Brilio.net -Satu dekade lalu sebuah makalah revolusioner menunjukkan bahwa hormon oksitosin benar-benar membuat kita percaya pada orang lain. Selain itu juga bisa meningkatkan interaksi sosial.

Dikutip brilio.net dari laman Deccan Chronicle, Jumat (29/5), dalam studi pertama pada tahun 2005, para relawan diminta menginvestasikan uang kepada sejumlah orang terpercaya namun anonim dan kejujurannya tidak sepenuhnya bisa dijamin. Nah, orang-orang yang menerima dosis oksitosin memilih untuk berinvestasi lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang mendapat plasebo. Percobaan ini telah menunjukkan bahwa oksitosin menyebabkan orang menjadi lebih berempati, murah hati, kooperatif, dan kecemasan dalam situasi sosial yang rendah.

Oksitosin, yang konon disebut sebagai hormon cinta, pada manusia bisa ditunjukkan dengan perilaku seorang lelaki yang sudah memiliki pasangan, dia akan "terhalangi" untuk mendekati wanita lain. Jadi, hormon ini membuat pria "terikat" dengan pasangannya walaupun melihat wanita lain secantik apa pun itu.

Selain itu, hormon yang pada dasarnya merupakan neurotransmitter di otak, ini bisa membuat pasangan lebih bisa mengatasi konflik secara positif.

Contoh lain bekerjanya hormon cinta adalah antara ibu dan bayi. Hubungan ibu dan anak semakin erat akibat hormon oksitosin ini, yaitu melalui proses kelahiran dan menyusui. Dampak positif lainnya dari hormon ini adalah ternyata bisa memfasilitasi interaksi sosial dan komunikasi yang menjadi permasalahan tersendiri bagi mereka yang menderita autisme, skizofrenia, dan gangguan kecemasan.

Namun begitu, ternyata ada dampak buruk dari oksitosin, lho.

Penelitian terbaru menunjukkan efek positif hormon ini bisa melemahkan bahkan merugikan pada mereka yang paling membutuhkan hormon ini. Bahkan bisa juga meningkatkan kecenderungan terjadinya kekerasan dalam hubungan dengan pasangan. Dalam artian sederhana, semakin orang memiliki banyak hormon oksitosin, itu artinya semakin berwelas asihlah dia, dan semakin "lemah" dia terhadap pasangan, yang mungkin memiliki kecenderungan tindak kekerasan dalam berelasi.

Belum lagi ada pernyataan bahwa hormon oksitosin ini memiliki sifat seperti alkohol. Inilah yang membuat tim dari University of Birmingham melakukan penelitian dengan membandingkan efek oksitosin dengan efek alkohol.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan kemiripan mencolok antara oksitosin dan alkohol dalam membentuk mekanisme biologis, yang terwujud dalam perilaku. Walaupun reseptor di otak antara oksitosin dan alkohol berbeda, namun hasil aktivasi reseptor tersebut menghasilkan efek fisiologis serupa.

Namun begitu, selain efeknya mirip dengan alkohol, oksitosin juga memiliki efek yang hampir sama dengan benzodiazepin, yang biasanya digunakan untuk mengobati kecemasan.

Nah, perlu adanya pemahaman lebih dari setiap orang untuk memahami betul efek detail masing-masing bahan kimia yang murni ada dalam saraf pusat (otak) kita dan yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh kita.