Muka lu kayak biji salak. Maaf Pak RT, kepala Pak RT tandus ya? Muka lu kayak oli bekas.

Kalimat-kalimat di atas muncul dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi nasional. Pada berbagai acara humor, fisik acap kali dijadikan konten lawakan. Tidak diketahui secara pasti kapan mulainya dan siapa yang menginisiasi, yang jelas candaan atau lawakan dengan cara mengeksplorasi tubuh sudah ada sejak lama.

Slapstick danbody shaming.

Slapstick, demikian terminologi yang digunakan untuk merujuk pada fenomena ini, cukup masif muncul di acara komedi-komedi tanah air, entah itu yang lawas atau modern. Kita ambil contoh trio Warkop DKI. Gigi tonggos almarhum Dono kerap diasosiasikan dengan bemo atau bajaj. Lalu tengok juga Tukul Arwana. Bibirnya sering dibuat bahan olok-olok baik oleh lawan main maupun dirinya sendiri.

Agak aneh sebenarnya ketika keadaan fisik tertentu (biasanya yang dianggap kurang menarik) diekspos secara berlebih untuk kemudian dijadikan komoditas dalam melawak. Dan lebih aneh lagi saat yang menonton atau mendengar lawakan bisa sampai tertawa terpingkal-pingkal. Inisiasi lawakan model slapstick dan respon welcome penonton atau pendengar dari dulu hingga sekarang seolah-olah melegitimasi guyonan berorientasi fisik.

Saya pribadi menilai lawakan dengan gaya slapstick ini sebenarnya menjadi indikasi kekurangan kreativitas seorang komedian. Saking sudah kehabisan ide, fisik pun diobral sedemikian rupa hingga menjadi lelucon meski berhasil mengocok perut orang. Padahal belum tentu semua orang bisa satu persepsi menerimanya sebagai banyolan. Tidak tertutup kemungkinan mereka yang keadaan fisiknya dijadikan lelucon mengalami rasa sakit hati, tersinggung, bahkan depresi.

Kamutentu sering mendengar bunyi lawakan ini: Kalau orang botaknya di depan, artinya dia pemikir. Kalau orang botaknya di belakang, artinya dia pintar. Trus, kalau botaknya di depan dan di belakang, artinya dia pikir dia pintar. Banyak yang menilai guyonan ini kreatif. Tapi menurut penjelasan para ahli, kebotakan seseorang dipicu beberapa faktor. Salah satunya bisa karena kemoterapi akibat kanker. Kemoterapi menyebabkan rambut semakin lama semakin rontok dan akhirnya botak. Orang yang dalam kondisi demikian harus selalu dipenuhi rasa optimis serta pola pikir positif dan bahagia guna membantu pemulihan kesehatan. Bayangkan bila orang seperti ini, yang sedang berjuang antara hidup dan mati, mendengar lawakan tadi. Apa yang akan terjadi? Bukan malah terhibur, bisa-bisa kondisi yang bersangkutan semakin memburuk.

Keadaan fisikapakah itu gemuk atau kurus, berkulit cerah atau gelap, berkepala plontos atau berambut gondrong, dan lain-lainadalah otoritas setiap individu. Seseorang tidak punyak hak atau merasa memiliki hak melakukan hinaan terhadap orang lain menyangkut kondisi fisiknya meski dengan alasan bercanda atau sekedar main-main. Ketika hal yang dianggap candaan ini pada akhirnya menyebabkan ketidaknyamanan atau perasaan terganggu, inilah yang disebut dengan body shaming.

Sanksi hukum.

Body Shaming belakangan marak dibahas terutama karena pelakunya sudah bisa dijerat hukum. Dilansir dari laman detiknews (Rabu, 28/11/2018), Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan body shaming dikategorikan dalam tiga tindakan. Pertama, tindakan seseorang yang mentransmisikan narasi berupa hinaan, ejekan terhadap bentuk, wajah, warna kulit, postur seseorang menggunakan media sosial. Perbuatan seperti ini melanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 dengan ancaman pidana 6 tahun. Kedua, bila dilakukan secara verbal dan langsung ditujukan kepada seseorang, pelakunya bisa dikenakan Pasal 310 KUHP dengan ancaman hukuman 9 bulan. Ketiga, bila dilakukan dalam secara tertulis dalam bentuk narasi, melalui transmisi media sosial, dikenakan Pasal 311 KUHP dengan hukuman 4 tahun.

Penetapan aturan-aturan hukum ini menuai kritik terutama dari kalangan para pekerja seni seperti artis dan pelawak. Mereka menganggap pasal-pasal ini membatasi kebebasan berekspresi sehingga disebut pasal karet. Ini yang bagi saya harus diluruskan. Kebebasan bukan berarti absolut. Tetap harus ada batasan-batasan. Dan kebebasan berekspresi tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan mengekspresikan apa pun termasuk keadaan fisik manusia lain.

Pada kenyataannya memang, tak cuma di dunia komedi, dalam interaksi sosial saban hari pun celoteh soal fisik nyaris tak terhindari entah itu disengaja atau tidak. Malah tak jarang bahasa-bahasa nyeleneh dan menjurus pada olok-olok fisik digunakan di antara orang-orang yang hubungannya sudah sangat erat. Ungkapan-ungkapan seperti Aku udah kangen banget sama kamu, gendut! atau Ih si Kribo ini ngangenin banget sih mungkin terdengar kasar dan bisa dikategorikan sebagai body shaming. Ini yang harus dilihat secara konteks. Kadang semakin erat hubungan, bahasa yang digunakan bisa semakin kurang sopan. Tapi hal seperti ini dianggap biasa oleh kedua belah pihak. Malah akan janggal rasanya bila interaksi antara dua orang yang sangat dekat menggunakan bahasa-bahasa formal. Jangan sampai aturan hukum ini menjadi multitafsir dan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Pengaruhpola pikir dan media.

Konstruksi perilaku body shaming erat kaitannya dengan pola pikir manusia. Sudah bukan rahasia bila ada persepsi dan kesepakatan tidak tertulis soal kriteria fisik. Sebagai contoh, bentuk tubuh yang langsing dan tinggi, kulit putih, atau hidung mancung diterima sebagai citra fisik yang sempurna sehingga menjadi idaman banyak orang. Malah sejak bayi, manusia sudah berbakat menilai penampilan. Dalam buku National Geographic Learning karya Nancy Douglas dan David Bohlke, enam orang bayi berusia enam bulan diberikan beberapa foto wajah orang. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa bayi-bayi tadi melihat ke wajah-wajah yang menarik lebih lama dari pada wajah-wajah kurang menarik yang ada dalam foto-foto itu.

Media juga punya andil karena sering mejadikan tubuh sebagai komoditas komersil. Tengok saja para model atau artis. Mereka dituntut punya fisik yang ideal agar laku dan menjadi lahan empuk bagi media menuai keuntungan. Akhirnya konsep ideal itu pun terus-menerus mendarah daging dan diterima sebagai konsensus. Orang-orang dengan fisik yang masuk kategori sempurna tadi menjadi begitu diagungkan. Sebaliknya, seseorang yang fisiknya jauh di luar kriteria sempurna akan dianggap tidak proporsional dan menjadi target olok-olok.

Bagi mereka yang sering menerima perlakuan body shaming, pada akhirnya kemampuan mengolah dan mengontrol emosi akan menjadi kunci. Depresi karena body shaming, tanpa bermaksud membenarkan para pelaku, juga dipicu karena ketidakmampuan menangkal atau memfilter pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Pembiaran terus-menerus inilah yang berhasil membuat celaan atau olok-olok soal fisik merajai pikiran korban dan merusak kepercayaan diri. Jika mampuabai dengan semua itu dan menerima keadaan diri sendiri, maka sekuat apa pun cemoohan menyangkut fisik tidak akan berpengaruh negatif. Memang hal ini kelihatannya mudah diucapkan dan sulit dilaksanakan. Tapi selagi kita hidup dengan orang lain, interaksi sosial tidak bisa dihindari. Dan dalam interaksi sosial, agak mustahil menjamin bahwa setiap lisan yang keluar dari mulut seseorang tidak berpotensi menyakiti orang lain.

*Penulis berprofesi sebagai guru dan dosen serta pemerhati masalah sosial.