Brilio.net - Ketua Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, didakwa melakukan pungutan liar (pungli) terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) selama periode 2018 hingga 2023. Dugaan pungli ini menyeret pula seorang staf administrasi program studi bernama Sri Maryani yang kini ikut diadili dalam kasus yang sama.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Semarang, Shandy Handika, mengungkapkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada Senin bahwa total pungutan mencapai angka Rp2,4 miliar. Dana tersebut disebut sebagai “biaya operasional pendidikan” yang dibebankan kepada mahasiswa PPDS tanpa dasar hukum yang jelas.

"Tiap mahasiswa program PPDS diwajibkan membayar Rp80 juta yang diperuntukkan bagi ujian serta persiapan akademik," ungkap Jaksa Shandy dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin.

Jaksa menjelaskan, pungutan liar ini dilakukan sejak Taufik menjabat sebagai Kaprodi pada tahun 2018. Dana tersebut dihimpun dari para mahasiswa melalui bendahara angkatan, kemudian diserahkan kepada staf administrasi Sri Maryani yang bertugas mengelola penerimaan tersebut.

Seluruh transaksi keuangan terkait pungutan biaya operasional pendidikan tersebut dicatat secara manual dalam buku bersampul batik kuning milik Sri Maryani. Catatan tersebut digunakan sebagai dokumentasi informal tanpa pengawasan institusional dari pihak universitas.

Dari dana yang terkumpul, Taufik Eko Nugroho disebut menerima dana untuk keperluan pribadi senilai Rp177 juta. Dana itu diperoleh dari sebagian uang yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan akademik mahasiswa PPDS.

"Para mahasiswa tidak mengetahui peruntukan alokasi dana yang diserahkan. Mahasiswa tidak berani bertanya ataupun menolak," ujar jaksa Shandy. Ia menambahkan bahwa terdakwa tidak memberikan transparansi maupun penjelasan rinci mengenai penggunaan dana yang dimaksud.

Atas dugaan pungli tersebut, Taufik dan Sri Maryani didakwa melanggar Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan, atau Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan. Dalam persidangan, kedua terdakwa tidak mengajukan eksepsi dan memilih untuk langsung melanjutkan proses pemeriksaan perkara.