Abdul Muthalib beliau bernama asli Syaibah bin Hsyim (lahir 497578), wafat dalam usia 80 tahun saat Rasulullah berusia 8 tahun. Ia merupakan putra dari Hasyim bin Abdi Manaf.

Hasyim bin Abdil Manaf, sang ayah merupakan tokoh Quraisy berpengaruh dan memegang tugas menyediakan minuman dan bantuan yang diperlukan kepada jamaah haji. Orang-orang Quraisy menyebutnya Al-Faidh karena kemurahan hatinya. Sedangkan Ibundanya bernama Salma, adalah seorang perempuan yang mulia dari bani Addi bin Najjar, yakni Salma binti Amr.

Hasyim wafat dalam sebuah perjalanan di Syam. Ia dimakamkan di Gaza. Setelah ayahnya meninggal, Syaibah hidup di bawah penjagaan dan pemeliharaan ibu dan paman-pamanya. Di Madinah Syaibah tumbuh menjadi remaja yang masyur namanya. Di kota itu ia mendapat panggilan mulia, yaitu Al Faiz yang artinya "sang dermawan" karena kemurahan hatinya.

Sementara di Kota Mekah, setelah wafatnya Hasyim, kedudukan sebagai pemimpin kota tersebut beralih ke tangan Muthalib yang tidak lain adalah adiknya. Satu ketika, Muthalib teringat dengan kemenakannya yang berada di Madinah, dan bermaksud mengunjunginya untuk mengetahui keberadaannya.

Setelah menemui kemenakannya, akhirnya Muthalib memutuskan untuk memboyong kemenakannya kembali ke Makkah dan merawatnya. Semula Salma menolak permintaan Al-Muthalib. Setelah mengetahui bahwa Syaibah akan meneruskan kedudukan ayahnya Hasyim di Kota Mekah akhirnya ia menyetujuinya.

Begitu memasuki Kota Makkah dengan Syaibah, orang-orang Makkah yang tidak mengenal Syaibah menyangka bahwa yang datang bersama Muthalib itu adalah budaknya. Sehingga mereka memanggilnya dengan Abdul Muthalib. Nama itu ternyata terus melekat pada dirinya, dan nama Syaibah pun sejak itu hilang begitu saja. Selain Abdul Muthalib beliau juga kerap dipanggil dengan Abu Harist, atau ayah Harist, putra pertamanya.

Sedangkan nasabnya, Abdul Muthalib (Shaiba) bin Hashim (Amr) bin Abdul Manaf (Al-Mughira) bin Qushay (Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka `b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fahr (Quraisy) bin Malik bin An-Nadr (Qais) bin Kinana bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma `ad bin Adnan.

Kejadian penting pada masanya.

Berdasarkan catatan sejarah, baik dalam periwayatan Islam maupun kesaksian warga setempat, peristiwa penyerangan ke Kota Mekah oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah ashab al-Fil (Pasukan Bergajah) yang hendak menghancurkan Kakbah terjadi pada masa Abdul Mutthalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah.

Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Mutthalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah mengatakan, "Aku pikir kamu datang berdialog untuk mencegah niatku menghancurkan Kakbah."

Abdul Mutthalib, "Saya adalah penanggung jawab dan penjaga dari unta-unta yang dirampas oleh tentara Anda. Sementara Ka'bah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya."

Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke Kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk Kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan. Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Kabah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.

Penggalian sumur zam-zam.

Menurut catatan sejarah Kota Mekah, sebelum Mekah di bawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang Rasulullah SAW), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah. Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut.

Saat Umar bin Harits menjadi kepala kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam Kakbah, Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke sumur zam-zam kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan.

Beberapa tahun setelahnya saat Mekah di bawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur zam-zam dan melakukan penggalian atasnya. Beruntung, lokasi sumur zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian, Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi di dalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Ka'bah, termasuk renovasi sumur zam-zam sehingga akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk Kota Mekah.

Janji Abdul Muthalib.

Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur zam-zam, ia mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya, untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka ia akan mengurbankan salah satu dari kesepuluh anaknya tersebut di jalan Allah SWT di sisi Kakbah. Proses penggalian sumur Zam-zampun mendapat kemudahan dari Allah swt dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula.

Beberapa tahun kemudian, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Ia mengundi nama kesepuluh anaknya dan anak yang bernama Abdullah yang keluar namanya. Namun keputusan terakhir adalah mengorbankan seratus unta untuk menggantikan posisi Abdullah.

Iman Abdul Muthalib.

Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama yang hanif dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya. Salah seorang sejarawan abad ketiga Hijriyah, Mas'udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus).

Syaikh Shaduq yang menukilkan riwayat dari Imam Shadiq AS menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad SAW pernah berkata kepada Imam Ali as: Abdul Muthalib tidak pernah sekalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, "Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim AS."

Wafatnya.

Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia di saat Nabi Muhammad SAW berusia 8 tahun. Sejarawan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Mutthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun, dan 140 tahun.

Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Mutthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, "Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal."

Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Mutthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, "Muhammad mendatangi jenazah Abdul Mutthalib dan kemudian menangis." Jenazah Abdul Mutthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushai bin Kilab.

Istrinya bernama Fatimah binti Amr, nama lengkapnya adalah Fatimah binti Amr bin `A'idh bin Imran bin Makhzum, ia berasal dari Bani Makhzum. Ia meninggal pada tahun 576. Dari istrinya tersebut Abdul Mutthalib memiliki 10 orang putra yang bernama: Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, Hamzah, Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, Abu Lahab (nama lainnya Abdul 'Azi) dan Ghaidaq.

Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim. Di antara paman Rasulullah hanya Abu Thalib, Hamzah dan Abbas yang menerima dakwah Rasulullah SAW dan memeluk agama Islam, begitu pun dari kalangan bibinya, hanya Shafiah dan Urwa.