Setiap manusia pasti memiliki standar atau tujuan personal. Tetapi apa yang akan terjadi ketika standar tersebut tidak realistis atau terlalu tinggi? Hal tersebut berhubungan dengan perfeksionisme.

Perfeksionisme terkait dengan berbagai gejala psikologis negatif. Perfeksionisme merupakan hasrat untuk menetapkan dan mencapai standar-standar diri dan keberhasilan yang amat tinggi. Perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Tetapi perfeksionisme juga dapat menjadi maladaptif, jika standar-standar ini begitu tinggi sehingga individu hampir selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu. Adler (dalam Aditomo & Retnowati, 2014) mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai goals dan hal tersebut bisa menyebabkan depresi.

Adler & Hamachek (dalam Aditomo & Retnowati, 2014) membagi perfeksionisme menjadi dua macam, yaitu yang normal dan yang neurotik.

1. Perfeksionisme normal.

Perfeksionisme yang normal dapat menetapkan standar pencapaian mereka dalam batas-batas keterbatasan dan kekuatan mereka. Dengan demikian, kesuksesan lebih mungkin dicapai. Perfeksionis normal mendapatkan kepuasan dan kenikmatan mendalam dari upaya keras dalam melakukan sesuatu.

2. Perfeksionis neurotik.

Perfeksionisme yang neurotik menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi daripada yang biasanya dapat dicapai. Mereka sulit merasa puasdan jarang berhasil karena merasa kemampuan diri untuk menjadi perfeksinis kurang sehingga menyebabkan depresi.

Depresi merupakan salah satu dysfunctional behavior menurut Bandura. Standar dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian dan kepuasan diri, tetapi saat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi, manusia juga memiliki kemungkinan gagal yang makin tinggi juga (Schultz & Schultz, 2009). Ketika kita bisa mencapai apa yang diinginkan, maka kita akan merasa bangga dengan diri sendiri, namun jika gagal, kita cenderung menganggap itu sebagai akibat dari kurangnya kemampuan diri. Depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum ditemui (Rosenhan & Seligman dalam Aditomo & Retnowati, 2014).

Depresi merupakan gangguan yang terutama ditandai oleh kondisi emosi sedih dan muram serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, dan interpersonal (APA dalam Aditomo & Retnowati, 2014). Gejala-gejala depresi normal, seperti perasaan-perasaan tidak bersemangat, sedih, merasa tanpa harapan, dan lain-lain biasanya tidak berlangsung lama. Ketika seorang individu berhasil mengatasi gejala-gejala tersebut, suatu cara pandang baru yang lebih dewasa akan muncul. Disini depresi normal bisa dilihat sebagai pengalaman yang adaptif (Caron & Butcher dalam Aditomo & Retnowati, 2014). Depresi menjadi maladaptif dan abnormal bila hadir dalam intensitas yang tinggi dan menetap. Dalam depresi yang berat, distorsi kognitif ini mengarah pada membayangkan (ideasi) bunuh diri dan kadang bahkan pada percobaan bunuh diri (Rosenhan & Seligman dalam Aditomo & Retnowati, 2014).

Nah, boleh kita mempunyai goals yang tinggi. Tetapi harus realistis sesuai kemampuan diri kita.