Pada tahun 2017 lalu, jagad sinema penuh sesak dengan film-film bergenre mainstream superhero(es) yang diangkat dari publisher komik raksasa DC Comics serta Marvel. Tercatat ada enam film layar lebar dengan tema pahlawan super. Namun dari jumlah itu, hanya ada satu film yang mengangkat female-led superhero (superheroines) yaitu Wonder Woman.

Lebih ironis lagi, dalam kurun waktu kurang lebih dua dasawarsa terakhir, hanya ada tiga solo superheroines versi komik yang dibikin layar lebarnya. Mereka antara lain Catwoman (2004), Elektra (2005) dan Wonder Woman (2017). Pada periode yang sama, coba bandingkan dengan manusia sakti dari kalangan pria yang bejibun jumlahnya. Tengok saja, Captain America, Iron Man, Antman, Aquaman, Hulk, Superman, Batman, Green Lantern, Thor dan Spiderman. Tak lupa tentu saja yang teranyar Black Panther.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya? Bahkan, Rupert Hawksley dari telegraph.uk menulis, film Wonder Woman yang premiere pada tahun 2017 itu merupakan female-led superhero pertama setelah Elektra yang dirilis pada tahun 2005 [Sumber]. Artinya, dalam kurun waktu 12 tahun, tidak ada satu pun film perempuan sakti yang tayang di bioskop.

Klaim yang sama juga datang dari washingtonpost.com. Mereka mencatat, sejak tahun 2008 hingga tahun 2016, terdapat 19 film superhero yang seluruhnya male-led [Sumber]. Baru pada tahun 2017, muncul Gal Gadot yang memerankan perempuan super dari Amazon.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya?

LANGKA: Sejak penampilan Catwoman pada tahun 2004 silam, hanya ada Elektra (2005) dan Wonder Woman (2017) sebagai superheroine mainstream yang menarik perhatian. KREDIT FOTO: elcomercio.pe from AFP/Difusin

Sementara itu, Internet Movie Database (IMDb) mencatat ada sembilan film superhero yang bakal dirilis pada tahun 2018 [Sumber]. Dari seluruh daftar itu, tidak ada satu pun solo superhero dari jenis kelamin perempuan yang bakal tampil di layar lebar. Film superheroine yang terdekat adalah Wonder Woman 2 yang rencananya dirilis pada tahun 2019. Lagi-lagi, perempuan tak mendapat cukup tempat untuk unjuk kesaktian.

Lalu mengapa film superhero dengan gender laki-laki lebih bertaburan jumlahnya daripada superhero dari gender perempuan? Padahal, masih banyak tokoh atau karakter superheroine yang kisahnya siap diangkat ke layar lebar, seperti Black Widow-nya The Avengers dan Storm-nya X Men.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya?

POTENSIAL: Karakter Black Widow sebetulnya memiliki cerita yang menarik untuk disajikan melalui layar lebar. Kita tunggu saja tanggal mainnya. KREDIT FOTO: marvel-movies.wikia.com

1. Tidak menguntungkan
Masih dari IMDb, Catwoman (2004), dengan pemeran utama Halle Barry itu, diproduksi dengan budget yang ditaksir mencapai $100 juta. Namun, pendapatan cumulative worldwide gross-nyahanya sampai di angka $82 juta.

Nasib yang sama juga dialami Elektra (2005). Film yang dibintangi Jennifer Garner itu hanya mampu meraup cumulative worldwide gross $32 juta. Padahal film yang disutradarai Rob Bowman (21 Jump Street, McGyver, Quantum Leap dan The X-Files) itu dibuat dengan biaya yang mencapai $43 juta.

Bagaimana dengan Wonder Woman (2017)? Film yang dinahkodai Patty Jenkins (Monster) itu ternyata mampu meraup cumulative worldwide gross $821, 7 juta dengan angka produksi yang 'hanya' $149 juta.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya? Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya?

SUKSES: Sutradara Patty Jenkins tampak sedang bersama Gal Gadot dalam sebuah konferensi pers. KREDIT FOTO: mytalk1071.com

Lalu apa yang salah? Padahal, menurut wired.com, terdapat sebuah jajak pendapat yang mengklaim, ada 40% penonton The Avengers: Age of Ultron adalah perempuan [Sumber]. Data yang sama juga diterbitkan oleh sumber-sumber yang berbeda. Ini membuktikan, penggemar superhero dari kalanganperempuan itu juga banyak jumlahnya.

Meski begitu, dalam sebuah surat elektronik antara CEO Marvel Ike Perlmutter dan CEO Sony Michael Lynton yang dibocorkan Wikileaks ke publik, termaktub ujaran Ike yang menyebut perempuan super di layar lebar tidaklah cukup profitable [Sumber].

Apa yang diucapkan Ike memang benar. Dari daftar 250 film terbaik sepanjang masa versi IMDb, film superhero yang masuk daftar tersebut memang didominasi male-led. Film Batman: The Dark Knight (2008) yang dibintangi Christian Bale dan Heath Ledger itu mampu nangkring di peringkat ke-4.

Dengan budget produksi yang hampir sama dengan Wonder Woman (2017), yakni $185 juta, film yang disutradarai Christopher Nolan (Memento, Interstellar, Dunkirk) itu mampu mendulang cumulative worldwide gross $1 miliar. Busyet! Bahkan, Gal Gadot dan Patty Jenkins pun tak mampu membuat Wonder Woman masuk daftar 250 film terbaik sepanjang masa.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya?

GEMILANG: The Dark Knight yang dirilis pada tahun 2008 ini menduduki peringkat ke-4 film terbaik sepanjang masa versi IMDb. Film ini menjadi film tersukses di antara seluruh film superhero. KREDIT FOTO: vignette.wikia.nocookie.net

2. Stereotipe
Film superhero yang bergabung dalam satu kelompok, misalnya X-Men, Suicide Squad, The Avengers dan Justice League adalah contoh terbaik soal sterotipe ini. Kita bisa melihat peran Storm dan Jane pada X-Men, Harley Quinn pada Suicide Squad, Black Widow pada The Avengers dan Wonder Woman pada Justice League. Mereka beraksi hanya sebatas sebagai karakter pendukung, alih-alih karakter kunci.

Hal tersebut disebabkan karena superhero identik dengan hegemoni maskulinitas. Sementara di sisi lain, perempuan acap kali digambarkan sebagai korban yang lemah. Secara kultur, laki-laki lebih memungkinkan untuk mengekspresikan agresi, daya saing, kecepatan, kekuatan dan serangkaian atribut-atribut maskulin lainnya [Sumber].

Pendapat yang sama juga datang dari akademisi University of Missouri Elizabeth Behm-Morawitz [Sumber]. Dalam sebuah penelitiannya tentang superhero perempuan dalam film, ia melaporkan, meski telah menonton film dengan tema female-led superhero, mahasiswinya--sebagai subyek penelitian--tetap menganggap citra perempuan super sekalipun tidak dapat mengubah pandangan soal maskulinitas yang lebih superior daripada feminime [Sumber].

Behm-Morawitz berpendapat, bahwa pencitraan karakter superheroine pada film hanya berfungsi untuk memperkuat karakter tokoh daripada 'menantang' kepercayaan peran dalam gender. Dengan kata lain, dalam dunia nyata, mahasiswinya tidak percaya ada karakter perempuan yang kuat, cerdas dan mandiri sekaligus. Predikat pelindung, pengayom dan pembasmi kejahatan hanya cocok disematkan pada gender laki-laki.

Superheroines versus Superheroes, siapa pemenangnya?

BEHIND THE SCENE: Superman tampak sedang dirubung warga kota dalam sebuah pengambilan gambar Batman Vs Superman: Dawn of Justice (2016). Menurut sebuah penelitian, pahlawan super laki-laki tampaknya masih lebih disukai daripada perempuan super. KREDIT FOTO: warnerbros.co.uk

Dua alasan mendasar tersebut tampaknya memang masih menjadi momok bagi female-led superhero untuk tampil pada layar lebar. Sementara di satu sisi produser Hollywood hanya bersedia membuat film yang dapat memberi garansi keuntungan, di sisi lain kultur hierarki gender (patriarki) juga masih menjadi ganjalan.

Meski alasan profit dan stereotipe menjadi batu sandungan bagi superheroines, jumlah film dengan lakon perempuan pada genre action, thriller maupun sci-fi justru terus mengalami peningkatan, dalam beberapa tahun terakhir [Sumber].

Hollywood menilai, kini sudah saat yang tepat untuk memberi ruang bagi perempuan dengan superheroine-nya agar bisa mengimbangi kedigdayaan male-led superhero. Itu artinya, kita akan melihat lebih banyak lagi perempuan sakti membasmi kejahatan pada masa-masa yang akan datang. Semoga saja.