Bagi pengguna tol di ruas Jakarta, pasti sudah mulai terbiasa dengan pembayaran non-tunai atau biasa kita sebut sebagai Gerbang Tol Otomatis (GTO). Hal ini menguntungkan banyak pihak, terutama pengendara yang tidak perlu repot-repot mengantre transaksi. Prosestapand ridemeningkatkan efisiensi pengguna jalan tol.

Penggunaan transaksi non-tunai di ruas tol Jakarta, juga sejalan dengan rencana pemerintah untuk merancangkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Rencana yang dimaksudkan untuk mengalihkan penggunaan uang tunai dalam segala bentuk transaksi menjadi uang elektronik. Isu pengalihan tersebut sebenarnya sudah menjadi wacana di tahun 2007. Namun, baru terealisasi belakangan ini saja dan pengguna jalan tol paling pertama merasakan "pemaksaan" penggunaan uang elektronik ini.

Semenjak 31 Oktober 2017, secara efektif pemerintah telah menetapkan penggunaanelectronic money/E-Tolluntuk memanfaatkan Gerbang Tol Otomatis.Ketentuan ini diatur lewat Peraturan Menteri PUPR Nomor 16/PRT/M/2017. Peraturan Menteri ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada pengguna tol sehingga transaksi tol menjadi lebih aman dan nyaman.

Dari survei yang telah dilakukan olehcermati.com, bahwa pengguna uang elektronik sebesar 59,5% dari 13.395 pengguna yang merupakan responden, digunakan untuk transaksi di tol.

Kenapa bayar tol harus non-tunai? Ini lho tujuannya

Pada awalnya banyak sekali yang protes, atau merasa keberatan dengan kebijakan ini. Bahkan, ada yang sampai mengkait-kaitkan dengan pembayaran mata uang rupiah sebagai mata uang yang sah. Seperti yang dilansir oleh kompas (23/10), Serikat Pekerja Indonesia merasa keberatan dengan akses elektronik yang diimplementasikan di jalan tol. Sebab, serikat pekerja menganggap penerapan transaksi non-tunai pada gerbang tol akan berdampak pada tersisihnya petugas gardu tol, karena akan digantikan oleh mesin card reader untuk transaksi non-tunai dengan uang elektronik.

Secara fungsional, kebijakan penggunaan uang elektronik memang kontras dengan pengemban hak pekerja, yang cepat atau lambat akan terdegradasi akibat pengalihan teknologi tersebut. Tapi, disrupsi seperti ini mau tidak mau akan selalu terjadi. Teknologi akan menyelimuti seluruh aktifitas manusia dan hal tersebut selalu dikaitkan dengan efektifitas serta efisiensi.

Pihak Jasa Marga sudah menargetkan gelombang oposisi yang sengaja menentang kebijakan ini, dengan melakukan penawaran alih profesi pada operator di gardu tol. Hal ini juga terbukti tepat, karena pemutusan hubungan kerja (PHK) belum terjadi di pihak Jasa Marga. Namun, apakah akan selamanya? Mengingat semakin tingginya upah minimum, sedangkan terdapat alternatif untuk memangkas biaya tersebut.

Dari sisi pengguna, kebijakan pembayaran tol lewat uang elektronik terasa telat. Sosialisasi yang digencarkan pemerintah dan pengelola jalan tol sebenarnya dinilai sudah tepat, namun tetap saja ada yang mengelak belum tahu. Banyak yang masih tidak menyediakan uang elektronik di sakunya (dompet). Beberapa gardu tol juga masih belum terintegrasi dengan beberapa bank besar yang menyediakan produk kartu uang elektronik. Sehingga, sebagian pengguna harus mengisi ulangkartu(top up)dari ATM bank yang tersedia. Atau bisa juga lewat gerai minimarket yang bekerja sama dengan bank responden, namun dengan konsekuensifee(charge) tertentu.

Penggunaan uang elektronik untuk melakukan transaksi di gardu tol juga dinilai kurang mumpuni. Masyarakat seharusnya tidak perlu mendapat solusi demikian, karena yang dibutuhkan pengguna tol adalah kenyamanan berkendara lancar, tidak macet. Kenyataannya, transformasi pembayaran ini tidak solutif untuk mencegah kemacetan. Tidak terlalu signifikan. Beberapa ruas tol tetap saja dilanda kemacetan, walaupun sudah ada langkah yang lebih efisien dalam pembayaran di gardu tol.

Belum lagi dengan cerita tentang kartu uang elektronik yang mendadakerrortidak bisa digunakan. Alhasil, harus menepi dahulu dan bertukar posisi dengan pengendara di belakangnya. Atau harus bergaduh dengan petugastol yang datang menghampiri jika terjadi kesalahan teknis gardu tol. Merepotkan sekali, bukan?

Masih dari sudut pengguna, potensi uang yang mengendap di uang elektronik tol cukup besar dan sangat menguntungkan pihak produsen. Bayangkan saja, apabila pengguna uang elektronik tol di Jakarta saja terdapat 1 juta pengguna pada penyedia jasa yang sama, dan diasumsikan terdapat uang mengendap di saldo masing-masing pengguna sebesar Rp 1.000, maka akan ada keuntungan potensial sebesar 1 miliar bagi produsen kartu uang elektronik tersebut. Belum lagi,top updi retail-retail tertentu yang tadi sudah disinggung, harus adafeetambahan yang merugikan nasabah.

Disamping itu, penggunaan uang elektronik di tol juga menguntungkan bagi Bank Sentral, karena dapat mengurangi biaya cetak uang. Khususnya pada mata uang pecahan kecil, antara biaya uang produksi dengan nilai uang yang dicetak, lebih besar biaya produksinya.

Paparan permasalahan tersebut terlihat seperti subtansi bisnis pengelola jalan tol dan beberapa pihak yang terkait di dalamnya, yang memang menjadi keuntungan potensial tersendiri. Seperti yang sudah diusulkan olehYayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa seharusnya pemerintah dan para pihak bersangkutan untuk memberikan kompensasi tarif bagi pengguna tarif non-tunai atau kartu elektronik (E-toll). Karena kebijakan / program ini lebih menyudutkan kepentingan pemerintah, bukan solusi yang dibutuhkan masyarakat untuk saat ini. Kompensasi tarif tersebut dapat berupa insentif diskon bagi pengguna. Gagasan ini pernah diberlakukan ketika lebaran 2017, bagi pemudik yang menggunakan E-Toll mendapatkan diskon 25%, dan hal ini bisa dijadikan preseden bagi pemerintah.

Kementrian PUPR dan pengelola jalan tol mengisyaratkan bahwa E-Toll merupakan instrumen penggagas dalam peningkatan pelayanan, akan tetapi E-Toll dirasa lebih menguntungkan pengelola jalan tol daripada menguntungkan konsumennya. Jadi dengan sejumlah argumentasi dan gambaran diatas, wajar jika pengguna E-Toll seharusnya mendapatkan insentif.