Menilik ulang kasus yang terjadi pada salah satu mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti dikutip dari Presma UGM dengan judul artikel Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan pada tanggal 5 November yang sedang menjadi perbincangan publik karena korban tidak mendapatkan rasa keadilan lama setelah kasus ini terjadi. Dampak yang dialami korban merupakan contoh umum yang terjadi pada korban pelecehan seksual. Kasus ini bukanlah kejadian pertama yang terjadi sebab sejarah mencatatnya dalam beberapa dekade terakhir.

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dikenal sebagai semua reaksi yang diindikasi pada gejala stress pasca trauma. Ingatan masuk sebagai fokus utama yang menjadi sebuah persepsi hebat dan berakhir menjadi momen mengerikan. Pengalaman traumatis yang dialami seseorang menanamkan semacam ingatan pemicu di amigdala dan menorehkan luka emosional yang tersimpan di otak1.

Pelecehan seksual hanya salah satu dari sekian banyak pengalaman traumatis. Jejak rasa takut yang dialami korban dapat berlangsung seumur hidup. Terdapat gambaran umum yang merupakan salah satu dari reaksi PTSD. Rasa takut, rendah diri, ketidakberdayaan, kehilangan kemampuan bersosialisasi, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan pikiran negatif yang tidak dapat dikendalikan dan berujung pada stress menetap adalah hal yang dialami korban ketika lolos dari suatu pengalaman traumatis. Stress menetap yang dirasakan korban menjadi sebuah perasaan depresi yang akhirnya digunakan untuk mewakilkan banyaknya perasaan yang dialami korban sendiri, yang mungkin tidak mampu diungkapkan olehnya kepada orang lain.

Victim blaming & pembelajaran ulang emosi pada kasus pelecehan seksual

Mirisnya, yang menjadi titik berat perhatian penulis adalah bagaimana korban mengisahkan pendapat orang lain atas kasusnya. Pendapat menyakitkan karena ketidakmampuan secara emosional merasakan empati pada korban selanjutnya mengubah status keadaan diri korban menjadi victim blaming. Victim Blaming adalah ungkapan yang menyatakan mempersalahkan korban terhadap penyebab dari suatu peristiwa. Sekali lagi, ini bukanlah hal baru dalam setiap kasus pelecehan seksual dan tentunya semakin memperburuk keadaan korbannya.

Victim blaming & pembelajaran ulang emosi pada kasus pelecehan seksual

Terlepas bagaimana rumitnya aturan yang ada dan keadaan yang tidak menguntungkan korban, dibutuhkan pembelajaran ulang emosi untuk pulih dari pengalaman traumatis. Pembelajaran ulang emosi ingin memulihkan rasa aman dan kendali atas diri sendiri. Psikoterapi sebagai pembelajaran ulang emosi dilakukan oleh para ahli dengan tujuan penyembuhan meliputi menceritakan dan menyusun kembali pengalaman traumatis tersebut dalam perlindungan rasa aman tadi1.

Karena bukan hal yang mudah untuk dilakukan, dukungan dari orang sekitar melalui apa yang mereka ucapkan sangat berpengaruh bagi si korban yang selanjutnya disebut pasien. Pasien dengan PTSD harus memulihkan kembali rasa aman dengan menemukan cara terbaik untuk mengendalikan ingatan pemicunya. Namun, seringkali victim blaming yang didapatkan pasien sebelum, saat atau setelah pengobatan berlangsung menyulitkan tercapainya tujuan penyembuhannya. Keinginan mengakhiri hidup yang kerap kali ditemukan pada pasien mungkin merupakan akumulasi dari semua bentuk ketidakmampuan pasien memulihkan rasa aman dan pengendalian dirinya.

Victim blaming & pembelajaran ulang emosi pada kasus pelecehan seksual

Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh orang terdekat pasien (terutama lingkungan pergaulannya) adalah dengan menjadi pendengar pasien dan tidak mengatakan penyebab kejadian tersebut adalah dirinya sendiri seperti bahwa kejadian itu karena kehendaknya. Depresi hanyalah kata yang digunakan secara mudah dan awam untuk mengungkapkan dampak yang dialami pasien. Kenyataannya, pasien mengalami lebih daripada sekedar sebuah perasaan 'depresi'.

Tentunya, kita harus mampu merasakan empati terhadap korban untuk dapat membantunya keluar dari masa sulit. Mari kita mendukung semua pasien yang menderita depresi karena berbagai pengalaman traumatis dan juga victim blaming dengan menaruh perhatian dan dukungan lewat bermacam cara.

1Dikutip ulang dari Buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman.