Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang di mana penduduknya dituntut untuk berpikiran maju dan mempunyai perkembangan yang pesat. Namun sebagai negara besar, Indonesia tak lepas dari banyak permasalahan. Salah satu masalah yang terjadi adalah pada remajanya. Dari sekian banyak permasalahan yang dialami oleh remaja, yang cukup mencolok di Indonesia adalah mengenai perkelahian antar pelajar atau tawuran pelajar.

Dalam Rahmania & Suminar (2012), data jumlah tawuran pelajar di Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Data dari Polda Metro Jaya mengenai jumlah kasus tawuran yang terjadi di wilayah Jakarta menyebutkan bahwa pada tahun 2010 kasus tawuran terjadi 128 kasus tawuran namun korban jiwa tidak diketahui, pada tahun 2011 kasus tawuran terjadi sebanyak 339 kali dan jumlah korban jiwa sebanyak 82 orang, sedangkan pada tahun 2012 tawuran terjadi sebanyak 141 kali dengan jumlah korban jiwa sebanyak 16 orang.

Seperti yang baru-baru ini terjadi pada 1 Februari 2019 lalu, tiga orang pelajar diamankan aparat Polres Magelang, Jawa Tengah karena diduga terlibat tawuran antar-pelajar hingga menyebabkan seorang korban tewas. Ketiganya adalah LR (18), I{(19), dan N (17). Mereka merupakan pelajar sebuah SMK swasta di Kota Magelang. Akibat aksi tersebut seorang pelajar atas nama Narsul Aziz (17), pelajar SMK swasta di Kabupaten Magelang, tewas akibat tikaman senjata tajam.

Tawuran antar pelajar itu dipicu karena saling ejek di media sosial. Puluhan pelajar dari kedua SMK itu kemudian berencana untuk saling serang, termasuk melibatkan para alumni mereka. Para pelajar itu bahkan telah menyiapkan senjata tajam masing-masing, seperti modifikasi gir sepeda motor, golok, celurit, hingga seng yang ditajamkan. Puluhan senjata tajam itu dan sepeda motor kini telah diamankan polisi sebagai barang bukti (Fitriana, 2019).

Tawuran adalah adalah perkelahian massal disertai kata-kata yang meredahkan dan perilaku yang ditujukan untuk melukai lawannya (Kurniawan & Rois, 2009). Perilaku-perilaku yang muncul saat tawuran diantaranya adalah memprovokasi lawan, memukul, melempar batu, mengeroyok lawan hingga menggunakan senjata tajam (Oesman dalam Rahmania & Suminar, 2012). Tawuran antar pelajar tersebut merupakan perilaku agresi yang termasuk dalam Dysfunctional Behavior. Seorang tokoh psikologi, Albert Bandura mengatakan bahwa perilaku agresi pada Dysfunctional Behavior memunculkan perilaku agresif.

Perilaku agresif bisa didapatkan melalui observasi dari orang lain, pengalaman langsung atau latihan (Feist & Feist, 2009). Terdapat juga beberapa faktor, seseorang akan terus-menerus melakukan agresi, di antaranya.

1. Menikmati proses menyakiti korban

2. Menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dari agresi yang dilakukan orang lain

3. Mereka pernah disakiti untuk tidak melakukan perilaku agresif

4. Mereka memenuhi standar personal dengan melakukan perilaku agresif

5. Mereka melihat orang lain menerima penghargaan atas tindakan agresif

Selain 5 faktor di atas, efek dari tayangan kekerasan di media massa juga menjadi sebab munculnya perilaku agresif pada remaja (Restu, Yusri & Ardi, 2013). Tak sedikit tayangan di media massa menayangkan tontonan berbau kekerasan yang dapat ditiru oleh remaja. Penelitian Arslan (2012) membuktikan bahwa peran media massa juga berpengaruh terhadap perilaku remaja, dan salah satunya adalah faktor ekspos berlebihan terhadap kekerasan di media. Jadi, bijaklah saat menonton konten di media massa dan bijaklah untuk meniru suatu perilaku. Jangan sampai memunculkan dysfunctional behavior, ya!