Jargon mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat menjadi tidak terelakan apabila kita kaitkan dengan istilah phubbing. Fenomena kehadiran phubbing tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat urban.

Phubbing adalah perilaku lebih mengutamakan menggunakan smartphone dibandingkan memperhatikan lawan bicara ketika sedang berinteraksi. Perilaku phubbing menjadi salah satu kebiasaan, bahkan dapat dikatakan sebagai kebutuhan masyarakat urban saat ini. Karakteristik ini bersesuaian dengan karakteristik masyarakat urban, di mana salah satu karakteristiknya tidak memedulikan tingkah laku sesamanya, sebab masing-masing anggota mempunyai kesibukan sendiri.

Jadi, meski anggota masyarakat kota secara fisik tinggal berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan. Pada umumnya, masyarakat kota bersifat individualisme, dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Sehingga, sebelum membicarakan perilaku phubbing dalam keluarga urban, kita perlu membahas apa yang dimaksud dengan phubbing serta dampak negatif phubbing.

Perkembangan teknologi yang diikuti dengan perkembangan penggunaan internet memunculkan realitas media baru (new media). Istilah media baru disini diartikan sebagai konvergensi dari berbagai media yang sudah ada sebelumnya. Smartphone merupakan salah satu media baru yang mengalami perkembangan pesat. Dengan karakteristiknya sebagai media baru, smartphone dapat memengaruhi penggunanya dalam berkomunikasi dan dapat melakukan berbagai kegiatan, hanya dengan penggunaannya bersama internet.

Smartphone dengan bentuknya yang praktis dan fungsi yang beragam menjadi perangkat yang dapat mempermudah hidup seseorang. Pengunanya dapat melakukan berbagai kegiatan, mulai dari berinteraksi melalui media sosial, menelepon, mendengarkan musik, membaca buku digital, belanja, reservasi hotel atau pesawat secara online dalam satu waktu.

Namun di sisi lain, kemudahan dan kepraktisan penggunaan smartphone menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adanya fenomena phubbing yang merupakan salah satu dampak negatifnya. Phubbing berasal dari singkatan phone dan snubbing yang secara sederhana diartikan sebagai perilaku yang menyakiti lawan bicara dengan menggunakan smartphone secara berlebihan.

Fenomena phubbing mengubah cara interaksi sosial yang dilakukan selama ini yang lebih mengutamakan berkomunikasi secara lisan dan bertatap muka dengan lawan bicara. Terlebih bila phubbing dikaitkan dengan adat budaya ketimuran di mana masyarakatnya masih memegang nilai, norma dan etika di dalam sebuah hubungan yang didasarkan pada sikap yang saling menghargai ketika terlibat dalam pembicaraan.

Sayangnya, fenomena phubbing sebagai implikasi adiksi penggunaan smartphone telah menjadi kebutuhan dan realitas yang tidak dapat dihindari olah masyarakat modern yang tinggal di perkotaan (daerah urban). Hal ini dipengaruhi oleh semakin terjangkaunya harga smartphone, yang berakibat barang ini dapat dimiliki oleh berbagai kalangan.

Berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan, kalangan remaja usia, 16 hingga 21 tahun merupakan pengguna smartphone terbanyak sekaligus pengguna internet terbesar dibanding kalangan lainnya. Pada umumnya, mereka menggunakan smartphone untuk berkomunikasi, dan mengakses internet untuk membuka media sosial, mencari informasi hingga belanja online.

Penggunaan smartphone dalam batas tertentu tentu berdampak positif. Namun bila penggunanya sudah memiliki ketergantungan pada smartphone dan internet, menimbulkan berbagai implikasi negatif. Ketergantungan yang berlebihan pada perangkat mesin, seperti halnya smartphone, dapat menimbulkan kecanduan.

Sebuah riset yang pernah dilakukan oleh Young (1996) membagi pengguna internet menjadi pengguna yang mengalami ketergantungan dan pengguna yang tidak mengalami ketergantungan. Mereka yang mengalami ketergantungan dengan internet dan smartphone disebut dengan kecanduan. Pengguna yang kecanduan mengalami berbagai gangguan pada kehidupan akademis, relasi dengan keluarga, teman serta pekerjaan. Kecanduan tersebut menjadikan penggunanya tidak bisa lepas dari perangkat dan pada akhirnya memengaruhi kehidupan sosial mereka. Orang menjadi tidak lagi merasa tabu jika harus disibukkan dengan smartphone dalam berbagai kondisi semisal saat sedang makan malam bersama, di tempat peribadatan atau pemakaman. Orang lebih disibukkan dengan smartphone-nya dibandingkan harus berinteraksi dengan lawan bicara atau membangun hubungan dengan lingkungan.

Padahal salah satu indikator komunikasi yang efektif adalah adanya kesamaan pemaknaan antara pengirim dan penerima pesan. Namun, bila salah satunya menggunakan smartphone saat terjadi perbincangan, bukan tidak mungkin mereka tidak dapat menyerap informasi secara maksimal. Sebagai akibatnya, lawan bicara mereka harus mengulang pesan yang sama. Individu yang mengunakan smartphone secara berlebihan mengalami apa yang dikenal dengan istilah short attention span atau gangguan pemusatan perhatian. Pada tahap ini, mereka tidak memahami informasi yang disampaikan secara utuh karena teknologi seperti smartphone menyebabkan gangguan. Efek jangka panjangnya, mereka akan mengalami gangguan kesehatan seperti tidak bisa lepas dari smartphone atau lebih dikenal dengan istilah nomophobia (no mobile phone phobia).

Selain gangguan kesehatan, perilaku phubbing menyebabkan individu menjadi terisolasi dari lingkungannya. Akibatnya, individu yang merasa terisolasi tersebut akan melarikan masalahnya ke media sosial, dengan cara mengumbar privasinya secara berlebihan. Sehingga, tidak heran jika saat ini banyak dijumpai kasus kriminalitas diakibatkan penggunaan media sosial sebagai media katarsis masalah privasi. Menyikapi banyaknya dampak negatif akibat fenomena perilaku phubbing, berbagai kampanye sosial menghimbau masyarakat untuk menghentikan kebiasaan phubbing dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia, gerakan stop phubbing ini dapat dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil, yakni keluarga, khususnya keluarga di masyarakat urban.

Pada keluarga urban, penggunaan smartphone sudah menjadi kebutuhan yang masuk dalam rutinitas keseharian. Mulai dari ayah, ibu dan anak-anak, semua mengunakan smartphone dengan beragam alasan yang melatarbelakanginya. Sehingga, perilaku phubbing menjadi tidak terelakkan dengan kebiasan penggunaan smartphone dalam kehidupan keseharian keluarga di masyarakat urban.

Sejumlah motif yang melatarbelakangi seorang menjadi phubber (orang yang mulai melakukan phubbing) antara lain:

1. Untuk menjauhkan lawan bicaranya secara sengaja karena individu merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan.

2. Merasa bosan dan lebih memilih mencari keseruan melalui penggunaan smartphone.

3. Kesibukan yang teramat banyak yang melibatkan interaksi dengan pihak yang terpisah jarak secara fisik.

4. Merupakan perilaku hasil imitasi dari perilaku lingkungan sekitar.

5. Phubbing dilakukan sebagai hasil identifikasi dari figur yang diidolakan.

Lalu, bagaimana caranya agar perilaku phubbing di kalangan keluarga urban ini dapat diminimalisir dampak negatifnya?

Salah satunya, melalui peran aktif orang tua untuk menjadi parental mediation bagi anak dalam penggunaan smartphone. Konsep ini awalnya digunakan sebagai istilah pendampingan anak-anak oleh orang tua ketika menonton televisi. Namun, seiring dengan datangnya era digital dan media baru, parental mediation mengalami redefinisi menjadi pendampingan anak ketika menggunakan smartphoneagar tidak terjadi perilaku phubbing. Orang tua yang berasal dari kalangan digital immigrant perlu untuk mengetahui kebiasaan yang dilakukan anak-anak mereka yang berasal dari kalangan digital native. Seperti misalnya, pengetahuan dan pemahaman terkait frekuensi, durasi penggunaan smartphone, situs-situs yang sering dikunjungi, temanteman dunia maya dari anak-anak mereka.

Namun, yang perlu diperhatikan, dalam menjalankan peran sebagai parental mediation, orang tua perlu untuk menjadi role model yang baik bagi anak-anak. Perilaku phubbing yang dilakukan anak-anak, salah satunya dilatarbelakangi adanya imitasi (meniru) perilaku yang dilakukan atau dicontohkan lingkungan sekitarnya. Berarti dalam konteks keluarga, yang dijadikan role model imitasi anak-anak adalah ayah dan ibu. Orang tua sebagai agen sosialisasi pertama bagi anak memegang peranan penting menyosialisasikan pentingnya menghomati pihak lain ketika sedang berinteraksi sosial. Diharapkan bila perilaku bijak dalam penggunaan smartphone dimulai dari keluarga, lingkungan terkecil seorang anak. Ke depannya perilaku tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan baik yang akan ditularkan di lingkungan masyarakat.