Tak banyak yang mengenal Pak Kasim, mahasiswa IPB yang hilang 15 tahun di Waimital. Lelaki yang pada 1982 membuang penghargaan Kalpataru di bawah kursi dan menolak tawaran studi banding ke Amerika. "Untuk apa saya harus ke Amerika yang mempunyai tradisi pertanian berbeda dengan di sini?" ujarnya.

Mohamad Kasim Arifin, kelahiran Langsa, Aceh Timur, 18 April 1938 adalah mahasiswa IPB yang mengikuti program Pengerahan Tenaga Mahasiswa atau KKN di Waimital, Pulau Seram tahun 1964. Tugas utamanya memperkenalkan program "Panca Usaha Tani" kepada masyarakat.

Mohamad Kasim, mahasiswa IPB yang 'raib' 15 tahun dan menjadi Antua

Kasim membantu masyarakat membuka jalan desa, membangun sawah baru, membuat irigasi. Semuanya tanpa bantuan pemerintah. Dedikasinya kepada para petani membuatnya lupa pulang. Masyarakat Waimital menyebut Kasim "Antua", sebutan orang yang dihormati di Maluku.

Permintaan orang tuanya pulang tak diindahkannya, panggilan rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution juga tak dipedulikannya. Baru pada panggilan ketiga disertai sahabatnya, Saleh Widodo, berhasil membuatnya pulang.

Pada hari wisuda, 22 September 1979, Kasim menerima gelar insinyur istimewa. Lelaki yang biasa bersandal jepit itu pulang dan menerima gelar insinyur pertanian bukan karena mempertahankan skripsi namun karena pengabdiannya 15 tahun di Waimital.

Saat wisuda pada 1979, sahabatnya, penyair Taufiq Ismail secara khusus membacakan puisi tentang pengabdiannya di Waimital. Selesai wisuda, ia mendapat berbagai tawaran pekerjaan namun ditolak.

Ia memilih kembali ke Waimital. Belakangan ia menerima tawaran menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh sampai pensiun pada 1994 dengan golongan III-c.

Mencintai alam.

Setelah pensiun mengajar, Kasim bergabung dengan Unit Manajemen Leuser (UML) sebagai tenaga lapangan. Salah satu tugasnya memberi penyuluhan kepada masyarakat di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser supaya ikut menjaga kelestarian lingkungan.

Alasan Kasim bergabung dengan Unit Manajemen Leuser (UML) berangkat dari semakin tergerusnya Sumber Daya Alam (SDA) tanpa dibarengi pelestarian yang berkelanjutan. Populasi manusia yang terus bertambah serta ketergantungan yang besar terhadap sumber daya alam menyebabkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam.

Mengutip tulisan Lebih Jauh Dengan: Antua Kasim Arifin pada laman Kompas 9 Mei 2004, Kasim membeberkan catatan angka laju kerusakan hutan di Indonesia, yang mencapai rata-rata 3 juta hektar per tahun (tahun 2003/2004). Sedang pada perhitungan laju kerusakan hutan per detik, menunjukkan angka 965 meter persegi. Ia menyoroti laju kerusakan hutan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang rata- rata mencapai 200.000 hektar per tahun atau 62,23 meter persegi per detik.

Kasim yang menikah dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia di SMA dan dikaruniai tiga orang anak itu menyoroti beberapa kebijakan pemerintah terkait rehabilitasi yang tidak efektif di lapangan. Beberapa di antaranya terkesan fiktif.

Tak jarang, pada proyek-proyek rehabilitasi hutan, lokasi yang ditanami hanyalah tempat-tempat yang terjangkau untuk ditinjau pejabat saja. Mereka enggan memilih lokasi yang jauh dan sulit, apalagi jika kondisi jalanannya rusak parah. Akhirnya dianggap saja sudah dikerjakan.

Mohamad Kasim, mahasiswa IPB yang 'raib' 15 tahun dan menjadi Antua

Di sisi lain, pembalakan (penebangan liar) tak jarang dibiayai pihak-pihak luar dengan memanfaatkan masyarakat lokal. Praktik keji ini direncanakan secara sistematis oleh pemilik modal untuk meraup keuntungan besar. Sedang masyarakat sekitar yang menganggur dan butuh makan terpaksa mau dimanfaatkan sebagai buruh.

Kasim juga menyoroti lemahnya regulasi pemerintah. Salah satunya pada proyek Ladia Galaska yang melintasi kawasan hutan lindung kala itu. Ia menganggap proyek ini sebagai preseden buruk, ada sesuatu yang tak beres. Ibarat masakan, cara memasaknya kurang pas sehingga masakannya kurang enak. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seharusnya "dimasak" oleh orang-orang yang kompeten sehingga mampu memprediksi apa dampak lingkungannya pada masa datang.

Menurut Kasim, pekerjaan menanam pohon di hutan (rehabilitasi) tidaklah mudah, memerlukan suatu strategi yang benar-benar mantap dan melibatkan seluruh stakeholder. Maka baginya, rehabilitasi yang sesungguhnya belum pernah terealisasi hingga saat ini.

Pentingnya memahami konservasi.

Mohamad Kasim, mahasiswa IPB yang 'raib' 15 tahun dan menjadi Antua

Saat masih kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Indonesiacikal bakal Institut Pertanian Bogor (IPB)tahun 1957, Kasim pernah diajar Prof Lundquist, ahli tanaman tropika asal Swedia.

Menurutnya, Prof Lundquist pernah berujar bahwa Indonesia ini daerah tropika yang kaya akan flora-fauna. Tapi Indonesia ini bergunung-gunung dengan lembah dan jurang, artinya minimal 30 persen permukaan Bumi di Indonesia harus ditutupi tumbuhan agar tidak terjadi erosi.

Jika kurang dari 30 persen saja maka akan mengakibatkan musnahnya lapisan tanah untuk penyerapan air. Sehingga tidak semua air mampu terserap oleh tanah dan mengakibatkan air mengalir deras ke bawah. Puncaknya, hutan tropika yang gundul akan memicu hancurnya serasah (karpet tanah) dan kehidupan mikroba.

Berangkat dari informasi Prof Lundquist itu, Kasim memandang pentingnya pemahaman masyarakat tentang "konservasi". Menurut Kasim, konservasi pada dasarnya bertujuan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang berisi flora-fauna. Tapi ujungnya tetap untuk menyelamatkan manusia. Sebab kehancuran lingkungan akan menyengsarakan manusia itu sendiri.

Ia menganggap pentingnya memperkenalkan pengetahuan konservasi sejak dini. Salah satunya dengan memasukkan pengetahuan mengenai konservasi dalam materi pengajaran sejak sekolah dasar. Setidaknya membuat buku ajar untuk melengkapi buku pelajaran yang telah ada.

Contohnya, guru Biologi tidak hanya menerangkan hewan dari segi fisiknya, tetapi juga memperkenalkan jenis satwa tertentu yang termasuk dalam kategori dilindungi. Pengetahuan konservasi ini bisa disisipkan pula pada pelajaran lainnya, seperti agama atau geografi.

Di usia senjanya, Kasim masih sempat berjalan puluhan kilo keluar-masuk hutan dan perkampungan. Ia menyusuri ruas jalan Ladia Galaska, antara Piding dan Lokop. Ia meninggal di Aceh, 26 Juni 2006.

Pengabdian Pak Kasim kepada lingkungan serta idealisme-idealismenya ini diabadikan Hanna Rambe dalam bukunya Seorang Lelaki di Waimital terbitan Sinar Harapan, tahun 1983.