Brilio.net - Big Data telah menjadi tren populer dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah studi dari Accenture dan GE pada 2014 menyebutkan, sebagian besar (65%) organisasi yang disurvei sudah merasakan desakan untuk mengadopsi penerapan big data untuk memajukan strategi internet industri mereka, meskipun pada saat itu hanya 29 persen yang benar-benar menggunakan big data untuk perkiraan atau pengembangan bisnis mereka.

Terkait juga dengan big data adalah semakin merebaknya implementasi Internet of Things (IoT). IoT secara singkat bisa didefinisikan sebagai kumpulan berbagai jenis benda dan peranti yang dilengkapi dengan chip, rangkaian elektronik, sensor, perangkat lunak tertanam, dan konektivitas jaringan yang memungkinkannya untuk mengumpulkan data, dan terhubung lewat jaringan internet di antara satu sama lain, ataupun ke server.

Big data dan IoT pada dasarnya berjalan seiring sejalan. IoT dan sensor mengumpulkan, menganalisis, berbagi dan mengirim data secara real time, menuntut beban lebih pada kemampuan big data suatu organisasi. Data hasil penjaringan IoT mendorong teknologi penyimpanan data tradisional ke batasnya.

Mengingat kepopulerannya, ada baiknya mempertajam terlebih dahulu konsep big data itu sendiri. Istilah big data sering seringkali dimaknai keliru, karena mengesankan bahwa ukuran data itu merupakan hal yang paling penting. Lurino Bertorani dari Dattabot, perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang analitik big data, menyebutkan masalah mendasar dalam konsep big data itu adalah kompleksitasnya, yang disebabkan oleh proses penciptaan, pengumpulan, dan penyeleksian data.

Kebanyakan organisasi telah menyadari kegunaannya untuk "menambang" basis data informasi mereka (data mining). Analisis terhadap data set bisa digunakan untuk mendapatkan wawasan (insight) baru, yang bisa digunakan, baik untuk optimisasi bisnis, dan penciptaan bisnis baru.

Pengembangan Bisnis dengan Big Data
Efendi, Regional Solution Architect GE Digital juga menjelaskan secara lebih terperinci tentang optimalisasi bisnis terkait pengelolaan kinerja aset. Analisis terhadap data bisa digunakan untuk merancang strategi aset yang tepat. Keandalan (reliability) dari aset akan berdampak pada pendapatan bisnis. Namun untuk mengelola ini, kita butuh wawasan, baik dari segi risiko maupun segi finansial.

Misalnya, untuk menekan risiko operasi suatu mesin, pemilik industri mungkin ingin melakukan pemeliharaan seminggu sekali, yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan, dan akan memakan biaya. Solusinya adalah memanfaatkan data operasi dan perilaku mesin tersebut, data pendapatan yang sudah didapatkan, serta anggaran untuk pemeliharaan dan pengoperasian. Ketiga sumber data ini bisa digunakan untuk mendapatkan profil risiko yang dapat ditoleransi oleh bisnis, dengan biaya minimum.

Wawasan yang didapat tidak hanya bisa digunakan untuk optimalisasi bisnis yang sudah ada, tetapi juga membuka peluang untuk menciptakan bisnis baru. Efendi memberi contoh transportasi berbasis aplikasi seperti Uber atau GO-Jek. Bisnis ini tidak hanya sekadar menyediakan jasa transportasi, tetapi juga mengumpulkan data. Penyedia jasa mengetahui profil penggunanya seperti apa, dan ke mana saja dia bepergian.

Data seperti itu bisa mendorong model bisnis baru, pembelian makanan (seperti GO-Food). Dari sini juga penyedia jasa bisa melihat hubungan profil pengguna dengan jenis makanan yang dikonsumsinya. Pada gilirannya, data yang memuat informasi aktivitas pengguna ini bisa dijual; atau membuka kemungkinan model bisnis baru. Misal, dari GO-Jek mereka bisa melihat kecenderungan destinasi pengguna terkait tujuan kuliner, dari situ mereka lalu melebarkan sayap layanan ke pesan antar makanan seperti GO-Food.

Hal yang Perlu Dilakukan untuk Implementasi Big Data
Apa pun alasan dan dorongan buat mengadopsi Big Data, menurut Lurino dari Dattabot, organisasi yang mengimplementasikannya pada dasarnya harus melakukannya dalam dua bagian. Pertama implementasi sistem basis data dan arsitektur yang scalable, dan yang kedua adalah melakukan penambangan data terotomatisasi.

Keuntungan utama sistem basis data scalable adalah dapat dibangun secara modular, dan dikembangkan sesuai kebutuhan, dengan biaya awal relatif murah. Bila suatu organisasi hanya menangani data dalam jumlah sedikit, belum perlu berinvestasi untuk server berukuran petabyte.

Dalam melakukan penambangan data otomatis, organisasi perlu merumuskan pertanyaan yang tepat untuk dijawab. Menurut Lurino, "Data dalam jumlah besar dan kompleks hanya akan menjadi penghalang, bila Anda tidak memiliki pertanyaan yang tepat, atau tidak memiliki masalah spesifik yang hendak dipecahkan. Pertanyaan yang tepat dan spesifik akan lebih sering memberikan hasil yang baik daripada pertanyaan umum, pada dataset yang sama."

Perumusan pertanyaan yang tepat akan mengarahkan organisasi ke berbagai opsi menarik, memberi jawaban kreatif, dan memberi keuntungan kompetitif di pasar.

Implementasi big data menuntut prasarana fisik dalam bentuk komputer yang cukup cepat, dengan kemampuan pengolahan mumpuni dan kapasitas penyimpanan data cukup besar, serta koneksi jaringan data dari mesin-mesin. Bila menggunakan Predix, ini berarti koneksi ke Predix Cloud; meski aspek sumber daya manusia juga penting.

Menurut Lurino, mendapatkan data scientist (ilmuwan data) yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang mendalam juga masih menjadi tantangan terbesar dalam implementasi big data. Sementara itu Efendi dari GE berpendapat, bahwa mengubah manajemen dan budaya organisasi juga merupakan salah satu kendala yang sukar diatasi, jika bicara soal penerapan big data.