Belakangan ini, kita mendengar kabar kurang menyenangkan dari dunia industri di Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan bahwa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sektor manufaktur adalah sinyal bahwa kondisi ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja.

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Apindo, Sarman Simanjorang, menjelaskan bahwa PHK di industri padat karya sangat dipengaruhi oleh tantangan ekonomi global dan situasi geopolitik yang terjadi di luar negeri.

"Ini tentu mengganggu ekspor kita, yang merupakan salah satu pilar utama bagi industri padat karya," kata Sarman dalam sebuah wawancara.

Dia menambahkan bahwa industri padat karya Indonesia belum sepenuhnya pulih sejak pandemi COVID-19. Ketika kita baru saja mulai bangkit, kita dihadapkan pada tantangan baru berupa ketegangan geopolitik yang semakin memperburuk keadaan.

Contohnya, baru-baru ini Sritex, salah satu raksasa tekstil di Indonesia, harus melakukan PHK terhadap lebih dari 10 ribu karyawan. Ini adalah berita yang sangat disayangkan, mengingat industri tekstil dan garmen adalah salah satu sektor yang paling terdampak.

Sarman juga menyoroti bahwa PHK massal ini menjadi tantangan bagi pengusaha untuk menarik investor. Investor adalah kunci untuk membuka lapangan pekerjaan baru dan memperkuat ketahanan ekonomi kita. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat mempercepat proses hilirisasi, terutama di sektor tambang seperti bauksit dan emas.

Selain itu, Sarman juga mengingatkan pentingnya meningkatkan produktivitas UMKM. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang membutuhkan pekerjaan, pemerintah perlu menciptakan terobosan baru untuk menciptakan lapangan kerja. Program-program di tingkat desa juga bisa menjadi solusi untuk meningkatkan investasi dan menciptakan pekerjaan bagi masyarakat setempat.

Seperti yang kita ketahui, badai PHK ini tidak hanya melanda Sritex. PT Sanken Indonesia juga mengumumkan penutupan semua lini produksinya, yang akan berdampak pada 400 pekerja. Di sektor alat musik, PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia juga terpaksa merumahkan 2.700 karyawan. Ini semua menunjukkan bahwa banyak perusahaan menghadapi kesulitan yang sama.

Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, menambahkan bahwa dinamika ketenagakerjaan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Baik faktor internal perusahaan maupun kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, dan kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku. Penting untuk menganalisis situasi ini secara komprehensif agar kita bisa memahami tantangan yang dihadapi industri padat karya.

Shinta juga mengingatkan bahwa industri padat karya mengalami gejala deindustrialisasi dini, di mana kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Ini adalah masalah serius yang perlu diatasi dengan kebijakan yang mendukung agar industri kita tetap kompetitif.

Untuk itu, Apindo terus berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja. Shinta menekankan pentingnya reformasi struktural yang fokus pada efisiensi biaya operasional dan penyederhanaan regulasi yang sering menjadi hambatan bagi pelaku usaha.

Dengan dialog terbuka antara pemerintah dan dunia usaha, diharapkan kita bisa menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat dan berkelanjutan. Mari kita dukung upaya ini agar industri padat karya Indonesia bisa bangkit kembali dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat.