Saat ini negara Indonesia sedang menghadapi berbagai macam permasalahan penyimpangan perilaku, baik yang dilakukan oleh kalangan pelajar maupun yang melibatkan para pemimpin negara. Mulai dari perundungan, tawuran antar pelajar, anarkisme geng motor, hingga yang lebih kompleks yaitu korupsi yang tumbuh subur di kalangan pemimpin negara. Hal ini menjadi fakta yang tidak terpungkiri. Parahnya, sebagian besar korupsi yang melibatkan para politisi berpendidikan. Permasalahan yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita sebenarnya tidak lepas dari persoalan Karakter. Pendidikan karakter yang seharusnya didapatkan sejak masa anak-anak justru membuat anak tersebut menyimpang dari apa yang diharapkan.

Pada Rabu, 25 September 2019 lalu, para pelajar STM melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPR/MPR RI banyak diwarnai aksi kericuhan. Dalam demo ini, massa pelajar terlibat bentrok dengan petugas. Mereka bahkan melemparkan batu, botol, dan bom molotov ke arah gedung DPR. Massa juga melakukan perusakan fasilitas publik. Aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh pelajar STM, tetapi juga siswa SMA hingga SMP. Massa terlibat bentrok dengan aparat hingga polisi menembakkan gas air mata (Ramdhani, 2019). Lebih disayangkan lagi banyak dari anak STM ini yang datang melakukan aksi tidak tahu tujuannya apa, hanya sebatas ikut-ikutan saja (Sukardi, 2019).

Dilansir dari Kompas.com pada 8 Oktober 2019 lalu, seorang pelajar SD Negeri di wilayah Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah mengalami depresi berat setelah diduga menjadi korban perundungan (bullying) oleh beberapa teman sebangkunya. Ironis, siswa kelas 6 SD tersebut telah menerima bullying secara verbal dan fisik mulai sejak kelas 4 SD atau dua tahun ini. Persoalan awal yang terjadi yaitu saat RS duduk di bangku kelas 4 SD. Ketika jam pelajaran kosong, RS dan teman-temannya bermain sepak bola di dalam kelas. Nahas, bola yang ditendang RS mengenai jam dinding kelas hingga terjatuh di lantai. Sejak saat itu RS di-bully, rambutnya dijambak, diludahi, disiram air, bahkan pernah disekap di kelas oleh teman-temannya.

Realitas inilah yang memperlihatkan betapa pentingnya pendidikan karakter di kalangan generasi muda karena nilai-nilai pendidikan karakter saat ini mulai tergerus oleh laju arus globalisasi dan modernisasi. Menurut Arthur (dalam Santrock, 2011), pendidikan karakter merupakan suatu pendekatan langsung terhadap pendidikan moral yang melibatkan pengajaran moral dasar untuk mencegah dari terlibatnya dalam perilaku tidak bermoral dan membahayakan diri sendiri atau orang lain. Di lembaga pendidikan, guru harus menerapkan nilai pendidikan karakter melalui kegiatan sekolah maupun mata pelajaran. Thomas Lickona (dalam Diana & Irawan, 2019) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu siswa agar mengalami, memperoleh, dan memiliki karakter kuat yang diinginkan.

Pendidikan karakter diberlakukan di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Siswa yang unggul tidak hanya ditumbuhkan kecerdasan menalar saja, tetapi juga harus ditumbuhkan kecerdasan segi moral (Dewi, Degeng, & Hadi, 2019). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rahim, Raisul, & Abdoludin (dalam Dewi, Degeng, & Hadi, 2019) yang menjelaskan bahwa pentingnya keseimbangan antara aspek kognitif dan afektif dalam sistem pendidikan yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Diana & Irawan (2019), pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah mengacu pada 18 nilai karakter yang meliputi, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dipengaruhi oleh budaya sekolah yang positif. Wiyani (dalam Dewi, Degeng, & Hadi, 2019) menjelaskan bahwa budaya sekolah merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan siswa. Budaya sekolah disesuaikan dengan nilai setiap sekolah. Dari pembiasaan di sekolah kemudian akan muncul tindakan yang jika dilakukan secara konsisten akan menjadi sebuah budaya dan akan menjadi identitas dari sekolah itu sendiri. Sejalan dengan Marini (dalam Dewi, Degeng, & Hadi, 2019) menjelaskan bahwa nilai karakter dapat diintegrasikan tidak hanya di ruang kelas, tetapi dapat melalui budaya sekolah.

Menjadi generasi muda yang hanya memiliki ilmu dan pengetahuan tinggi saja tentu tidak cukup, namun juga harus dibekali dengan sikap atau karakter yang baik. Karakter yang dimiliki oleh generasi muda merupakan kunci dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menjadi manusia berkualitas yang mampu bertindak sesuai nilai dan norma yang ada di masyarakat dengan karakter yang dimiliki dapat membangun Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.