Sekarang rasanya sulit untuk menentukan jika teknologi adalah sesuatu yang harus dirayakan atau ditakuti. Apakah ini krisis global atau hanya ketakutan sesaat?

Satu pihak dengan yakin percaya bahwa anak-anak dalam bahaya besar. Contohnya Dr. Jean Twenge, seorang profesor psikologi di Universitas San Diego yang mengatakan Ini bukanlah sesuatu hal yang dibesar-besarkan jika kita menyatakan iGen berada di ujung tanduk bahaya krisis kesehatan mental dan hal ini berkaitan erat dengan handphone.

Menurut Dr. Twenge, iGen tidak dapat saling menatap; mereka tidak nyaman memulai sebuah percakapan sehingga juga tidak dapat membangun sebuah hubungan yang lebih dalam. Mereka adalah generasi yang ter-cyberbully, terobsesi dengan like, dan rentan untuk bunuh diri.

Jadi, apakah pernyataan Dr. Twenge ini benar-benar sebuah ketakutan yang nyata atau dibuat-buat?

Dengan penelitian seperti miliknya, Dr. Twenge bekerja seperti ini: Peneliti-peniliti mencari hubungan antara berbagai variable. Jika A dan B bergerak ke atas pada saat yang bersamaan, peneliti menarik kesimpulan bahwa ada kaitan di antaranya.

Contohnya jika Budi membuka cabang toko es krim baru dan penjualan es krim di kota tersebut meningkat, maka ditariklah kesimpulan bahwa pembukaan toko es krim mengakibatkan orang-orang mengonsumsi es krim lebih banyak. Tetapi, mungkin ada hal lain yang memengaruhi melonjaknya penjualan es krim tersebut, contohnya cuaca. Mungkin konsumsi es krim meningkat pada saat cuaca pada hari tersebut sangat panas, dan tidak banyak penjualan ketika cuaca sedang baik.

Memang benar, ada kaitannya antara sosial media dengan gejala depresi pada anak remaja. Tetapi ada variabel-variabel lainnya yang perlu diperhatikan seperti pendapatan dalam sebuah keluarga, tingkat edukasi orang tua, dan sejarah keluarga. Hal-hal ini mungkin berdampak lebih besar pada tingkat gejala depresi anak daripada hanya sekadar handphone.

Dalam artikel yang ditulis Dr. Twenge sendiri di Wired menyatakan media sosial mempunyai andil sebanyak 0.36% pada gejala depresi anak remaja. Bukan 36%, tetapi 0.36%. Itu bahkan tidak mencapai 1%.

Dr. Sarah Rose Cavanagh, seorang PhD dan profesor rekanan di College Assumption, Boston menyatakan bahwa hasil penelitian yang didapat oleh Dr. Twenge hanya berisi penelitian yang mendukung idenya, dan dia menghiraukan penelitian lain yang tidak mendukung idenya. Misalnya penelitian Christopher Ferguson yang mempublikasikan hasil penelitiannya di Psychiatric Quarterly menyatakan kaitan antara waktu layar dan depresi adalah sangat kecil.

Dr. Twenge juga menyatakan bahwa anak-anak remaja dengan waktu layar lima jam atau lebih akan mempunyai kemungkinan depresi dan pikiran untuk bunuh diri lebih besar. Lalu, bagaimana dengan anak-anak remaja dengan waktu layar satu jam saja atau kurang dari dua jam? Seorang anak remaja bisa saja menghabiskan waktu lima jam di-cyber-bullied atau membentuk komunitas untuk anti cyber bully. Waktu layar tersebut jelas memberikan dampak yang berbeda, bukan?

Tentu saja, banyak yang harus dipertimbangkan untuk menarik sebuah kesimpulan. Pastinya teknologi itu seperti pedang bermata dua. Bila dipergunakan dengan baik, maka teknologi akan memberikan dampak yang baik seperti pergaulan yang lebih luas dan memberikan ruang yang lebih baik dan sehat untuk mengeluarkan isi hati di media online daripada melakukan hal-hal yang berbahaya di dunia nyata. Melalui sosial media, anak-anak juga dapat berbagi musiknya, skill atau talentanya ataupun membentuk komunitas sosial lainnya. Teknologi dapat mengenalkan dunai baru bagi anak-anak.

Jadi, apakah perlu takut pada teknologi? Ketika kita takut berlebihan dan melarang anak-anak untuk tidak menggunakan teknologi mungkin dapat berdampak lebih negatif daripada positifnya. Tentu saja harus ada batasan-batasan yang jelas. Anak-anak harus dipandu dan diajarkan untuk menggunakan teknologi secara benar dan penuh tanggung jawab.

UNICEF menyatakan bahwa teknologi itu seperti huruf U. Ketika tidak terpapar teknologi sama sekali atau penggunaan teknologi secara berlebihan akan sedikit berdampak buruk pada kesehatan mental. Tetapi penggunaan teknologi dengan wajar akan sedikit berdampak baik pada kesehatan mental. Penggunaan teknologi yang wajar dan dengan penuh tanggung jawab adalah kuncinya.