Brilio.net - Hari ini ibu berencana pergi ke rumah kakakku di Depok untuk menengok cucunya. Ibu kangen sama cucu katanya. Ya, begitulah ibu, kalau dia sudah kangen sama cucunya, dia tak akan mau menunggu. Aku sudah menawarkannya untuk pergi pada hari Sabtu atau Minggu saja, sehingga aku atau ayah bisa menemaninya. Namun lagi-lagi ibu menolak, dia tetap saja ingin menemui cucunya hari ini juga.

"Ibu hati-hati ya. Jangan lupa nanti turun di Stasiun Manggarai, kemudian naik lagi KRL jurusan Bogor atau Depok di jalur enam," pesanku pada ibu melalui pesan singkat. Ibu memang sudah menghubungiku, memberitahu keberangkatannya ketika aku sudah berada di dalam Commuterline.

Namun sudah seperempat jam perjalanan, tapi ibu memberitahuku belum mendapatkan tempat duduk. Sejak ibu naik Commuterline dari Stasiun Bekasi, aku memang selalu memantau keadaannya.

Mengapa tak ada satupun penumpang yang terketuk hatinya? Memang, ibu belum terlihat seperti seorang nenek-nenek renta. Mungkin itu juga yang menyebabkan tak ada seorang pun yang memberinya tempat duduk. Tapi apa tak ada seorang pun yang iba membiarkan seorang ibu harus berdiri lama-lama di di dalam kereta? Kalau saja aku menemaninya, pasti ibu sudah duduk manis.

Ketika Commuterline yang membawa ibu sudah sampai di Stasiun Jatinegara, ibu masih tetap saja berdiri. Belum ada satu pun penumpang lain yang tergerak hati untuk memberinya tempat duduk. Apakah kepedulian sudah menjadi barang langka di ibu kota? Apa kepedulian cuma hanya ada di buku-buku pelajaran Pancasila ketika zaman SD dulu?

Kebetulan, hari itu aku juga akan pergi menggunakan Commuterline mengunjungi rumah temanku. Commuterline sudah membawaku hampir sampai di Stasiun Pasar Minggu, sehingga lajunya bergerak melambat. Ketika aku ingin menengok keluar, mataku beradu pandang dengan seorang penumpang lain di dalam kereta itu. Sesosok perempuan yang seusia dengan ibuku tersenyum padaku. Entahlah, aku tak tahu sudah berapa lama ibu ini berdiri di depanku.

Aku tersenyum getir, membayangkan di saat aku berharap ada penumpang yang peduli pada ibu, ternyata aku sendiri juga mengabaikan seorang ibu. Dengan segera aku pun melepas earphone dari kupingku, lalu berdiri dan memberikan tempat dudukku untuknya.

"Wah, terima kasih ya nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu," kata ibu itu dengan tersenyum. Aku pun membalasnya dengan anggukan disertai dengan senyuman juga.

Saat aku menganggukkan kepala, telepon genggamku berdering dari balik saku kemejaku, Aku mengangkatnya, lalu terdenger suara lembut ibu di sela-sela derak kereta yang melaju kencang.

"Sekarang ibu sudah naik KRL tujuan Bogor. Alhamdulilah, ini tadi ada yang memberi ibu tempat duduk, seorang laki-laki seumuran kamu."

Ibu yang duduk di hadapanku kembali tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba mataku terasa basah.

Dari cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan, terkadang kita merutuki orang lain karena tak memberikan kebaikan kepada kita. Tapi kadang kita lupa, kita pun dituntut untuk melakukan hal yang sama pula pada orang lain. Dampak dari perbuatan baik kita tak melulu berbalik pada diri kita sendiri, bahkan orang lain pun bisa merasakan berkat akibat perbuatan baikmu.

Mari selalu berbagi kebaikan dengan sesama!