Ketika membicarakan penyakit, yang muncul pertama kali di benak kebanyakan orang pada umumnya adalah penyakit fisik. Pengecualian hanya untuk seseorang berempati tinggi, pasti ada saja yang menjawab penyakit mental, namun hal itu cukup jarang. Salah satu alasan pemikiran seperti itu muncul adalah karena orang pada umumnya lebih memprioritaskan kesehatan fisik daripada mental. Kita mengobati dan menutup sebuah luka fisik secepat mungkin sebelum terinfeksi. Lain halnya ketika giliran kesehatan mental yang jadi perbincangan, kita memilih untuk mengesampingkannya atau malah menganggap itu tidak ada.

Dalam beberapa kasus, secara tidak sadar penderita sempat mengobati atau setidaknya mencoba untuk meredakan penyakit mentalnya dengan berbagi cerita dengan keluarga, teman, atau kerabat dekat lainnya untuk sekadar mengurangi beban masalah yang dihadapi. Namun tidak jarang respon yang diberikan oleh para pendengar itu malah membuat penderita yang berbagi semakin sakit. Respon-respon keliru terhadap apa yang penderita alami menjadi faktor utama seseorang penderita penyakit mental ini menutup diri rapat-rapat dan menghindari segala stigma yang dilontarkan terhadap mereka.

Keterbukaan memang termasuk coping mechanism tersendiri untuk meredakan beban yang menyakiti mental tiap orang, namun akibatnya fatal apabila respon yang diberikan pendengar seperti meremehkan pengalaman penderita. Depresi merupakan salah satu penyakit mental yang paling umum menjadi penyebab bunuh diri di dunia. Dilansir oleh Mental Health America, total 30 hingga 70 persen korban bunuh diri mengidap depresi.

Asosiasi Psikiatri Amerika mendefinisikan depresi sebagai penyakit medis umum dan serius yang dapat memunculkan dampak negatif terhadap emosional maupun fisik penderitanya dan memengaruhi kemampuan si penderita dalam menjalankan hari-harinya di rumah ataupun di luar rumah. Sayangnya masih banyak masyarakat yang mengartikan depresi tidak lebih dari itu.

Kesedihan yang dialami seseorang sesaat ketika cintanya ditolak ataupun duka mendalam ketika kehilangan kerabat dekat adalah respon normal manusia pada umumnya terhadap kejadian semacam itu. Dukungan serta dorongan dari keluarga maupun teman dekat dapat membantu menghadapi saat-saat yang berat.

Sementara itu berdasarkan National Institute of Mental Health, seseorang baru bisa didiagnosis mengidap depresi (oleh dokter) ketika gejala-gejala berikut ini dialami setidaknya dalam dua minggu tanpa henti.

1. Perasaan sedih, bersalah, merasa tidak berharga, dan kehilangan harapan yang berkelanjutan.

2. Tidak tertarik lagi melakukan hal-hal yang biasanya kita sukai.

3. Mudah marah.

4. Masalah dalam tidur, entah itu insomnia atau tidur terlalu lama.

5. Kelelahan.

6. Hilang nafsu makan dan perubahan drastis pada berat badan.

7. Sulit berkonsentrasi.

8. Seringnya muncul pemikiran untuk bunuh diri.

9. Merasakan sakit yang tidak jelas penyebabnya dan sulit untuk sembuh saat ditangani.

Penyebab dari depresi itu sendiri berbeda-beda dan tidak ada yang benar-benar bisa mengidentifikasi faktor utamanya sehingga hampir tidak mungkin pencegahan bisa dilakukan. Pengobatan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk penyakit ini. Kenali gejala-gejala tersebut, setelah itu minta pertolongan profesional untuk diperiksa dan ditangani.

Depresi sering dikait-kaitkan dengan kesedihan belaka, namun pada kenyataannya itu lebih berbahaya. Setiap orang mengalami kesedihan dan itu adalah hal yang normal, bahkan penting bagi manusia. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dinahkodai oleh Institute of Neuroscience and Psychology dari Universitas Glasgow yang menetapkan bahwasanya manusia memiliki empat kategori emosi yang paling mendasar: kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, dan kemarahan.

Depresi tidak sama dengan sedih pada umumnya karena berakibat pada ketidakmampuan menjalani hari-hari dan berkomunikasi layaknya orang normal. Setelah dikumpulkan data dari setiap responden yang diwawancarai, respon orang kebanyakan terhadap penyakit mental ini bisa disimpulkan dalam sebuah kalimat: Biarkan saja dulu, nanti juga hilang sendiri. Respon semacam itu sungguh tidak etis untuk dilontarkan kepada seseorang yang telah mengalami penyakit fisik, misalkan patah lengan, tidak ada bedanya dengan depresi.