SC karena mau instan aja kan

Mbak, kok anaknya masih 1 badannya sudah melar banget sih

Kok anaknya minum dari botol sih? Susu formula pula, takut ya payudara kendor?

Punya anak bayi tapi bisa dandan, pasti anaknya jadi anak pembantu ya?

Kok anaknya dititipin di daycare? Tega banget

Sering melihat komentarkomentar di atas di kolom komentar media sosial kamu? Saat semua urusan pola asuh dikomentari oleh netizen, itulah nyatanya komentarkomentar mom shaming saat ini. Celaka apabila nilainilai terbaik yang dianut Ibu A tidak sama dengan Ibu B dan membuat Ibu A mengomentari cara Ibu B secara pedas. Ibu A merasa pola asuhnya lebih baik dan mulai merendahkan Ibu B. Seiring berkembangnya media sosial, individu memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya tidak hanya secara pribadi, bahkan juga di muka umum.

Intensifnya penggunaan media sosial di Indonesia saat ini berbanding lurus dengan maraknya kasus mom shaming. Dilihat dari fenomenanya, mom shaming adalah tindakan menghakimi pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh seorang ibu. Saat media sosial belum seramai saat ini, perilaku mom shaming ini mudah ditemukan dalam komentarkomentar orang terdekat terhadap cara asuh ibu lainnya. Maraknya penggunaan media sosial membawa fenomena ini tidak lagi hanya dalam kehidupan nyata. Mom shamingsemakin gegap dilakukan juga dalam kolom komentar para ibu. Jadi, komentarnya sama, medianya saja yang berbeda.

Seperti pengalaman yang dialami oleh Sandra, seorang working mom.Keputusannya untuk menitipkan anaknya di daycaredikomentari sinis oleh kakak iparnya, Lebih sayang kerjaan ya daripada anak. Masa tega sih bayinya diasuh orang. Atau cerita Tari yang diprotes oleh ibunya karena teguh pada pendirian untuk memberikan anaknya ASI Eksklusif, Kamu gak kasihan dengan anakmu kelaparan karena sususnya kurang?.

Ironisnya, perilaku mom shaming sering kali dilakukan oleh para perempuan. Mereka, para ibu, gemar mengomentari pola asuh orang lain. Celakanya, komentarkomentar yang diberikan sering kali mengarah pada nadanada sumbing. Sudah begini, maka ibu pun melakukan jugabullytanpa disadari.

Perilaku bullyingtidak hanya yang sifatnya fisik loh. Bullying juga bisa dilakukan secara verbal atau dengan katakata. Misalnya dengan pemberian julukan, pernyataan yang menyakitkan, hingga merendahkan secara psikologis. Ketika kita gencar untuk mengingatkan anak agar tidak menjadi pelaku bully, namun ternyata komentar pedas yang dilontarkan kepada ibu lain pun adalah bentuk bullying. Maka, dapat disimpulkan, secara tidak sadar ibu pun mengajar anak mem-bully dengan memberikan contoh berlawanan.

Sebenarnya, bertukar pikiran dan saling memberi saran mengenai pola asuh anak adalah hal yang wajar saat para ibu bertemu satu sama lain. Yang membuatnya tidak wajar adalah penyampaiannya sering kali berbentuk sindiran, paksaan, ataupun dengan katakata lain yang merendahkan harga diri seorang ibu. Padahal, pada dasarnya seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, maka ia akan selalu mengusahakan yang terbaik bagi keluarganya.

Penyebab mom shaming.

Ada beberapa penyebab seseorang melakukan mom shaming. Pada dasarnya, manusia di dalam kelompok sosial seperti para ibu mempunyai anak di usia sama, tidak peduli tua atau muda, cenderung meraih posisi yang lebih tinggi dengan mengganggu manusia lain dalam kelompoknya. Mom shaming dapat dikategorikan sebagai reaksi psikologis terhadap tekanan dan kekacauan alamiah yang terjadi dalam peran seorang ibu. Perilaku mom shaming adalah salah satu bentuk pembuktian kemampuan pengasuhan mereka sendiri.

Seseorang melakukan mom shaming saat ia merasa iri dan ingin diakui oleh orangorang di sekitarnya sebagai seorang ibu. Ia mungkin dilanda kebosanan, marah, lelah karena kegiatan mengurus anak yang dilalui setiap hari. Kondisi seperti itu membuat seseorang rentan melampiaskannya kepada orang lain melalui perkataan yang negatif dan terkesan menjatuhkan.

Dengan mudahnya akses kepada media sosial, dan akun-akun ibu lainnya, membuat mereka memilih untuk melampiskan emosinya kepada ibu lain. Berkomentar sesukanya mengenai pola pengasuhan seorang ibu, menyalahkan, merendahkan, hingga meremehkan pola pengasuhan ibu lain terasa lebih mudah daripada harus marahmarah di dunia nyata. Maka, mudah kemudian menemukan komentarkomentar bernada mom shaming di media sosial.

Ibusebagai pelakubully.

Sadar atau tidaknya perilaku mom shaming yang dilakukan oleh ibuibu tersebut ikut memengaruhi cara mereka mengasuh anak. Jika terbiasa untuk merendahkan harga diri orang lain, maka pola asuh pun ikut terbawa. Bukan orang lain, tapi anakanak kita.

Walau pun hanya dalam ranah media sosial, bullying dengan merendahkan diri orang lain tetaplah bukan tindakan terpuji. Sayang sekali, ibu yang seharusnya menjadi contoh bagi anakanaknya harus mempraktikan bullying dengan bebas.

Dalam ranah psikologi sosial, mom shaming yang dilakukan oleh para ibu di media sosial adalah bentuk moral disagreement. Saat pada dasarnya, kita sebagai manusia memiliki kemampuan kognitif untuk memilah kebenaran objektif. Untuk kasus ini, mom shaming adalah bentuk cyberbully. Namun, toh ternyata bullying tetap dilakukan.

Penelitian mengenai cyberbullying (Notar, 2013), menemukan bahwa bentuk dari cyberbullying ada dua, yaitu langsung dan tidak langsung. Langsung apabila ditujukan khusus untuk korban dalam bentuk ancaman, pesan atau gambar yang merendahkan. Sedangkan, bentuk cyberbullying tidak langsung ada dalam proses penyebaran rumor jahat di belakang korban.

Akibat mom shaming.

Seorang ibu sudah memiliki tekanan dalam hal mendidik anakanaknya. Tekanan dari internal diri atau kondisi psikologis sebagai akibat dari tanggung jawab moral. Serta tekanan eksternal yang tidak hanya datang dari keluarga dan kerabat dekat, melainkan masyarakat secara umum. Ibu, menjadi pihak pertama yang disalahkan.

Mom shaming, walaupun hanya dalam ranah dunia maya, ternyata dampaknya tetap sangat negatif bagi si ibu. Ibu yang mengalami mom shamingakan semakin merasa tidak berdaya karena rasa malunya menghadapi komentarkomentar online di media sosial, papar Clara Moningka, ahli psikologi, saat penulis wawancarai. Pasalnya, komentar mom shaming menurunkan harga diri karena kredibilitas mereka sebagai seorang ibu terasa dipertanyakan.

Secara umum, seharusnya mom shaming di media sosial tidak pantas dilakukan oleh sesama ibu. Sebab menurut Clara, media sosial hanya menyajikan informasi parsial melalui teks atau foto yang dibagikan. Kenyataan di balik teks atau gambar tidak menjadi konsumsi bagi khalayak umum, sehingga penghakiman justru membuat ibu merasa stress.

Sering kali pembandingan atau komentarkomentar lain dalam lingkup mom shaming menihilkan fitrah bahwa anak adalah pribadi yang unik. Mereka tidak bisa disamakan dalam pengasuhannya. Perbedaan tingkah laku anak inilah yang turut memengaruhi keputusan ibu untuk membuat pola asuh yang sesuai hingga merasa ingin untuk membaginya ke akun media sosialnya.

Intinya, untuk dapat menjadi ibu yang baik, kita tidak perlu menjatuhkan ibu lain dengan katakata yang terkesan kasar, menjatuhkan, dan negatif. Kasus mom shaming ini dilalui oleh banyak ibu, termasuk public figuredari dalam maupun luar negeri. Mom shaming sangat rentan dilakukan dan mengakibatkan jatuhnya mental korban. Berkomentar pedas di media sosial pun sudah ada undangundangnya, lho. Jadi moms, hatihati, ya, dengan perkataannya karena bisa jadi apa ang kalian katakan adalah bagian dari mom shaming!