Tingkah laku menolong di kehidupan masyarakat sudah mulai luntur, terutama di lingkungan perkotaan. Lingkungan kota besar yang mempunyai tingkat kesibukan yang tinggi dapat memengaruhi tingkah laku menolong. Menurut Milgram (dalam Mashoedi, 2009), stimulus yang terlalu banyak dan cepat di perkotaan menyebabkan penduduknya melakukan mekanisme adaptasi. Mereka melakukan seleksi dan menetapkan prioritas terhadap rangsangan yang diterima. Hal tersebut menyebabkan orang menjadi kurang tanggap terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan dirinya (Mashoedi, 2009).

Tingkah laku menolong adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan (Mashoedi, 2009). Tingkah laku menolong tidak timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti situasi, empati, suasana hati, jenis kelamin, dan sifat seseorang (Mashoedi, 2009). Berkenaan dengan itu, saat situasi di tempat kejadian dipenuhi oleh banyak orang, tingkah laku individu cenderung akan lebih kecil. Hal ini didukung oleh teori bystander effect yang menyatakan bahwa kemungkinan seseorang untuk menolong akan lebih kecil ketika orang tersebut bersama dengan orang lain. Semakin banyak jumlah orangnya, semakin kecil kemungkinan untuk menolong (Hogg dan Vaughan, 2008).

Bystander effect pun terlihat seperti pada suatu kasus di mana terdapat seorang wanita tengah baya mengalami kerusakan mobil pada jam sibuk di suatu pagi, kemudian ia harus mendorong mobilnya ke sisi jalan, meskipun banyak orang yang lewat, tidak satu pun yang berhenti untuk bertanya apakah wanita tengah baya itu membutuhkan pertolongan (Cotterell dalam Kurnianingsih, 2014).

Berikut ini faktor yang memengaruhi orang dalam memberikan pertolongan.

1. Faktor situasi dan faktor individu.

Faktor situasi dan faktor individu merupakan faktor yang memengaruhi kapan orang memberikan pertolongan. Pada faktor situasi, terdapat enam faktor, yaitu bystander effect, daya tarik, atribusi terhadap korban, ada model, desakan waktu, dan sifat kebutuhan korban. Bystander adalah orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian yang memengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong atau tidak. Bystander effect menyatakan bahwa kemungkinan seseorang untuk menolong akan lebih kecil ketika orang tersebut bersama dengan orang lain. Semakin banyak jumlah orangnya, semakin kecil kemungkinan untuk menolong (Hogg dan Vaughan, 2008).

2. Daya tarik.

Faktor kedua adalah faktor daya tarik, di mana seseorang akan cenderung menolong orang yang memiliki beberapa kemiripan dengan dirinya (Krebs dalam Mashoedi, 2009). Oleh karena itu, pada umumnya orang akan menolong anggota kelompoknya terlebih dahulu (ingroup), baru kemudian menolong orang lain. Clark dkk. (dalam Mashoedi, 2009) menyatakan bahwa faktor apapun yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon untuk menolong.

3. Atribusi terhadap korban.

Faktor ketiga adalah atribusi terhadap korban yang menjelaskan bahwa seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban (Weiner dalam Mashoedi, 2009). Oleh karena itu, seseorang akan lebih bersedia memberikan sumbangan kepada pengemis yang cacat dan tua dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. Dengan demikian, pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri (atribusi internal).

4. Model.

Faktor keempat adalah ada model, di mana faktor ini menjelaskan bahwa tingkah laku menolong dapat muncul karena adanya model yang melakukan tingkah laku menolong, sehingga dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan kepada orang lain (Mashoedi, 2009).

5. Desakan waktu.

Faktor selanjutnya adalah desakan waktu. Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar akan lebih memungkinkan untuk memberikan pertolongan (Sarwono dalam Mashoedi, 2009).

6. Sifat kebutuhan korban.

Faktor terakhir adalah sifat kebutuhan korban yang merupakan kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan bantuan yang diperlukan (legitimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan orang lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane, dan Wrightsman dalam Mashoedi, 2009).

Jika melihat perilaku menolong dari sisi individu, pada faktor individual terdapat lima faktor yang memengaruhi kapan orang memberikan pertolongan.

1. Mood.

Faktor pertama adalah suasana hati (mood). Ketika mood seseorang sedang dalam keadaan baik, mereka tidak akan berfokus pada diri sendiri, melainkan akan lebih sensitif terhadap kebutuhan dan masalah orang lain. Sebaliknya ketika mood seseorang dalam keadaan yang tidak baik, mereka akan fokus pada dirinya sendiri dan kurang memedulikan orang lain (Hogg dan Vaughan, 2008).

2. Sifat.

Faktor kedua adalah sifat, orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan mudah menolong. Orang yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung lebih penolong karena dengan menjadi penolong, ia akan memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White dan Gerstein dalam Mashoedi, 2009).

3. Jenis kelamin.

Faktor ketiga adalah jenis kelamin. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sedangkan perempuan lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh (Mashoedi, 2009).

Meskipun terlihat sebagai stereotip yang merendahkan perempuan, penelitian telah secara konsisten menunjukan bahwa laki-laki cenderung lebih memberikan pertolongan pada perempuan (Rohmah, 2014). Jika laki-laki lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan cenderung lebih ditolong. Akan tetapi, jika perempuan lebih potensial menjadi penolong, maka korban perempuan dan laki-laki mempunyai peluang yang sama untuk ditolong (Myers dalam Rohmah, 2014).

Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dalam bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap perilaku menolong yang aktual, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Sekalipun tidak ditemukan perbedaan, maka kecenderungan yang lebih besar akan mengarah pada pria bukan wanita (Pivilain dan Unger dalam Rohmah, 2014).

4. Tempat tinggal.

Faktor selanjutnya adalah tempat tinggal. Orang yang berasal dari kota yang kecil perilaku menolongnya lebih besar daripada orang yang tinggal di kota besar. Hal ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang yang tinggal di perkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari lingkungan (Deaux dkk., dalam Mashoedi, 2009).

5. Pola asuh.

Pola asuh yang bersifat demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau menolong (Bern dalam Mashoedi, 2009). Pola asuh orang tua yang demokratis juga turut mendukung tebentuknya internal locus of control (Mashoedi, 2009), yang merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik (Baron, Byrne, dan Branscombe dalam Mashoedi, 2009), yaitu orang yang suka menolong memiliki locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka menolong. Penelitian ini berfokus pada tingkah laku menolong menurut Hogg dan Vaughan, yaitu tingkah laku menolong merupakan bagian dari perilaku prososial, di mana tingkah laku menolong merupakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi seseorang.

Dengan demikian kita telah mengetahui faktor apa saja yang memengaruhi orang untuk memberikan pertolongan, baik itu secara umum maupun dilihat dari sisi individual. Maka kita tak perlu heran apabila terdapat orang-orang yang tidak mau menolong meski di berada di tempat ramai karena terdapat alasan-alasan seperti yang telah diungkapkan di atas. Kemudian selanjutnya, janganlah berdiam diri dan mari kita menolong orang lain!