"Bulan Juni tiba, bulannya Sapardi, yang menyematkan ketabahan lewat hujan dan puisi. Tidak ada yang lebih tabah daripada Sapardi, yang bukunya dibajak berkali-kali.

Tidak ada yang lebih tabah daripada otak ini, yang lebih banyak diisi sampah media sosial, bukan bacaan bergizi."

Curhatan kurator cerpen Kompas, Hilmi Faiq di laman Instagramnya itu menjadi sambutan hangat untuk hadirnya bulan Juni 2021 ini. Masih di suasana pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, juga masih akrab dengan ketar-ketir kondisi ekonomi nasional yang pasang-surut.

Bulan Juni memang identik dengan Sapardi, berkat salah satu judul kumpulan puisinya Hujan Bulan Juni. Puisi yang teramat akrab bahkan bagi golongan milenial, melintas usia. Padahal Pak Sapardi lahir pada tahun 1940, tepatnya tanggal 20 Maret. Meski telah berpulang 19 Juli 2020 lalu, karya-karyanya masih melekat di ingatan.

Riwayat Pak Sapardi.

Siapa yang tak mengenal nama Sapardi Djoko Damono? Atau yang lazim dipanggil dengan singkatan SDD. Pria yang lahir sebagai putra sulung dari pasangan Sadyoko dan Saparian di Desa Ngadijayan, Solo, Jawa Tengah.Darah seni Sapardi mengalir dari sang kakek, seorang abdi dalem sekaligus dalang dan penatah wayang di Keraton Surakarta.

Menyambut Juni, bulan 'milik' Sapardi

Riwayat pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Kraton Kasatriyan. Semenjak belia, Sapardi gemar membaca, ia kerap menyambangi persewaan buku di kotanya. Dari buku-buku inilah ia mulai berkenalan dengan sastra, mengakrabi karya-karya sastra William Saroyan, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sutomo Djauhar Arifin, sampai Mochtar Lubis.

Sapardi masuk sekolah menengah di SMP Negeri 2 Surakarta kemudian SMA Negeri 2 Surakarta (lulus 1958). Di masa SMA tahun 1955-an ini, ia mulai menulis sajak yang dimuat di beberapa surat kabar. Minat menulisnya semakin terasah kala masuk di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada.

Setelah lulus dari UGM tahun 1964, Sapardi mempersunting adik kelasnya, Wardiningsih. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Sapardi mulai bekerja sebagai dosen di IKIP Malang Cabang Madiun dari tahun 1964 sampai 1968. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi di Solo, lalu pindah ke Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang sekitar tahun 1969-1973. Pada 1973, ia pindah ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak 1974 itulah, ia mengajar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Selama berkarier di UI, ia sempat menjabat Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, tahun 1979-1982, kemudian menjadi Pembantu Dekan I pada 1982-1996 dan akhirnya menjabat sebagai Dekan pada 1996-1999.

Pada tahun 1970-1971, Sapardi mengambil program non-gelar dan belajar ilmu dasar humaniora di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1989, Sapardi memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra melalui disertasinya berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.Pada tahun 1995 ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, hingga pensiun tahun 2005.

Mengenang karya SDD.

Sapardi Djoko Damono alias SDD dikenal lewat karya-karyanya yang memotret hal-hal sederhana tapi penuh dengan makna kehidupan. Proses perenungan dan reflektif dalam penyusunan karya-karyanya membuat SDD popular di Tanah Air, baik di kalangan sastrawan maupun masyarakat umum.

Karya-karya SDD mendapat beragam apresiasi, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Salah satunya, anugerah SEA Write Award pada 1986. SDD juga mendapat penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) pada 2018 lalu, untuk bukunya yang berjudul Hujan Bulan Junidan Yang Fana Adalah Waktu. Selain itu, ia juga pernah menerima penghargaan Achmad Bakrie pada 2003.

Puisi-puisinya seperti Hujan Bulan Juni, Hatiku Selembar Daun, Aku Ingin, dan Pada Suatu Hari Nantimenjadi magnum opus yang tak lekang zaman. Sublimasi dari pencarian ilmu dan perjalanan hidupnya menjadi bekal untuk berbagi pengetahuan dengan masyarakat luas.

Sapardi mengabdikan dirinya pada dunia sastra dengan menjadi dosen, guru besar, serta mentor bagi siapa saja yang mau belajar. SDD juga terus aktif menulis esai, artikel, kritik sastra, serta menerjemahkan beberapa karya sastra asing di usia senjanya.

Salah satu karya popular SDD yang akrab bagi penikmat karya-karyanya adalah puisi berjudul Aku Inginyang konon dibuat hanya dalam waktu 15 menit dan ditulis sekali jadi.

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono)

Pada ulang tahunnya yang ke-80, Sapardi merayakannya dengan meluncurkan buku berisi 80 sajak. Buku itu diberinya judul mBoel, sebutan sayang bagi sang istri, Wardinigsih, yang puluhan tahun setia menemaninya.

Sayangnya, maestro bulan Juni ini harus berpulang pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh. Meski kini Sapardi telah tiada, sejatinya ia akan terus hidup. Karena yang fana adalah waktu, karya-karyanya abadi.

Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?

tanyamu.

Kita abadi.

(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, 1982)