Berkomunikasi merupakan kegiatan yang vital dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam menjalin hubungan dan relasi, menyampaikan informasi, dan bahkan mengemukakan pendapat pribadi. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadi kondisi bahwa kalimat yang dikeluarkan justru ambigu dan bahkan tidak dipahami sama sekali. Hal ini tentu sangat merugikan, bahkan memberikan dampak yang buruk. Maka dibutuhkan sebuah seni untuk berbicara. Inilah gambaran sederhana yang dapat diberikan mengenai retorika. Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi bahkan cukup menentukan relasi yang dibangun oleh seseorang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sebab menurut Oh Su Hyang dalam buku Berbicara Itu Ada Seninya kualitas retorik yang dimiliki seseorang menentukan kesan pertama.

Retorika: Positif atau negatif?

Namun, tidak jarang retorika mendapat stereotip yang negatif oleh beberapa orang. Banyak orang yang mulai memiliki pemahaman bahwa retorika identik dengan kemampuan merangkai kata-kata yang sering ditujukan untuk membenarkan sesuatu yang sesungguhnya bukanlah sebuah kebenaran. Salah satu kalimat dalam sebuah buku yang pernah saya baca bahwa retorika sering dipandang sebagai alat yang selalu sering digunakan untuk pengaburan fakta. Namun, hal ini merupakan anggapan yang keliru.

Retorika: Positif atau negatif?

Esensi dari kemampuan beretorika ialah kemampuan untuk menata argumentasi yang dimiliki oleh seseorang secara sistematis, jelas, dan terarah yang berlandaskan pada sebuah pengetahuan yang benar (faktual). Singkatnya, retorika merupakan seni atau dapat digolongkan juga sebagai alat. Dengan demikian, dampak yang dihasilkan sebuah alat ditentukan oleh pengguna. Maka kemungkinan yang menjadi persoalan munculnya stereotip negatif tentang retorika disebabkan oleh semakin banyaknya orang yang memanfaatkan kemampuan retorikanya untuk hal yang tidak baik, termasuk pengaburan fakta.

Retorika: Positif atau negatif?

Retorika sebagai sebuah seni berbicara penting untuk dimiliki oleh setiap orang, terlebih bagi para pemimpin seperti manager yang akan sering memberikan arahan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Profesi yang juga mengharuskan seseorang memiliki kemampuan retorika ialah pengajar, baik guru, dosen, maupun tentor.

Secara khusus di Perguruan Tinggi, tak jarang ditemukan dosen-dosen yang memiliki wawasan luas dan pengetahuan yang cukup baik, namun gagal dalam mentransfer ilmunya kepada para mahasiswa/I yang diajarnya karena kurang mampu mengomunikasikan bahan ajar yang sudah dimilikinya. Akibat dari ketidakmampuan tersebut, peluang dihasilkan kalimat yang ambigu cukup besar dan berujung pada ketidakpahaman di kalangan mahasiswa/I yang memperoleh pengajaran dari dosen-dosen tersebut. Maka lihatlah betapa sangat berpengaruh dan pentingnya retorika itu bagi kehidupan kita dan tujuannya ialah mulia.

Dalam bukunya yang berjudul Retorika (terjemahan), Aristoteles mengatakan bahwa retorika erat kaitannya dengan dialektika. Begitupun dengan filsafat dan logika. Ketika keempat unsur ini saling menyatu, maka terjadilah sebuah kolaborasi yang kuat bagi penggunanya dalam hal mengajukan dan mempertahankan pendapat, membela diri, atau menyerang pendapat orang lain. Penggabungan dari keeempat disiplin ilmu ini akan meminimalisir sesat pikir dalam setiap pendapat yang diutarakan.

Ketika orang-orang mencoba memberikan pendapat dengan kemampuan retorika yang dimilikinya, sebenarnya secara otomatis ini akan menjadi alat memersuasi orang lain agar menerima pendapatnya. Bukan tidak mungkin pendapat yang diajukan boleh menjadi masukan yang cukup berharga dan salah satu bagian dari kesimpulan. Itulah sebenarnya yang diharapkan dari ilmu retorika, tetap tanpa melupakan bahwa retorika harus berjalan bersama dengan pengetahuan yang benar (faktual). Sehingga jika apa yang diucapkan oleh seseorang hanyalah susunan kata-kata kosong yang tidak bermakna dan berdasar atau sebuah kebohongan dan bahkan pembodohan, itu bukanlah esensi dari retorika.

Pada bagian awal sudah dijelaskan bagaimana retorika yang sehat bermanfaat dalam membangun relasi yang sehat pula. Membangun relasi yang sehat sangat dibutuhkan di sebuah negara yang pluralis seperti Indonesia. Hal ini akan membuahkan persatuan di tengah-tengah pluralitas yang ada.

Relasi yang sehat dimulai dengan retorika yang sehat pula. Retorika yang dimaksud ialah bagaimana kemudian kita mampu berkomunikasi (baca: berdialog) secara sehat dan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman hingga berujung pada adanya oknum yang merasa tertolak di rumah sendiri, sebagaimana yang digambarkan oleh Erwin Arianto Saragih dalam sebuah karyanya yang berjudul Etika Relasi.Kita mempunyai rumah yang sama, yakni Indonesia. Maka mulailah membangun relasi dengan membuat setiap kita merasa nyaman dan merasakan Indonesia sebagai rumah bersama dengan membangun komunikasi yang baik melalui kemampuan beretorika. Jika demikian, maka persatuan di tengah-tengah pluralitas yang ada adalah sebuah keniscayaan. Lihat betapa retorika itu sesungguhnya juga krusial dalam membangun sebuah relasi.

Pada tulisan ini tidak akan dibahas mengenai teknik-teknik retorika sebagai sebuah ilmu, namun bagaimana kemudian pemikiran setiap orang diarahkan untuk mempergunakan teknik-teknik yang sudah dipelajari (melalui sumber-sumber lainnya) mempersuasi substansi-substansi (yang mengedukasi, dan faktual) bagi orang lain. Maka, kembali bahwa tujuan retorika bukanlah keindahan kata, namun kejelasan fakta yang memuaskan rasa keingintahuan atau kebingungan dari setiap orang. Bukan semakin membuat bingung.

Retorika: Positif atau negatif?

Gambar di atas menjadi ilustrasi tentang betapa dasyatnya kata boleh menjalin relasi.Ketika kemampuan beretorika yang dimiliki oleh setiap orang sudah sungguh-sungguh diarahkan untuk menyampaikan substansi-substansi yang berlandaskan pengetahuan yang benar dan faktual, maka hal-hal tersebut akan menjadi informasi yang mencerahkan kehidupan. Informasi-informasi demikian akan membantu menjernihkan pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan yang tepat. Bahkan Haryatmoko dalam salah satu bukunya yang berjudul Etika Komunikasimenuliskan bahwa informasi-informasi berdasarkan pengetahuan yang benar dan faktual membuka peluang memerbaiki nasib seseorang atau kelompok.