Mengubah kebiasaan masyarakat untuk meminimalisir sampah.

Less waste atau minim sampah menjadi salah satu value (nilai) yang dibawa oleh Risa dan Gram dalam menggelar Pasar Wiguna. Sebisa mungkin, sampah yang dihasilkan bisa diminimalisir jadi kecil, khususnya sampah plastik. Lantas, nilai ini kemudian diaktualisasikan ke seluruh komponen Pasar Wiguna, khususnya kerabat karya atau tenant yang meramaikan.

Tak tanggung-tanggung, Risa dan Gram menyeleksi dengan ketat para kerabat karya yang hendak bergabung bersama Pasar Wiguna. Dalam hal ini, Gram menjelaskan bahwa kurasi tersebut penting dilakukan demi menyeleksi para produk yang bisa berjalan sesuai dengan nilai Pasar Wiguna. Bahkan ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati demi melancarkan gelaran pasar yang minim sampah itu. Lantas lewat aturan tersebut, Gram juga berharap bahwa pesan atau nilai dari Pasar Wiguna bisa tersampaikan dengan baik.

“Mengkurasi dengan benar artisan yang ikut atau partisipator itu biasanya otomatis pesannya atau storytellingnya akan sampai ke audience (khalayak), gitu, tanpa kita harus susah-susah membangun narasi yang terlalu banyak. Justru keunikannya juga adalah masing-masing artisan ini punya cerita yang saya pikir kuat. Mereka paham dengan alasan kenapa akhirnya mereka memilih jalur less waste atau wellness gitu, ya,” kata Gram.

Liputan Pasar Wiguna © 2024 brilio.net

foto: brilio.net/annatiqo

Di sisi lain, pesan atau nilai yang keduanya bawa di Pasar Wiguna juga bukan semerta-merta hendak mengubah kebiasaan masyarakat saat ini. Hanya saja, mereka hendak mengajak masyarakat untuk kembali ke akar atau lebih tepatnya kebiasaan nenek moyang yang notabene cenderung berpijak pada bumi. Misalnya dengan menggunakan kemasan produk terbuat dari dedaunan, menjual makanan lokal ala Nusantara, atau menjual baju yang dibuat dengan proses lebih ramah lingkungan.

Bukan hal yang mudah untuk menyeleksi kerabat karya atau produk yang hendak masuk ke Pasar Wiguna. Risa mengaku setiap minggunya, dia dan Gram harus menyeleksi 30 dari 80-100 kerabat karya untuk digelar di Pasar Wiguna. Jumlah ini pun tetap memerhatikan porsi artisan, UMKM, dan produk makanan dari berbagai daerah.

“Jadi kalau komposisinya 50-30-20. Misalnya pas di Yogya, ya, berarti 50% Yogya, gitu. Nah, 30% nya itu regional terdekat kayak misalkan ada Klaten, Magelang, gitu. Terus ada Solo, ada Semarang. Ya itu regional terdekat. Terus ada lagi 20% itu yang di luar Jateng, seperti Jawa Barat atau Jawa Timur,” pungkas Gram lebih lanjut.

Nah, seleksi kerabat karya ini juga dibarengi dengan himbauan di media sosial Pasar Wiguna sendiri. Risa dan Gram turut membagikan nilai-nilai tadi melalui Instagram @pasariwguna, wajah Pasar Wiguna. Selain untuk memberikan pemahaman lebih kepada para kerabat karya yang hendak bergabung, hal tersebut juga berguna agar calon pengunjung turut paham dengan nilai yang dibawa Pasar Wiguna.

Liputan Pasar Wiguna © 2024 brilio.net

foto: brilio.net/annatiqo

Di awal berdiri, Risa bercerita bahwa para pengunjung yang datang lebih mengenal Pasar Wiguna sebagai healthy market (pasar sehat) yang memiliki area bersih serta minim sampah plastik. Namun seiring waktu, semakin beragam pengunjung yang datang dengan tujuan berbeda, salah satunya untuk tujuan wisata. Lantas nilai untuk lebih peduli akan sampah ini kemudian diaktualisasikan melalui kondisi atau lingkungan Pasar Wiguna yang lebih bersih dan kepedulian pengunjung terhadap kemasan dari barang yang dibeli.

Dalam hal ini, ada beberapa tenant yang memilih menggunakan wadah yang bisa dipakai ulang, seperti besek. Nah, dengan mengembalikan wadah tersebut ke pedagang atau tenant setelah digunakan tentu akan meminimalisir adanya sampah. Namun jika pedagang memilih menggunakan wadah kertas, kemasannya bisa langsung dibuang di tempat sampah. Di Pasar Wiguna sendiri, tempat sampah yang disediakan juga diberi keterangan organik dan anorganik supaya pengunjung lebih sadar dengan sampah yang mereka hasilkan.

“Kebiasaan-kebiasaan itu sih yang akhirnya kita bangun. Dan kecil sih sebenernya kan. Langkah yang kecil banget, belum sampai milah sampah tuh. Cuma kita tahu lokasi yang ada di Wiguna di taman itu tuh nggak ada sampah di pojok-pojok gitu. Jadi di situ senangnya, sih, akhirnya,” ujar Risa.

Liputan Pasar Wiguna © 2024 brilio.net

foto: brilio.net/annatiqo

Ruang yang nyaman untuk semua orang.

Pasar Wiguna pertama kali digelar pada 4 April 2021 lalu. Di tengah pembatasan sosial karena Covid-19, Pasar Wiguna hadir dengan prosedur yang cukup ketat. Para pengunjung dan pedagang yang datang juga terbatas dan jaga jarak. Namun hal ini menjadi salah satu angin segar bagi para artisan atau pedagang untuk menstabilkan kembali perekonomian sejak pandemi.

Pada dasarnya, pandemi juga membuat banyak agenda atau acara di public space (ruang terbuka) Yogyakarta jadi tiarap karena tidak beroperasi. Oleh sebab itu, Pasar Wiguna digelar sebagai salah satu upaya untuk kembali menghidupkan public space tersebut. Masyarakat yang jenuh di rumah mulai bisa refreshing atau sekadar terhibur dengan adanya Pasar Wiguna.

Hiburan ini datang karena Pasar Wiguna juga bukan hanya sekadar area bertemunya penjual dan pembeli. Namun, Pasar Wiguna turut memberikan ruang bermain untuk anak dan remaja melalui program-program yang diadakan dengan kerjasama komunitas tertentu. Ada juga talkshow dan pameran seni yang digelar untuk membuat pengunjung semakin betah berkegiatan di Pasar Wiguna.

Liputan Pasar Wiguna © 2024 brilio.net

foto: brilio.net/annatiqo

Saat ditanya lebih lanjut, Risa dan Gram rupanya terinspirasi dari pasar tradisional Yogyakarta sebelum menggelar Pasar Wiguna ini. Baik dari segi ruang, atribut, hingga jam bukanya juga menyesuaikan dengan pasar tradisional, yakni 5 jam dalam sehari. Bahkan hiburan yang ada di pasar tradisional juga kemudian dituang secara lebih kreatif ke Pasar Wiguna ini.

Jauh sebelum memulai ide membangun Pasar Wiguna, Risa bercerita bahwa dia memang memiliki hobi berkunjung ke pasar tradisional. Lalu hobi ini semakin digiatkan sejak adanya ide Pasar Wiguna tersebut. Hampir seluruh pasar tradisional yang ada di Yogyakarta sudah ia datangi.

Namun salah satu pasar yang sangat menjadi inspirasi adalah Pasar Kenteng di Nanggulan, Kulon Progo yang memiliki sisi entertain atau hiburan. Produk yang dijual juga cenderung unik dan jarang ditemui di pasar tradisional pada umumnya. Selain itu, ada pula Pasar Senen di Kota Yogyakarta yang memiliki desain visual yang menarik, seperti kelambu di setiap sisi. Dengan lebih kreatif, Risa dan Gram mengubah ide-ide tersebut untuk gelaran Pasar Wiguna yang sudah berjalan hampir 3 tahun ini.

“Kita pengennya pasarnya tuh nggak yang cuman secara ekonomi saja perputarannya, tapi juga entertaining (hiburan) gitu. Orang tuh kayak antusias untuk datang terus, dengan catatan ya ada workshop, ada talkshow, ada apapun yang mereka bisa ikut. Jadi ya, jadi kayak wahana sometimes, ya. Jadi wahana main gitu, lah, ya, minggu pagi gitu,” terang perempuan lulusan sastra linguistik ini.

Dengan program-program tersebut, para pengunjung bisa dengan leluasa berkegiatan di Pasar Wiguna. Selain berbelanja, masyarakat juga dapat belajar banyak. Tak hanya remaja, para keluarga juga dapat menikmati piknik di Pasar Wiguna. Risa dan Gram sendiri memang ingin Pasar Wiguna dimanfaatkan sebagai area berkumpul yang menyenangkan untuk masyarakat kota, khususnya Yogyakarta.