Nasi uduk adalah salah satu kuliner khas Indonesia yang mudah ditemui di berbagai tempat, mulai dari kaki lima sampai hotel berbintang. Kuliner yang satu ini enak sekali dijadikan sarapan pagi, apalagi kalau ditambah gorengan dan sambal kacang. Nasinya yang gurih dan harum, jadi pemikat utama kuliner ini.
Salah satu daerah yang banyak sekali ditemukan penjual nasi uduk adalah Parung di Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Pamegarsari. Di sana penulis sempat mencicipi nasi uduk yang dibuat dengan resep berusia 50 tahun yang dibuat oleh seorang perempuan lanjut usia bernama Mak Aci. Ketika makan di warungnya, penulis sempat mengobrol dengan Mak Aci. Mak Aci mengatakan, ia mulai menjual nasi uduk sejak tahun 1971, ketika usianya masih 30 tahun. Berarti kini usianya telah menginjak kepala delapan.

Warung nasi uduk Mak Aci sangat sederhana, terbuat dari bilik bambu, lengkap dengan sebuah balai-balai di depannya. Pembeli yang makan di sini bisa sambil duduk selonjoran dan menikmati udara pagi daerah Parung. Oh iya, Mak Aci menjual nasi uduk mulai dari pagi hari, sekitar pukul 5 hingga habis. "Yah namanya jualan, kadang habis kadang nggak," ujar Mak Aci dengan logat Betawinya yang kental.
Di depan warung, di samping balai-balai, tersedia beberapa jenis gorengan seperti tahu goreng, tempe goreng, bakwan, dan pisang goreng. Semua itu disajikan sebagai pelengkap nasi uduk, kecuali yang terakhir. Salah satu yang mungkin membedakan nasi uduk Mak Aci dengan yang lainnya adalah cara memasaknya. Mak Aci masih menggunakan tungku api untuk memasak nasi uduk dan sejumlah makanan lainnya. Pantas saja penulis melihat banyak tumpukan ranting kayu di samping warungnya.
Penulis penasaran, mengapa Mak Aci masih menggunakan kayu bakar dalam memasak, padahal kini kompor beserta gasnya mudah ditemui di mana-mana. Harganya juga cukup terjangkau. Apalagi Mak Aci berjualan di Parung yang lokasinya sudah terbilang modern karena bisa diakses dari mana saja dan di sana pun sudah berdiri banyak perumahan. Bisa dikatakan kalau Parung bukanlah daerah terpencil.
Ternyata Mak Aci punya alasan tersendiri. "Kalau masak pakai kayu bakar, nasinya jadi lebih enak. Pulen dan harum," ujar Mak Aci kepada penulis.
Alasan Mak Aci cukup masuk akal. Bau harum tersebut mungkin datang dari asap yang mengepul ketika proses memasak dilakukan.
Setelah asyik mengobrol dengan Mak Aci, penulis langsung memesan seporsi nasi uduk. Dengan sigap Mak Aci mengambil piring, lalu menyendokkan nasi uduk ke dalamnya. Setelah itu ia meraih sayur labu di dalam dandang. Dua sendok sayur labu cukup membuat nasi uduk terlihat menggoda. Terakhir, sebagai penyempurna, Mak Aci menaburkan bawang goreng di atas nasi uduk. Tangan Aci yang nampak termakan usia sangat lihai kala meracik nasi uduk. Maklum, Mak Aci sudah 50 tahun berjualan nasi uduk.

Ketika hidangan siap, penulis langsung mencari posisi untuk menyantap nasi uduk. Kebetulan pagi itu warung nasi uduk Mak Aci cukup ramai. Balai-balai yang jadi incaran penulis sejak awal sudah terisi oleh dua orang pemuda. Akhirnya penulis memilih makan dengan duduk di bangku plastik. Tapi sebelum itu, penulis meraih dua buah gorengan sebagai teman menyantap nasi uduk.
Porsi nasi uduk Mak Aci cukup banyak. Nasinya terlihat menggunung, ditambah sayur labu, sambal kacang, kerupuk, dan dua buah gorengan, penulis jadi bingung harus mulai makan dari mana. Penulis menyendokkan nasi uduk dari bagian pinggir piring. Bersama nasi, potongan labu dan kuahnya, beberapa butir bawang goreng, dan ditambah sedikit sambal kacang siap masuk ke mulut.
Hap! Seketika rasa gurih nasi uduk, bawang goreng, dan sayur labu menari-nari bersama lidah. Rasanya enak sekali. Sempurna! Setelah itu menyusul gigitan tahu goreng yang masih hangat dan garing. Rasanya makin meriah. Nikmat! Kini penulis tahu mengapa Mak Aci bisa sampai 50 tahun berjualan nasi uduk. Tak lain karena rasanya yang memang enak.

Suap demi suap mengalir deras ke dalam mulut penulis. Gigitan demi gigitan melaju sempurna. Tak terasa penulis sampai pada suapan terakhir. Lalu "pesta pora" tersebut pun berakhir dengan rasa kenyang dan puas. Saking enaknya, penulis sebenarnya ingin tambah sepiring lagi. Tapi apa daya perut sudah terisi penuh dan tidak bisa diajak kompromi. Penulis pun menghampiri Mak Aci dan bertanya mengenai total harganya.
"Mak, berapa semuanya?" tanya penulis.
"Pakai apa aja tadi?" Ujar Mak Aci membalas pertanyaan penulis.
"Tambah gorengan aja dua," jawab penulis.
"Jadi Rp 7 ribu," ujar Mak Aci singkat.
Sepiring nasi uduk nikmat tersebut hanya dibanderol Rp 7 ribu oleh Mak Aci. Benar-benar sebuah anugerah bisa menyantap nasi uduk enak dengan harga yang teramat miring.
Sebelum berpisah, penulis mengucapkan salam pada Mak Aci. "Mak, nasi uduknya enak banget. Kapan-kapan saya makan di sni lagi deh."
"Iya, ajak istri sama anak-anaknya juga yah," balas Mak Aci.
Dan akhirnya penulis pulang dengan senyum puas. Perut pun kenyang tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.