Post Traumatic Stress Dissorder atau dikenal dengan istilah PTSD atau gangguan stres pascatrauma ini menurut Nevid (2013) merupakan reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. Zitlonck (dalam Nevid, 2013) juga menyatakan bahwa PTSD memungkinkan berlangsung selama berbulan bulan, bertahun tahun, bahkan selama dekade dan baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya adanya peristiwa traumatis. Sedangkan, menurut Benseller (dalam Mulyadi, 2012) Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma yaitu gangguan psikologis yang disebabkan oleh pengalaman ikut menyaksikan atau mengalami langsung peristiwa yang yang mengerikan. Dapat disimpulkan bahwa PTSD merupakan gangguan psikologis akibat terjadinya suatu peristiwa traumatis yang menyebabkan reaksi yang berlebih terhadap suatu hal.

Yuk, kenali lebih jauh tentang Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD)

Menurut Vieweg, dkk (2006) faktor gangguan stres pascatrauma berupa adanya pengalaman atau peristiwa traumatik yang dialami yang dapat berupa peristiwa yang menyedihkan, membahayakan dan mengancam seseorang. Berdasarkan faktor yang telah dipaparkan, berikut merupkan ciri atau simptom atau gejala seseorang dapat dikatakan mengalami PTSD menurut Bryant (dalam nevid, 2013):

a. Mengalami kembali peristiwa trumatis.

b. Menghindari petunjuk atau stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut.

c. Mati rasa dalam responsivitas secara umum atau dalam segi emosional.

d. Mudah terangsang (mengingatkan dengan pengalaman traumatis yang pernah dialami).

e. Gangguan fungsi atau distress.

Selain itu, menurut Litz (Nevid, 2013) sikap kurang responsif terhadap dunia luar setelah pengalaman traumatis, kehilangan kemampuan menyukai aktivitas yang disukai, dan kehilangan perasaan mampu mengasihi juga merupakan gejala yang dialami seorang yang terkena PTSD. Sedangkan menurut Koentara (dalam Elita, 2017) gejala-gejala yang dialami oleh penderita PTSD meliputi merasakan kembali peritiwa traumatik dalam bentuk pikiran atau ingatan tidak menyenangkan tentang kejadian, mengalami mimpi buruk, dan mengalami perasaan menderita yang kuat saat mengingat kejadian traumatik, menunjukkan gejala menghindar, terdiri atas usaha-usaha yang kuat untuk menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan mengenai kejadian traumatik, menghindari tempat-tempat yang mengingatkan akan trauma, kehilangan ketertarikan atas aktivitas-aktivitas positif, mengalami mati rasa emosional dan sulit untuk merasakan kesenangan atau kebahagiaan, dan gejala Hyperarousal yang ditandai dengan kesulitan tidur, gelisah, sulit berkonsentrasi, mudah marah dan mengalami kebingungan.

Adanya faktor dan gejala yang dimunculkan oleh seorang dengan PTSD, dapat ditinjau beberapa penanganan PTSD. Vieweg, dkk (2006) memaparkan bahwa penanganan yang terkait dengan trauma atau intervensi non-farmakologis dapat berupa dengan penanganan kognitif, psychopharmacologic termasuk antidepresan, obat anti anxietas, obat penstabil mood, dan antipsikotik. Selain itu berikut penanganan psikologis yang dapat dilakukan terhadap seseorang dengan PTSD, yakni:

1. CBT (Cognitive Behaviour Therapy).

Yuk, kenali lebih jauh tentang Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD)

Teknik penanganan PTSD yang dijelaskan oleh Hayati, dkk (2018) yakni CBT merupakan suatu cara untuk mengatasi kognitif pada anak yang menyimpang dan keliru mengenai realita dan meningkatkan logika mengenai suatu yang nyata tersebut. Disebutkan oleh Kenardy, dkk (2010) menunjukkan bahwa intervensi CBT dapat dengan mudah mengurangi gejala trauma stres dan pada pencegahan gangguan kronis seperti halnya disabilitas pada anak dengan PTSD akut setelah terjadinya kecelakaan. Terdapat 2 macam sesi pada CBT yakni 12 sesi untuk usia 3-18 tahun, dan 5 sesi untuk usia 20-55 tahun. Di Indonesia sendiri menggunakan tipe CBT 5 sesi untuk penanganan korban bencana.

2. Acceptance and Commitment Therapy (ACT).

Yuk, kenali lebih jauh tentang Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD)

ACT merupakan terapi behavioral yang dikembangkan oleh Hayes pada tahun 1986. ACT bertujuan untuk menciptakan hidup yang kaya makna dengan menerima segala rasa sakit yang mengikutinya. Berkurangnya gejala-gejala dianggap sebagai produk atau luaran sampingan dan bukan hal utama dibandingkan meningkatkan kualitas hidup klien. Terapi ini mengubah hubungan klien terhadap pikiran-pikiran dan perasaan rumit yang dialami selama ini dan diajarkan untuk mempersepsi pikiran dan perasaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengancam (dalam Elita, dkk, 2017).

3. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).

Yuk, kenali lebih jauh tentang Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD)

Terapi SEFT merupakan metode baru dalam melakukan terapi EFT (Emotional Freedom Technique) yaitu dengan menyertakan energi spiritual dalam pelaksanaannya.EFT dikemukakan oleh Gary Craig. Menurut Zainudin (dalam Lilyanti, 2016) Teknik SEFT langsung berhubungan dengan gangguan sistem energi tubuh untuk menghilangkan emosi negatif tanpa perlu mengenang kembali ingatan traumatisnya. Prinsip SEFT ini adalah short cut dengan memotong tepat di tengah-tengah, sehingga sistem energi tubuh kembali seimbang, bila energi tubuh kembali seimbang maka emosi negatif pun akan hilang dengan sendirinya.

4. Trauma Adaptive Recovery Group Education and Terapy (TARGET).

Yuk, kenali lebih jauh tentang Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD)

Dalam penelitian yang dilakukan Ford (2006) terhadap seorang yang terkena PTSD, TARGET merupakan teknik penanganan PTSD memfokuskan perhatian masing-masing klien pada nilai-nilai inti dan harapan yang telah menjadi dasar untuk proyek seumur hidupnya untuk mengembangkan identitas pribadi (yaitu, definisi diri, harga diri, dan self-efficacy) dan hubungan yang bermakna dan berharga, kenangan traumatis yang mengganggu dan hypervigilance. Selain itu, TARGET juga berfokus pada ketahanan dengan mengalihkan perhatian klien ke reaksi yang berarti, perasaan, pikiran, tujuan, dan pilihan yang terjadi bersamaan dengan gejala PTSD. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menemukan kembali tujuan, pilihan, dan kemampuan pribadi yang telah dikaburkan oleh aspek problematik dari gejala PTSD dan SUDbukan untuk "singkirkan" gejala-gejala itu, atau sekadar "mengganti" cara-cara adaptif untuk mengatasi, tetapi untuk menemukan dan membangun kembali keterampilan-keterampilan adaptif yang dimiliki dan nilai-nilai yang bertahan di dalam dirinya.