Kota-kota di Indonesia mengalami perkembangan sejak masa nirleka atau pra-aksara hingga menjadi kota-kota yang modern. Tahapan pembentukan kota yang pertama adalah kota pra-aksara, yang merupakan cikal-bakal terbentuknya pemukiman komunitas. Tahapan berikutnya adalah kota tradisional, yang terjadi pada masa kerajaan Islam. Saat adanya bangsa Barat yang datang ke wilayah Nusantara dan terjadi penjajahan, kota-kota di Nusantara berubah lagi menjadi kota kolonial yang strukturnya mulai nampak berbeda dengan kota tradisional. Dan tahapan terakhir adalah kota modern, yang salah satu cirinya adalah segala sesuatu dikelompokkan berdasarkan kelas sosialnya.

Secara geografis, kota di Jawa dibagi menjadi dua bagian, yaitu kota pesisir dan kota pedalaman. Sebenarnya, kota pesisir dan kota pedalaman memiliki struktur kota yang sama. Namun dalam perkembangannya, terjadi perbedaan karena kota pesisir lebih banyak berinteraksi dengan orang asing sebagai dampak dari perdagangan dan pelayaran. Sedangkan kota pedalaman cenderung lebih homogen jika dibandingkan dengan kota pesisir yang heterogen.

Kota-kota di Indonesia saat ini sebenarnya masih banyak yang memiliki struktur kota tradisional. Kota tradisional secara umum diartikan sebagai pusat kota atau ibu kota kerajaan-kerajaan awal di Nusantara, hingga datangnya bangsa Barat di Nusantara. Kota tradisional dibangun dengan mempertimbangkan hal magis-religius, seperti mikro dan makro kosmos. Ada pula kota tradisional yang dibangun berdasarkan garis imajiner yang berasal dari kepercayaan tradisional, mata angin, maupun alasan-alasan lainnya.

Struktur kota tradisional biasanya berpusat pada keraton dengan alun-alunnya. Ada beberapa keraton yang juga merupakan benteng dengan tembok yang melingkari bangunan keraton, dengan lapangan atau alun-alun, yang juga dilengkapi dengan tempat ibadah. Pola sosio-kultural sangat terlihat dalam tata letak pemukiman warganya. Di sekitar keraton adalah pemukiman milik bangsawan, pejabat kerajaan, abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar. Kota tradisional juga ditandai dengan adanya pembagian yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya pemukiman dengan keraton. Struktur kota tradisional ini berasal dari kota yang ada di Jawa Tengah, lebih tepatnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Kota tradisional Jawa pada masa pra-kolonial memiliki pola kota Mandala, yang merupakan penerusan dari kota-kota pada masa Hindu di Jawa. Struktur kotanya memiliki pusat kota berupa keraton, alun-alun, dan fasilitas umum seperti pasar dan tempat ibadah. Simbolisasi kehidupan keraton tetap berjalan, seperti kegiatan upacara, etika, gaya hidup raja-raja, permainan, serta hiburan yang masih dilaksanakan.

Penggambaran kota-kota tradisional di Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukkan kemiripan. Salah satu kota tradisional yang ada di wilayah Jawa Timur adalah Pasuruan. Pasuruan adalah salah satu kota pelabuhan yang terletak di pesisir utara Jawa. Kota-kota pesisir di Jawa, termasuk salah satunya Pasuruan, selalu mempunyai keterkaitan dengan pusat kerajaan di pedalaman (Santoso, 1984).

Pada masa Kerajaan Singasari, Pasuruan merupakan pelabuhan besar di Jawa Timur. Kota ini berfungsi sebagai pelabuhan dan menjadi kota perdagangan. Kota Pasuruan memperdagangkan komoditi laut, ekonomi budidaya berupa pertanian, serta kegiatan ekonomi jasa. Pusat pemerintahan kerajaan berada di pedalaman, yaitu Kerajaan Singasari, ibu kota kerajaan berperan simbolik sebagai pusat kekuasaan. Peninggalan yang signifikan, berupa jalan raya arah Selatan, yang merupakan penghubung ke pusat kerajaan.

Islam masuk ke Pasuruan sekitar tahun 1546, pada masa Kerajaan Demak. Pengaruh Islam ini masih terbatas pada wilayah bagian barat, yang berbatasan dengan Surabaya. Selanjutnya, Kerajaan Demak mengalami surut, yang kemudian kekuasaan Islam berpindah tangan ke Kerajaan Mataram Islam di Kotagede. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Islam telah menyebar hingga di Kota Pasuruan, sekitar tahun 1614-1645. Ciri perkembangan agama Islam di Kota Pasuruan ditandai dengan adanya komunitas pedagang arab, yang bermukim di sekitar masjid. Hal demikian memperkuat pendapat Koentjaraningrat bahwa kota-kota pelabuhan terdiri dari bagian-bagian tempat tinggal para penguasa pelabuhan berada dekan pelabuhan, dengan beberapa kampung tempat bermukim padagang asing (Menno & Alwi, 1992). Beberapa kampung di Kota Pasuruan diberi nama sesuai dengan etnis penduduknya, seperti Kampung Arab dan Pecinan.

Kota tradisional secara umum diartikan sebagai pusat kota atau ibu kota kerajaan-kerajaan awal di Nusantara, hingga datangnya bangsa Barat di Nusantara. Kota tradisional di Jawa memiliki kemiripan karena terpengaruh oleh Kerajaan Mataram Islam. Struktur kotanya mirip dengan struktur Kota Yogyakarta dan Surakarta, yang terletak di Jawa Tengah.

Kota tradisional digambarkan seperti mandala, yang memiliki inti atau pusat kota yaitu keraton, yang lengkap dengan alun-alun, tempat ibadah, serta pasar. Pemukiman penduduknya dikelompokkan berdasarkan komunitas serta status sosialnya. Saat ini, Kota Pasuruan masih berstruktur kota tradisional. Hal ini dapat dilihat terdapat alun-alun, yang di sekitarnya ada masjid sebagai tempat ibadah, serta pasar sebagai kegiatan perekonomian.