Joanne Kathleen (JK) Rowling, adalah seorang janda beranak satu yang miskin. Ia biasa menulis di caf-caf, hanya memesan segelas air putih dan berlama-lama duduk.

Di tahun 1997, ia mencoba menawarkan naskah tulisannya ke pelbagai penerbit. Naskah berisi kisah fantasi mengenai anak laki-laki yang hidup sebagai penyihir itu, tak kurang ditolak oleh 12 penerbit. Baru ketika Harry Potter and The Philosopher Stone berlabuh di meja penerbit Bloomsburry, Rowling bisa bernapas lega, sebab penerbit tersebut mau menerbitkan bukunya.

Penerbit Bloomsbury mengatakan, kisah yang ditulis Rowling amat menarik, dan pasti akan disukai oleh anak lelaki maupun perempuan. Rowling bersorak, dan terdiam ketika si penerbit kemudian menyuruh Rowling menggunakan inisial namanya sebagai nama penulis.

Mengapa?

Sebab, menurut analisa si penerbit, jika nama penulis ditulis dengan Joanne Kathlene Rowling, ada kemungkinan anak lelaki takkan mau membaca buku yang ditulis seorang perempuan. Oleh karena itulah nama penulis Harry Potter ditulis sebagai J.K Rowling.

Ini menarik, sebab ternyata, bahkan dalam dunia penulisan buku pun gender bisa jadi sangat penting.

Seandainya pada masa itu Rowling tidak manut sama penerbitnya, mungkin hari ini kita takkan pernah tahu siapa itu Harry Potter, yang buku-bukunya sudah terjual sekitar 400 juta kopi di seluruh dunia, dan sudah diterjemahkan ke dalam 68 bahasa.

Di tahun 90-an , Dewi Lestari Simangunsong, dikenal sebagai salah satu anggota trio penyanyi wanita Rida Sita Dewi. Setelah grup ini lama vakum karena kesibukan anggotanya masing-masing, tahun 2001 Dewi Lestari tiba-tiba beralih profesi menjadi penulis dengan nama pena Dee.

Novel pertamanya Supernova: Ksatria, Putrid an Bintang Jatuh dinilai sebagai buku yang tak biasa karena menggabungkan fiksi dan sains. Dee sendiri menerbitkan bukunya sebanyak 5000 kopi dengan cara indie (menerbitkan sendiri).

Dee sudah lama bercita-cita ingin melihat buku-buku karyanya terpajang di banyak toko buku. Ia ingin menghadiahi dirinya sendiri sebuah buku di hari ulang tahunnya yang ke-25. Tercetaklah buku Supernova yang pertama. Ndilalah, ke-5000 buku cetakan itu hasilnya cacat. Tak putus asa, dengan sisa uang tabungannya, Dee kembali mencetak 2000 buku dan memasarkannya. Buku-buku yang reject kemudian dijual secara underground di kampus-kampus.

Hasilnya?

Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh adalah satu dari rangkaian 6 buku seri Supernova berikutnya yang laris manis di pasaran. Dee kemudian menjadi penulis novel di Indonesia yang mumpuni.

Untunglah, Dee tidak patah semangat ketika harus menerbitkan bukunya setelah cetakan pertamanya gagal. Jika ia menyerah, kita takkan pernah punya seorang Dewi Dee Lestari yang setiap kali menulis, buku-bukunya bahkan sudah habis pre-order sebelum dicetak resmi.

Ada banyak kisah serupa, tentang bagaimana perjuangan dan konsistensi dalam melakukan sesuatu ternyata memang berbuah manis. Thomas Alva Edison digambarkan sebagai seorang anak yang terlalu bodoh untuk belajar oleh gurunya sendiri. Bill Gates drop out dari kampus besar Harvard. Oprah Winfrey adalah korban pelecehan seksual saat ia masih kecil sampai remaja. Seorang B.J Habibie sempat terancam tidak bisa sekolah karena Ayahnya meninggal muda, dan Ibunya kemudian menjadi janda.

Semua orang memiliki perjuangannya sendiri-sendiri, dan tidak menyerah pada tekanan adalah satu hal penting yang sudah mereka ajarkan kepada kita.

Bahwa manisnya keberhasilan, dihasilkan dari perihnya perjuangan.