Wabah virus Corona yang menerpa dunia termasuk Indonesia menimbulkan banyak kekhawatiran di masyarakat. Terlebih lagi dengan penyebaran Covid-19 yang sangatlah cepat bahkan statusnya yang diubah oleh WHO dariendemik menjadi pandemik berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia, terutama aspek psikologis, yaitu kesehatan mental.Clairice T. Veit & Jhon E. Ware (dalam Faizah & Amna, 2017) menjelaskan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi individu yang tidak hanya dilihat berdasarkan ada tidaknya simtom-simtom tekanan psikologis yang muncul tetapi juga berkaitan dengan adanya karakteristik kesejahteraan psikologis yang berpengaruh dalam hidupnya, seperti perasaan gembira, tertarik, dan dapat menikmati hidup yang dijalaninya.

Tidak sedikit individu yang merasa tertekan akibat wabah virus Corona yang pada akhirnya membuat banyak individu merasa panik, cemas, dan khawatir terhadap wabah ini terlebih mayoritas seluruh media dipenuhi dengan pemberitaan seputar pandemik ini. Akibatnya, rasa cemas dan kekhawatiran tersebut datang secara berlebihan yang membuat individu merasa tubuhnya menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala Covid-19 sehingga individu tersebut melakukan diagnosis dini secara personal bahwa mereka terkena Covid-19. Namun kenyataannya, gejala-gejala yang dirasakan tersebut bukanlah akibat dari terinfeksinya virus Corona, melainkan merupakan bentuk dari rasa cemas berlebihan yang sedang dirasakan. Kondisi ini dikenal dengan istilah psikosomatis.

Apa itu psikosomatis?

Kellner (dalam Rachmaniya, 2018) mengungkapkan secara singkat bahwa istilah psikosomatis merujuk pada hubungan antara jiwa dan badan. Kartini Kartono (dalam Rachmaniya, 2018) mendefinisikan psikosomatis sebagai bentuk gangguan fisik yang disebabkan oleh tekanan-tekanan emosional dan psikologis atau gangguan fisik yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan psikologis yang berlebihan dalam mereaksi gejala emosi. Atkinson (dalam Rachmaniya, 2018) berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya psikosomatis adalah stres. Faktor lain yang menyebabkan psikosomatis di antaranya adalah pola perilaku individu dan kondisi rentan individu terhadap tekanan fisik dan psikis, serta emosi.

Dr. Meva Nareza yang dilansir dari alodokter (2020) menjelaskan bahwa saat individu terus-menerus membaca berita yang kurang baik, maka individu akan merasa cemas, takut, dan stres. Perasaan-perasaan yang dirasakan oleh individu tersebut akan membuat tubuh menyangka bahwa sedang dalam bahaya, yang kemudian tubuh mengeluarkan hormonadrenalindan kortisol. Secara alami, kedua hormon ini diproduksi saat tubuh merasa terancam. Tujuannya adalah untuk meningkatkan respons tubuh agar siap untuk menghadapi bahaya. Namun, bila hormon ini keluar di saat individu sebenarnya dalam keadaan aman, individu justru akan merasakan gangguan fisik yang ditakutkan tersebut terjadi. Dalam kasus Covid-19, individu bisa saja merasakan gejala-gejala Covid-19, seperti sesak napas, batuk-batuk, atau meriang, padahal kenyataannya individu baik-baik saja (Nareza, 2020).

Dr. Andri, SpKJ, FACLP (dalam Hermawan, 2020) menjelaskan bahwa gejala psikosomatis muncul akibat dari bagian sistem otak yang disebut dengan amygdala(amigdala) atau bisa disebut juga dengan pusat rasa cemas sekaligus memori jadi terlalu aktif bekerja, sehingga tidak mampu bekerja dengan baik dalam atasi suatu isu seperti Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Amigdala yang bekerja berlebihan dapat mengaktifkan saraf otonom secara belebihan, sehingga individu selalu dalam kondisifight orflightatau siaga terus-menerus. Ketidakseimbangan kerja sistem otak tersebut yang dapat menimbulkan gejala-gejala psikosomatis sebagai suatu reaksi untuk menghadapi ancaman.

Dalam sebuah penelitian yang berjudul Psychological Predictors of Anxiety in Response to the H1N1 (Swine Flu) Pandemic menyatakan hubungan antara suatu krisis kesehatan dengan psikosomatik.Hasil studi menyatakan bahwa krisis kesehatan yang dipublikasikan secara luas dapat menimbulkan kondisi psikogenik massal (Rahma, 2020). Oleh karena itu, pandemik Covid-19 memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk menyebabkan individu mengalami psikosomatis. Individu akan mudah berasumsi bahwa gejala-gejala psikosomatis merupakan gejala Covid-19 padahal sebenarnya hal tersebut merupakan bentuk dari kecemasannya sendiri.

Bagaimana cara membedakannya?

Membedakan gejala psikosomatis dan gejala Covid-19 merupakan hal yang penting untuk diketahui, sehingga individu dapat menanganinya dengan penanganan yang tepat dan segera. Hal ini juga membuat individu tidak terburu-buru mendiagnosis dirinya sebagai penderita Covid-19. Kantiana Taslim (dalam Shalihah, 2020) yang merupakan Psikolog Klinis di Personal Growth mengatakan bahwa psikosomatis biasanya diiringi kecemasan berlebihan terkait hal tersebut (Corona).

"Jika Anda memang sudah menjaga kesehatan, membatasi informasi negatif, sudah berperilaku produktif, dan happy-happykemudian gejalanya (sakitnya) hilang, berarti bisa jadi itu psikosomatis," ujarnya.

Sebaliknya, jika rasa sakit tersebut tidak hilang dalam waktu cukup lama, maka jangan melakukan diagnosis atau asumsi sendiri. Sebaiknya, segera berkonsultasi dengan dokter dan mengikuti anjuran tenaga medis.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

1. Istirahatkan diri dari menonton, membaca, atau mendengarkan berita mengenai Covid-19. Mendapatkan informasi terutama informasi buruk secara berulang kali tentang pandemik Covid-19 bahkan dari sumber yang tidak dapat dipercaya hanya dapat membuat semakin cemas dan stres.

2. Jaga kesehatan tubuh. Cobalah untuk makan makanan yang sehat dan seimbang, berolahraga secara teratur, tidur dengan cukup, berolahraga dan menghindari alkohol. Hal tersebut mampu mengatasi stres yang dialami akibat dari pandemik Covid-19.

3. Menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan dengan baik bukan hanya membantu terhindar dari paparan virus Corona, tetapi juga dapat terhindar dari psikosomatis. Sehingga, tidak perlu khawatir lagi berpotensi terserang virus.

4. Luangkan waktu untuk bersantai. Cobalah untuk melakukan aktivitas yang disukai seperti membaca buku, mendengarkan lagu, bermain games, memasak, berolahraga, bermeditasi dan lainnya.

5. Tetap berhubungan dengan orang lain. Cobalah untuk berbincang dengan orang yang kamu cintai, teman, bahkan kolega atau kenalan melalui telepon genggam. Usahakan agar tidak terlalu fokus untuk membahas wabah virus Corona ini. Hal tersebut dapat membuat diri merasa lebih baik, tenang, dan tidak merasa kesepian.

6. Tetap Optimis. Cobalah untuk selalu berpikir positif karena dapat membantu pikiran dan perasaan menjadi jauh lebih tenang. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk tetap memelihara pikiran yang positif, seperti memberikan sugesti positif pada diri sendiri bahwa pandemik Covid-19 akan berlalu, dan lebih fokus pada hal-hal baik dan menyenangkan.

Menghadapi pemberitaan tentang pandemik Covid-19 tanpa terpancing rasa cemas dan stres dapat membantu menjaga kesehatan mental dan fisik. Tidak hanya baik untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang-orang sekitar.Banyak cara untuk mengurangi perasaan cemas yang sehingga gejala-gejala psikosomatis Covid-19 yang dialami dapat teratasi dengan cepat.