Berpacaran membuka kesempatan pada dua individu yang menjalin kasih untuk semakin mengenali pasangan lebih mendalam, berlatih hidup dalam persamaan dan perbedaan, saling mendukung satu sama lain, dan masih banyak hal positif lain untuk mempersiapkan diri sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.

Namun, hubungan berpacaran juga dapat mengandung unsur buruk di dalamnya, seperti perilaku kekerasan yang dilakukan seseorang pada pasangannya.Anak Agung Ketut Sri Wiraswati, M.Psi., Psikolog mengatakan, bentuk tindak kekerasan dalam berpacaran di antaranya kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual.

Tindak kekerasan yang paling umum terjadi dan paling cepat diketahui adalah kekerasan fisik. Bentuknya adalah segala perbuatan yang bertujuan menyakiti seseorang, seperti menampar, mendorong, mencakar.. Ada pula kekerasan psikologis yang tujuannya menekan korban agar merasa lemah dan buruk, contohnya melalui perilaku mengisolir, mengancam, bullying, dan intimidasi, ujar Psikolog Klinis di Denpasar, Bali ini.

Menurutnya, kekerasan ekonomi umumnya dilakukan dengan membatasi akses korban pada uang, memaksa korban membelikan segala sesuatu yang pelaku inginkan, atau memaksa menggunakan uang korban secara tidak bertanggung jawab.

Terakhir, kekerasan seksual yaitu segala bentuk perilaku memuat unsur seksual yang dilakukan tanpa ijin dan menimbulkan ketidaknyamanan, seperti catcalling, meraba tubuh korban, pengekangan kebutuhan seksual, hingga pemerkosaan, pungkasnya.

Wiraswati menjelaskan, kasus kekerasan dalam berpacaran merupakan silent problem yang keberadaannya bagai gunung es. Komisi Nasional Perempuan mencatat perkembangan jumlah kasusnya dari tahun ke tahun tetap tinggi. Pada tahun 2014 terjadi 1748 kasus, tahun 2015 terjadi 2734 kasus, tahun 2016 terjadi 2171 kasus, dan yang terbaru yaitu tahun 2017 terjadi sebanyak 1873 kasus kekerasan dalam pacaran.

Tentu data ini bukan gambaran utuh sebab tidak semua korban kekerasan berani melaporkan pengalaman mereka dan tidak semua korban kekerasan mampu melepaskan diri dari relasi yang sebenarnya tidak sehat, katanya.

Banyak hal yang menjadi polemik di pihak korban kekerasan ketika hendak berupaya melepaskan diri dari hubungan yang penuh kekerasan. Beberapa alasan yang terjadi mulai dari korban takut kehilangan sumber penghasil materi dan status sosial, rasa bersalah karena merasa gagal menjaga keseimbangan hubungan, tekanan peran bahwa salah satu pihak harus berkorban untuk melindungi dan merawat sebuah relasi tanpa memedulikan akibatnya, hingga rasa takut pada pasangan akan melakukan balas dendam.

Keberhasilan melepaskan diri dari hubungan pacaran bernuansa kekerasan terkadang masih tetap menyisakan masalah di kemudian hari. Timbul persoalan psikologis jangka panjang sebagai akibat terpapar kekerasan secara terus-menerus, jelasnya.

Menurutnya, korban dapat saja mengalami rasa bersalah mendalam, kehilangan kepercayaan diri, merasa diri sebagai orang yang buruk, bahkan hambatan dalam menjalin relasi romantis dengan orang lain di kemudian hari.

Bergeser ke sudut pandang pelaku, sering kali pelaku tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan tindak kekerasan pada pasangannya. Pelaku merasa berhak berperilaku sedemikian rupa pada pasangannya karena pola pikir yang keliru.

Rasa memiliki diri pasangan, mengarahkan pelaku secara sengaja ataupun tidak menjadikan pasangan sebagai objek dalam relasi yang mereka jalani bersama. Keterbatasan pemahaman pelaku untuk mengelola emosi dan terampil memilah kondisi -mana yang memicu stress dan mana yang tidak- juga menjadi momok serius dalam tindakan kekerasan, katanya.

Lebih lanjut dijelaskan, pelaku dengan karakter demikian cenderung mudah terpancing kemarahan yang berujung pada ekspresi perilaku yang deskruktif. Ekspresi emosi disertai kekerasan dan pengerusakan yang ditujukan pada pasangan semata-mata hanya untuk memuaskan diri pelaku untuk mengembalikan ketenangan dirinya untuk sementara waktu tanpa betul-betul menyelesaikan persoalan ke akarnya.

Menjadi jelas bahwa bentuk tindak kekerasan tidak hanya fisik, namun juga psikologis, ekonomi, dan seksual. Perilaku kekerasan dalam situasi apapun tidak dapat dibenarkan. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru kekerasan malah menimbulkan permasalahan rumit lainnya di kemudian hari, tutupnya.