Apa itu toxic positivity?

Di media sosial kamu tentu familiar dengan ucapan-ucapan seperti "Selalu berpikir positif, semua akan baik-baik saja atau Keep positif thinking!. Namun benarkah bersikap positif di segala keadaan, memiliki pandangan yang selalu positif, serta menolak segala hal yang dapat memicu emosi negatif merupakan hal yang baik?

Toxic positivity didefinisikan sebagai sikap over generalisasi, pola pikir berlebihan, dan tidak efektif dalam memandang hal positif dari segala situasi. Ketika orang yang mengalami toxic positivity merasakan emosi negatif, mereka lebih memilih untuk menghindari ataupun menyangkal emosi daripada mengakui emosi negatif tersebut. Seperti Aku ngga papa kok, Engga, aku ngga boleh kecewa, aku harus berpikir positif, atau Aku ngga boleh sedih, masa kaya gini doang sedih, masih banyak orang yang masalahnya lebih besar dari aku, dan sebagainya.

Perlu diingat bahwa segala sesuatu yang berlebihan bukanlah hal yang baik, ini juga berlaku pada sikap dan pola pikir positif yang berlebihan. Ketika sebuah kepositifan digunakan untuk membungkam emosi dan pengalaman emosional manusia, hal itu justru menjadi racun. Emosi negatif yang ditekan oleh kepositifan yang berlebihan sebenarnya tidak terselesaikan dan justru akan semakin membesar. Beberapa orang akan merasa semakin terpuruk karena rasa bersalah atas ketidakmampuannya dalam berpikir positif, padahal tidak selalu mampu berpikir positif dan mengakui emosi negatif merupakan hal yang wajar.

Dikutip dari American Psychiatric Association (dalam Gross dan Levenson, 1997) menyatakan bahwa sebagian besar gangguan jiwa disebabkan oleh kurangnya regulasi emosi yang benar. Seperti gangguan kecemasan disebabkan oleh kecemasan tinggi yang tidak diregulasi dengan baik dan benar atau kepribadian histrionik yang disebabkan oleh emosi berlebihan. Terlepas dari pentingnya regulasi emosi untuk kesejahterasaan psikologis, yang mengejutkan adalah fakta bahwa ternyata masih banyak orang yang memilih untuk menyembunyikan, menolak, dan menyangkal emosinya dengan menggunakan "selalu bersikap positif", "selalu berpikir positif". Dengan demikian toxic positivity menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang mengganggu regulasi emosi yang baik pada seseorang dan meningkatkan risiko terkena gangguan kesehatan mental.

Apa saja tanda-tanda toxic positivity?

Toxic positivity: Ketika jadi positif justru merusak kesehatan mental

Di bawah ini adalah beberapa ekspresi dan pengalaman umum tentang toxic positivity yang dapat membantumu mengenali bagaimana hal itu muncul dalam kehidupan sehari-hari.

1.Menyembunyikan atau menutupi perasaan yang sebenarnya.

2.Mencoba untuk "just get on with it dengan cara mengabaikan atau menekan emosi.

3.Merasa bersalah atas perasaan yang kamu miliki.

4.Meremehkan pengalaman orang lain dengan kalimat atau quotes-quotes yang dirasa positif. Misalnya Gitu doang mah gampang, kamu pasti bisa kok.

5.Mencoba memberikan pendapat atau pandangan baru daripada memvalidasi emosi yang kamu rasakan.

6.Mempermalukan atau merendahkan orang lain karena mengungkapkan rasa frustasi, emosi negatif, dan bukannya mengungkapkan hal-hal positif.

7.Menepis dan menolak hal-hal yang mengganggu dengan yaudah emang udah kaya gini adanya.

Apa solusi yang dapat dilakukan?

Toxic positivity: Ketika jadi positif justru merusak kesehatan mental

Tips 1: Ketahui perbedaan antara toxic positivity dengan healthy positivity.

Toxic positivity.

1. Mengabaikan perasaan tidak menyenangkan.

2. Siapa pun bisa melewati masalah itu dengan mudah kok.

3. Berpikir Fake it till you make it attitude dan bertujuan untuk mendapatkan pandangan yang positif setiap saat.

Health positivity.

1. Pola pikir yang bersedia menerima semua emosi dan belajar dari emosi-emosi tersebut untuk membuatmu melangkah maju.

2. Pola pikir yang memahami bahwa tidak segala hal datang dengan mudah dan terkadang perlu usaha untuk berkembang.

3. Tidak mengubah dunia sekitar namun mengubah caramu memandang dunia.

Tips 2: Mengetahui contoh dari toxic comments dan supportive comments.

Toxic positivity.

1. "You will get over it!"

2. "Kamu tuh harusnya bersyukur!"

3. "Kalau keguguran tinggal coba lagi aja sih."

Supportive comments.

1. "Ini pasti sulit banget ya buat kamu, makasi udah berbagi."

2. "Aku bisa bantu apa buat kamu?"

3. "Aku cuma bisa ngebayangin gimana perasaanmu selama ini."

Tips 3: Memvalidasi emosi dan bersedia membicarakan solusi.

Hanya setelah seseorang melampiaskan emosinya kemudian emosi mereka telah diakui, didengarkan, dan telah diberikan komentar-komentar supportive (yang sifatnya mendukung) barulah kamu dapat bertanya apakah mereka siap untuk membicarakan solusibiasanya ada yang siap dan ada juga yang belum siap.

Contoh: "Maukah kamu perlahan-perlahan memikirkan solusi dari permasalahan ini?"

Contoh: "Ada beberapa hal yang aku pikirkan, kira-kira kamu mau mendengar pendapatku nggak?"

Menerima emosi yang mungkin sulit diterima sebenarnya malah membantu intensitas emosi tersebut. Tidak ada emosi yang "baik" atau "buruk", semua emosi hanya ada positif atau negatif. Kata "negatif" mungkin sering diasosiasikan dengan hal buruk, namun dalam emosi, "negatif" adalah kata yang digunakan untuk menyebutkan emosi yang dirasa tidak nyaman, dan tidak nyaman bukan berarti buruk. Daripada itu, akan lebih baik jika memikirkan emosi sebagai petunjuk: Emosi membantumu memahami berbagai hal. Jika kamu sedih karena meninggalkan pekerjaan, mungkin berarti pengalaman itu bermakna. Jika kamu merasa cemas tentang sebuah presentasi, mungkin berarti kamu peduli dengan persepsimu tentang presentasi itu.

Emosi bukan hanya cara bagi pikiranmu untuk menyampaikan apa yang sedang terjadi pada dirimu, melainkan juga menyampaikan informasi pada orang-orang di sekitarmu. Jika kamu sedih, maka kamu mengharapkan kenyamanan dan jika merasa bersalah maka kamu mengharapkan pengampunan.

Meskipun mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi positif dan mengambil hikmah dari segala pengalaman hidup merupakan hal yang mungkin bermanfaat, namun penting juga untuk menerima dan mengakui emosimu ketika emosi tersebut terasa tidak nyaman. Tidak ada yang bisa menjadi sinar matahari 24/7, bukan seperti itu cara kerja seorang manusia. Faktanya, memperhatikan dan memproses emosi yang datang dan pergi justru dapat membantumu memahami diri sendiri dan orang-orang di sekitarmu.