Pandemi Covid-19 merupakan musibah yang memilukan seluruh penduduk Bumi. Covid-19 yang telah dinyatakan sebagai pandemi dalam waktu satu tahun terakhir ini tidak kunjung menampakkan berhentinya penambahan kasus kematian atau berhentinya penyebaran setiap hari. Akibatnya, banyak sektor yang terdampak seperti sektor ekonomi, pendidikan, dan juga pekerjaan. Dalam sektor pekerjaan, tak sedikit pekerja yang dirumahkan. Dirumahkan akibat Pemutusan Hubungan Kerja(PHK)ataupun bekerja dari rumah.

Respon pemerintah melalui Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi Dan Energi Provinsi Dki Jakarta Nomor 14/Se/2020 Tahun 2020 mengenai imbauan bekerja di rumah atau disebut work from home (Oktavira, 2020). Kebijakan tersebut tentu memberi perubahan pada pekerja karyawan yang kini melaksanakan work from home (WFH), baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan.

Perubahan apa saja yang terjadi?

Bagi pekerja laki-laki yang juga berstatus sebagai ayah, tak sedikit yang mengalamiwork from home (WFH) tanpa tanpa menerima gaji atau unpaid leave. Unpaid leave yaitu kewajiban serta hak pekerja dibatalkan sementara, tidak diberikan tugas serta pekerjaan, tak mendapat upah, tetapi pekerja tersebut tidak dipecat (Hikam, 2020). Hal tersebut tentu berdampak pada ekonomi keluarga yang menurun. Dalam norma gender yang kaku, tak sedikit membuat para pekerja laki-laki mengalami stres karena pada pemikirannya seorang laki-laki adalah seorang pencari nafkah, pekerja keras, kuat, dan lain-lain.

Perubahan akibat pandemi ini juga dirasakaan oleh pekerja perempuan. Pekerja perempuan yang juga seorang ibu, kerap merasakan peran ganda. Hal yang biasa dilakukan bekerja ke kantor, lalu saat pulang ke rumah baru menyelesaikan pekerjaan rumah dengan jeda yang cukup untuk beristirahat, kini tak ada jeda lagi antara bekerja dan mengurus pekerjaan rumah. Beban ganda tersebut tentunya membuat semakin berat terutama pada peningkatan beban pengasuhan dan perawatan (unpaid care works) yang perempuan lakukan bagi seluruh anggota keluarga. (Fatimah et al., 2020).

Lantas, apa yang menjadi masalah?

Salah satu masalah terjadi di Mumbai India, dan dialami oleh Subarna Ghosh, penulis petisi "Apakah di gagang sapu tertulis: 'hanya untuk dioperasikan oleh perempuan?'" yang ia terbitkan di change.org (BBC Indonesia, 2020). Subarna merasa lelah karena harus melakukan semua pekerjaan domestik sendirian, sementara sang suami yang bekerja di bank bukan tipe laki-laki yang membantu pekerjaan domestik. Mulanya, Subarna menjalankan kegiatan amal yang masih berjalan pada awal karantina tetapi hal tersebut membuat piring kotor dan pakaian menumpuk semakin tinggi, sementara suami dan anak laki-lakinya yang masih remaja tidak membantu meringankannya. Hal tersebut kerap juga terjadi pada negara dengan budaya patriarki, di mana laki-laki tidak terlatih, tidak terbiasa dengan pekerjaan domestik yang "kerap" disimbolkan oleh perempuan saja yang melakukan pekerjaan tersebut.

Laki-laki juga mengerjakan pekerjaan domestik. Yuk, intip Suku Korowai.

Budaya patriarki masih ada dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia yang dapat terlihat dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih timpang dengan posisi laki-laki masih di atas dan perempuan berada di bawah laki-laki. Namun, hal berbeda terlihat di Pedalaman Papua, Indonesia yaitu Suku Korowai.

Suku Korowai tinggal di Kabupaten Mappi, di pedalaman Papua (Kustiani, 2020). Suku unik yang tinggal di rumah-rumah pohon yang tinggi ini memiliki keunikan lain yang dapat menjadi salah satu contoh dalam kebersamaan berkeluarga dan membagi peran tanpa harus membebankan salah satu gender yang ada dalam keluarga.

Rhidian Yasminta Wasaraka meneliti serta mengobservasi langsung masyarakat Korowai mengenai peran perempuan dalam Suku Korowai selama 15 tahun dan mendapatkan hasil bahwa urusan domestik keluarga merupakan kewajiban bersama dan tidak pilih-pilih siapa yang harus menjalaninya. Meskipun masih menganut sistem kekerabatan patriarki, masyarakat Suku Korowai sangat menghargai ibu, terutama ibu mertua dari garis perempuan seperti tata krama dan sopan santun yang dikedepankan untuk tidak boleh anak menantu laki-laki menatap wajah mertua perempuannya (Saputro, 2019). Masyarakat Suku Korowai ini sangat menjunjung tinggi kesetaraan, yang terlihat dalam sistem kepemimpinan yang tidak mengenal raja, kepala suku, maupun tentara perang. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Suku Korowai menganut kepercayaan jika manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih di atas ataupun di bawah, sehingga hidup bersama sama rasa dan sama rata.

Masyarakat Suku Korowai menganggap bahwa laki-laki dan perempuan sama kedudukannya yang tercermin dari tak ada rasa malunya laki-laki Suku Korowai menggendong, memandikan anaknya, dan saat perempuan Suku Korowai sudah terlihat lelah, para laki-laki akan langsung membantu membuat sagu (Saputro, 2019). Dalam kehidupan sehari-harinya pun, masyarakat Korowai tidak pernah membagi pekerjaan berdasarkan gender yang mereka miliki, melainkan semua dilakukan secara bersama-sama.

Nah, semoga hal tersebut dapat menjadi pengetahuan baru bagi kita, bahwa tidak masalah jika laki-laki melakukan pekerjaan domestik, membantu istri di rumah. Begitu pun sebaliknya, perempuan dapat membantu mencari nafkah sebagai sebuah bentuk bantuan untuk suami, apalagi ketika pandemi Covid-19 melanda yang mengharuskan semua keluarga berada di rumah untuk waktu yang lebih lama. Stay safe and healthy, yaa!