Kok bisa ya, padahal waktunya sama 24 jam?Apakah dia punya komunitas?Apakah dia memakan buku 1-2 buku per hari?Apakah dia terus mengabdi?Apakah dia terus bertukar pikiran? Jawbannya pasti iya.

Sempat hadir dalam lintasan pikiran saya, pernahkah kalian merasa kagum pada seseorang?Misal kagum pada ilmunya, kepribadiannya, kebaikannya, atau kagum karena dia sering memberi traktrian?Pasti jawabannya pernah. Bukankah begitu?

Sering sekali kita merasa kagum pada seseorang tidak hanya satu dua orang, bahkan lebih banyak orang yang kita kagumi. Belum lagi pesatnya teknologi membantu untuk mengetahui siapa saja yang kiranya bisa menarik kekaguman dalam diri kita dan mudah sekali untuk mengetahui siapa saja sosok yang menjadi inspirator terutama dalam kehidupan kita.

Kita tilik dulu dari definisi kagum. Karena kita orang Indonesia jadi saya ambil definisi dari KBBI, bukan dari Oxford, Merriam-Webster, Longman, Macmillan atau Urban atau sejenis kamus lainnya. Dari artinya, kagum didefinisikan dengan sifat heran, takjub, tercengang. Kalau bisa dicontohkan saya akan mencoba mencontohkan misalnya, saya takjub dengan bangunan-bangunan di sekitar Kota Karawang, kagum melihat atraksi sulap atau sirkus, kagum mendengar suara lantunan ayat suci Al-Quran.

Dilihat dari contoh-contohnya, kagum itu semacam perasaan yang sepintas tapi bisa diprediksi itu akan tetap berlangsung sangat lama asalkan si orang yang membuat kita kagum itu tidak memberikan cacat kepada kita sebagai si pengagum.

Banyak orang mungkin yang bisa membuat kita kagum, misalnya kita kagum dengan sosok ustaz Salim A Fillah karena dia sangat pro sekali menjelaskan tentang sejarah, peradaban atau sastra atau apapun yang berkaitan dengan keislaman.

Atau kagum dengan sosok Pramoedya Anata Toer yang menerbitkan buku yang diterjemahkan dalam puluhan bahasa dan sebagai buku induk acuan untuk kalangan penyuka sastra. Pun kagum dengan Garyvee yang bisa menjawab solusi masalah dari orang-orang/pengagumnya dengan jawaban seperti air mengalir dengan tuntas, seolah mengatasi masalah tanpa masalah. Bisa jugakagum dengan sosok Maudy Ayunda yang diterima dua universitas ternama dunia sekaligus.

Kekaguman pada seseorang biasanya didasarkan karena adanya satu tujuan, satu kesukaan, dan satu karakter dengan kita. Tidak sembarangan orang yang kagum tanpa adanya landasan. Dengan cara berpikir yang sama setidaknya ada pengaruh yang ditanam oleh seseorang yang dikagumi kepada yang mengagumi. Kekaguman pada seseorang juga menjadi standar hidup kita atau kualitas diri kita terhadap apa yang kita kagumi, bagaimanakah sebenarnya diri kita ini.

Misalkan ada dua orang yang kagum terhadap sosok Mark Zuckerberg. Satu orang yang kagum terhadap Mark adalah kagum pada sosoknya yang kreatif, bekerja keras, inovatif dan hal pribadi dalam diri Mark sendiri. Tapi satu orang lagi yang kagum adalah pada kekayaan, kemewahan, mobil, rumah, aset berharga lain yang dimiliki oleh seorang Mark. Dari situ kita dapat menilai kedua orang tesebut, bahwa objek kekagumanlah yang pada dasarnya sama dengan pribadi kita sebagai pengagum. Orang pertama yang kagum terhadap Mark bisa jadi konklusi bahwa dia ingin self-improvement terjadi padanya seperti halnya Mark, tetapi orang kedua menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang materialis.

Seharusnya kita itu mengagumi seseorang bukan karena output yang mereka capai. Tetapi seluruh rangkaian aktivitas terbaik mereka yang dilakukan dan yang sering dihadapinya. Pasti sudah tahu kisahnya Maudy Ayunda yang diterima di dua universitas ternama sekaligus kan? Banyak warganet yang kagum atas pencapaian yang sangat memuaskan itu. Tetapi tahukah di balik itu semua kekaguman yang seharusnya diapresiasi lebih dari hanya sekadar diterima di universitas ternama di dunia. Proseslah yang seharusnya dilihat kembali dan dikagumi oleh kita. Bagaimana persiapan, membuat CV, resume, dan perangkat-perangkat lainnya. Dan juga ingatkah ketika ayah Maudy Ayunda ke Singapore hanya untuk membeli buku saja ketika dia masih kecil?

Kekaguman yang didasarkan pada hasilnya sajalah yang akan membuat kita tidak bekerja dengan baik. Bakal berakibat kekaguman yang sepintas layaknya kecepatan cahaya sekitar 186.000 mil per detik. Tidak ada bekasnya sama sekali.

Maka ketika kita kagum pada seorang yang dilihat dari apa yang ada dalam dirinya, artinya kekaguman itu tidak melulu soal seorang yang derajatnya lebih tinggi dari kita. Kita pun akan merasa kagum dengan seorang yang sudah tua tetapi sama sekali tidak mengemis. Kita akan mengagumi seorang ibu yang bekerja keras untuk sekolah anak-anaknya. Kita akan mengagumi semua sifat yang sepenuhnya dalam diri kita belum sepenuhnya bekerja dengan maksimal.

Rasa kagum inilah yang akan memacu kita untuk membagikan dan menularkan apapun yang kita terima dan ambil dari seorang yang kita kagumi. Orang-orang yang mampu memengaruhi orang lain, akan lebih cepat menularkannya jika orang lain itu satu visi dan ada kesamaan lain. Jangan kaget jika kita mengagumi seseorang yang sudah lama sekali tapi terkubur oleh kekaguman orang lain yang derajatnya lebih tinggi dari orang sebelumnya. Karena pada dasarnya manusia akan mencari yang lebih bernilai dan berharga dari apa yang dia lakukan sebelumnya. Kekaguman itu sifatnya endless bagi saya, maka carilah teladan yang tepat untuk kita kagumi dan kita ikut menirunya.