Brilio.net - Suparmaji menjabat sebagai Ketua di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di Desa Senden. Di usianya yang menginjak 57 tahun, Suparmaji memiliki semangat tinggi untuk menjaga kebersihan lingkungan. 

Setiap Senin dan Kamis ia mengelilingi Desa Senden untuk mengumpulkan sampah warga. Suparmaji berkeliling desa dengan menggunakan mobil pick up milik TPS.

Suparmaji tinggal di Desa Senden, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meski tidak mendapat upah, Suparmaji rela mengurus TPS dan mengumpulkan sampah demi menjaga kebersihan desa. 

Walaupun menjabat sebagai Ketua, namun Suparmaji terjun langsung sebagai sopir mobil pengangkut sampah. Bahkan, terkadang Suparmaji juga ikut dalam memilah dan mengolah sampah di TPS. Hal ini dikarenakan TPS Desa Senden hanya memiliki 6 pekerja tetap. Para pekerja tetap ini yang nantinya akan memilah sampah organik dan anorganik di TPS dari hari Senin sampai Sabtu. 

"Jadi walaupun kita hanya mengambil sampah seminggu 2 kali. Namun, pemilahan sampah itu membutuhkan waktu yang agak lama. Jadi kalau kita ambil sampah di hari Senin, pemilahan dan pengolahannya bisa sampai hari Rabu. Terus di hari Kamis kita akan keliling lagi mengambil sampah. Dan pengolahannya akan membutuhkan waktu sampai hari Sabtu,” ungkap Suparmaji.

TPS Desa Senden ini sudah memiliki total 300 pelanggan. Pelanggan ini merupakan warga yang setiap hari Senin dan Kamis rutin diambil sampahnya. Jumlah sampah yang diambil per harinya bisa mencapai 1 ton. Ini merupakan angka yang fantastis untuk kelas sampah rumah tangga. 

Sampah organik ini nantinya akan diolah menjadi pupuk kompos atau pakan magot. 

Sedangkan, sampah anorganik seperti botol dan plastik akan dijual kembali ke tukang rongsok. "TPS ini sudah berdiri sejak tahun 2021 hingga saat ini" ujar Suparmaji saat ditemui brilio.net, Kamis (22/3)

Suparmaji mengungkapkan, visi dan misi sebagai seorang relawan adalah ingin menjaga kebersihan Desa Senden. Sehingga, diharapkan warga dapat hidup dengan lebih sehat karena lingkungan yang bersih. 

"Sumber dana TPS ini asalnya dari iuran para pelanggan. Jadi pelanggan dikenakan biaya Rp 10 ribu perbulannya" ungkap Suparmaji.

Namun, kata Suparmaji, dana iuran dari para pelanggan tidak bisa memenuhi kebutuhan operasional TPS. "Setiap tahun itu TPS mendapat anggaran dari desa untuk mengelola TPS. Tapi, anggaran itu juga belum bisa memenuhi kebutuhan TPS. Tapi yang penting kita bisa memberi upah kepada para pekerja" jelas Suparmaji.

Dana iuran dan anggaran desa tersebut hanya cukup untuk menggaji 6 orang pekerja pemilah sampah dan membeli bensin untuk mobil pengangkut sampah. Sehingga, Suparmaji rela tidak mendapatkan upah sepeserpun untuk kontribusinya dalam menggerakkan TPS desa.

Suparmaji juga mengungkapkan bahwa TPS memiliki target untuk meningkatkan jumlah pelanggan tiap tahunnya. Namun, kenyataannya sejak berdirinya TPS Desa Senden jumlah pelanggan hanya naik 50 orang saja pertahun, padahal target yang harus dicapai adalah 100 pelanggan tiap tahun. 

Seharusnya TPS mengadakan sosialisasi terkait pembuangan sampah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, sosialisasi ini belum bisa terlaksana karena minimnya dana di TPS. Sehingga, pengetahuan warga desa terkait pentingnya pembuangan dan pengolahan sampah masih minim. 

"Yang penting kita bisa menjalankan program pemerintah untuk menjaga kebersihan melalui pengelolaan TPS" ujar Suparmaji.

Hingga saat ini TPS masih terus berjalan walaupun dengan dana yang minim. Namun, Suparmaji tetap mendedikasikan dirinya untuk menjaga kebersihan lingkungan melalui TPS Desa Senden walaupun tidak mendapatkan upah sepeserpun.

 

Reporter: mg/Azahra Amalia Sugiyarto