bagaimana dengan kita? Kita lagi-lagi malah bertolak belakang. Di rumah, khususnya pada keluarga yang perekonomiannya baik, segala macam keperluan rumah tangga termasuk mengurus anak sering diserahkan kepada asisten rumah tangga. Ayah dan ibu yang sama-sama bekerja pada akhirnya menyisakan waktu yang begitu sedikit untuk anak-anak. Alhasil peran memonitor tumbuh kembang anak lebih banyak diambil alih oleh para asisten rumah tangga. Maka ketika anak-anak mulai besar, mereka juga terbiasa mengandalkan para pembantu dan tak jarang pula anak-anak lebih dekat dengan pembantu rumah tangga ketimbang orang tua mereka sendiri.

Bagi orang tua yang tidak mempekerjakan asisten rumah tangga, perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak juga kerap kali kebablasan. Kita suka mengambil alih semua peran seperti menyuapi makan, memandikan atau memakaikan sepatu, dan seragam sekolah. Kita suka cara-cara praktis ini karena alasan sepele, takut anak-anak menjadi kotor dan semrawut. Padahal jika mau, anak-anak kita bisa melakukan itu semua. Awalnya memang pasti akan menyita waktu dan kesabaran karena rutinitas-rutinitas seperti itu harus diajarkan dengan disiplin tinggi dan konsistensi. Tapi, lama-kelamaan mereka akan terbiasa dan dalam jangka panjang akan menjadikan mereka manusia-manusia yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.

Penulis adalah Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan, Dosen PTS dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.