Akhir cerita Revisi Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah berakhir pada tanggal 17 September 2019 dengan disahkannya undang-undang tersebut oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Polemik mengenai Revisi Undang-Undang KPK ini telah menimbulkan berbagai sikap yang ada di masyarakat. Ada yang menganggap revisi undang-undang tersebut merupakan langkah pelemahan untuk KPK dan ada juga yang berpendapat bahwa revisi undang-undang ini merupakan penguatan untuk lembaga anti rasuah tersebut.

Dilakukan dalam 13 hari dan 5 kali rapat.

Hal yang menjadi perhatian dalam Revisi Undang-Undang KPK adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang seolah-olah terlalu cepat dalam merevisi undang-undang yang diselesaikan hanya dalam 13 hari dan 5 kali rapat. Anggota DPR satu suara menyetujui mengenai Revisi Undang-Undang KPK. Hal ini menimbulkan pertanyaan di masyarakatdi mana biasanya mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam penyusunan undang-undang.Namun untuk Revisi Undang-Undang KPK ini mereka memiliki pandangan yang sama. Apakah ini indikasi bahwa revisi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif? Dan apakah ada suatu kepentingan dalam Revisi Undang-Undang KPK?

KPK tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang.

Yang menjadi perhatian lainnya adalah dalam Revisi Undang-Undang KPK tidak melibatkan Lembaga KPK itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Wakil Ketua Laode Syarief menyatakan bahwa Lembaga KPK tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi tersebut dan KPK menyatakan sikap bahwa mereka tidak butuh perubahan mengenai Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang KPK.

Hal ini menimbulkan anggapan bahwa revisi tersebut dilakukan secara tergesa-gesa yang hanya melibatkan DPR dan Pemerintah. Dan apakah yang menjadi penyebab Dewan Perwakilan Rakyat terlalu terburu-buru dalam merevisi tersebut, padahal tidak ada suatu kegentingan atau urgensi di dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengharuskan merevisi undang-undang sesegera mungkin. Atau mungkin urgensinya Komisi Pemberantasan Korupsi ini berbahaya bagi para politisi. Ketua KPK, Agus Rahardjo menyatakan bahwa penyumbang angka koruptor terbanyak berasal dari politisi di DPR dan DPRD dengan total 255 perkara.

Pembentukan Dewan Pengawas.

Salah satu pasal yang menuai kontroversi dari revisi tersebut ialah mengenai pembentukan anggota dewan pengawas di mana anggota Dewan Pengawas tersebut memiliki tugas seperti memberikan izin penyadapan, mengevaluasi kinerja karyawan KPK, serta menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK. Dewan Perwakilan Rakyat beranggapan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sulit diawasi dan tidak mengikuti saran yang diberikan oleh DPR. Hal ini yang menjadi pertimbangan DPR dalam pembentukan Dewan Pengawas di dalam KPK. Dan juga masih ada beberapa pasal yang menuai kontroversi seperti status lembaga KPK akan berada di bawah lembaga Eksekuti hingga diizinkannya KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi.

Terlepas dari perbedaan setuju atau tidak setujunya mengenai Revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang KPK, kita semua setuju bahwa tindakan korupsi merupakan hal yang bertentangan dengan hukum di Indonesia. Kita harus mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sesuai fungsinya dalam pemberantasan korupsi.

Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu KPK juga harus melakukan pencegahan terhadap korupsi. Dengan seringnya Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan KPK, hal ini bukan merupakan prestasi, melainkan kegagalan KPK dalam pencegahan korupsi. Semua pihak harus saling bersinergi, baik Pemerintah, DPR, dan KPK itu sendiri dengan melakukan penguatan terhadap lembaga KPK dan bukan atas dasar kepentingan untuk mewujudkan Indonesia bersih dari korupsi.